I.Z. Nightgale

Laksana angin malam yang berpusar

Selengkapnya
Navigasi Web
Catatan Usang Pemeluk Kelam (Female Version)
From Pinterest

Catatan Usang Pemeluk Kelam (Female Version)

“Leo, jangan kabur!”

Menaruh asal kotak P3K, Zey melangkah lebar mengejar. Aku mengeong cuek. Berlari menuju ruang tamu, lompat ke atas rak pajangan paling tinggi. Seringai muncul melihat wajah itu berubah masam.

“Turun.”

Langsung menurut bukan tabiat Leo. Dengan raut licik, kuangkat kaki depan, mengancam, Bersiaplah, Zey. Mendekat sesenti, benda kesayangan pengasuhmu hancur lebur!

“Kau mau apa? Jangan buat ini menjadi rumit.” Maju selangkah.

Satu vas kaca terjun bebas.

Zey berhasil menangkapnya.

“Tampaknya rencanamu gagal,” ucapnya, meletakkan benda transparan itu di atas meja. “Sekarang ayo turun.”

Aku mengeong malas, Tidak seru sekali.

Tapi tenang, lampu usil dalam kepala ini masih menyala. Segera, aku melompat ke rak-rak lain, menyenggol benda apa saja yang bisa pecah.

“Kucing nakal! Hentikan, Leo!”

Lucu sekali melihat dia panik! Gerakan Zey menyambut para pajangan jatuh benar-benar konyol. Caranya berdiri persis anak kecil berlagak jadi pesawat. Tangan, kaki, punggung, semua penuh.

Masih asyik tertawa, cakarku tanpa sengaja menyentuh sesuatu. Oh tidak! Bola karet meluncur deras ke arah vas kaca di meja! Dengan posisi itu, tidak mungkin Zey bisa mencegah.

Prang!

Kami saling tatap.

“Ada apa ribut-ribut—astaga!”

Aku turun dari rak, duduk diam di bawah meja.

“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Bibi Rev. Meletakkan barang-barang ke tempat semula, wanita yang merawat Zey sejak kecil itu menatap cemas. “Kamu tidak apa?”

“Aku baik-baik saja,” jawab Zey, mengulum senyum. “Maaf gaduh malam-malam. Leo rusuh tidak mau diobati. Dia kabur kemari, membuat ulah.”

Bibi Rev mengembuskan napas lega. “Syukurlah kamu tidak terluka. Selesaikan urusanmu dengannya, serahkan kepingan kaca itu padaku.” Melirikku sejenak, lantas membebaskan lantai dari pecahan vas.

“Kena kau!”

Tangan kelewat putih Zey mencengkeram tubuhku erat. Tidak bisa lepas. Satu-satunya hal yang dapat kulakukan adalah pasrah digendong anak ini keluar ruangan.

Sampai di kamar, dia menaruhku di pangkuan. “Duduk tenang, jangan bergerak,” titahnya, kemudian membubuhi selembar kapas dengan obat merah. Ketika hendak mengolesi tubuhku, Zey mengernyit.

“Aneh. Seingatku lukamu parah. Kenapa sekarang tidak ada?”

Pikirkan baik-baik! Kalau aku punya banyak luka, mana bisa lompat-lompat seperti tadi?

Iris kelabu di balik lensa persegi itu memandang penuh selidik. “Dilempar saat berkelahi, tidak mungkin kau baik-baik saja, kan? Sempat masuk tong sampah, kepalamu bahkan membentur tiang listrik.”

Beranjak ke kasur, kutatap dia lamat-lamat.

Kau tidak tahu apa pun, Zey. Dari mana aku berasal, siapa aku di masa lalu.

***

Namaku Van. Jika kalian penggemar kisah fantasi, latar belakangku pasti mudah ditebak.

Semesta tidak sesederhana yang terlihat. Terdapat banyak kehidupan berjalan serentak, dalam dimensi yang berbeda, dengan makhluk hidup berbeda. Masing-masing dilengkapi keunikan dan tantangan. Tempat asalku, misalnya. Peradaban berkembang pesat. Tampak menjanjikan di luar, namun sayang, hanya golongan elite yang merasakan kemakmuran.

Mari mengilas sejenak.

Aku terlahir dari golongan serbakurang. Status sosial rendahan, pikiran dangkal. Penganut tradisi “anak-anak lumrah dibuang”. Sejak kecil bertahan hidup sendirian, mengandalkan tenaga untuk dijual. Sampai ketika remaja, aku menemukan “senjata rahasia”.

Masyarakat menyebutnya Darah Penguasa. Hikayat mencatat, sebelum diperintah Para Dewan, dunia asalku dipimpin oleh Persatuan Kerajaan. Orang-orang hebat dengan kekuatan menakjubkan. Aku tidak tahu persis bagaimana sistem lama tumbang. Yang jelas, lebih dari separuh jumlah kerajaan musnah, hanya tersisa pewaris kekuatan yang tersebar berserakan. Klasik memang.

Usia belasan, perjalanan mengubah hidup dimulai. Aku mengunjungi bermacam-macam tempat, belajar banyak, berlatih panjang. Hingga tiba saatnya menuntut hak kesejahteraan. Mengumpukan rekan. Menyusun taktik menggulingkan pemerintahan. Julukan Van si Pembawa Badai mulai banyak dikenal orang. Meriam revolusi telah siap.

Naas, yang terjadi setelahnya adalah bencana.

Aku tidak menduga sebagian anggota Dewan mewarisi Darah Penguasa. Dari garis keturunan mutlak—kerajaan yang tidak lenyap. Ditambah formasi kokoh, solid, kerja sama tim jauh lebih baik, mereka dengan cepat membalik situasi.

Kekalahan malam itu tidak akan terlupakan. Di dalam kepalaku, kalimat Ketua Dewan juga bergaung keras hingga sekarang, “Orang sepertimu tidak pantas mendapat anugerah Kerajaan. Tidak pernah pantas!”

Malam itu juga, di puncak menara pemerintahan, Ketua Dewan membuka gerbang menuju dunia luar. Mengunci seluruh kemampuan yang kupunya dengan segel paling kuat dalam legenda. Agar siapa pun tidak membukanya, dia melemparku ke dalam pusaran portal.

Aku mendarat di dunia dengan peradaban sedikit tertinggal. Tidak menjalani hari sebagai manusia, melainkan seekor kucing hitam.

Sebenarnya tidak sulit melepas segel tubuhku, tetapi mencari pihak yang bisa melakukannya bukan perkara mudah. Menurut pengamatanku, penduduk dunia ini menganggap teori multisemesta tidak bisa dipercaya. Akan lebih aneh jika mereka menemukan kucing bisa bicara.

Sekarang cerita ini memasuki bagian penting.

Kalian masih ingat Zey? Benar. Anak perempuan yang memanggilku Leo.

Kami bertemu pada suatu sore berhujan. Aku tidak sengaja memecahkan pot saat berteduh di teras rumahnya. Mungkin dia terusik suara pecahan lalu memutuskan keluar. Sulit memahami isi kepalanya. Alih-alih mengusir, dia membawaku masuk dan menyodorkan mangkuk kecil berisi sup ikan hangat.

Serangkaian peristiwa ganjil menyusul datang. Anak itu memulai perkenalan, memberiku nama. Lanjut mengajari tata krama, memberitahu apa yang boleh dan tidak boleh kulakukan di dalam rumah. Mengajak bermain lempar-tangkap dan sebagainya. Memperlakukanku seperti peliharaan. Saat itu hanya satu yang kupikirkan, rencana balas dendam terhambat total.

Perlahan, aku mengumpulkan informasi tentang Zey. Kalau tidak salah, anak itu berusia empat belas tahun. Yatim-piatu. Sejak kecil tinggal bersama seorang wanita yang dia panggil Bibi Rev.

Bibi Rev bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit kota. Cukup sering bertugas hingga larut malam, jadi Zey terlatih mengurus banyak hal sendirian. Wanita itu tidak suka kucing—terlihat dari wajahnya yang berkerut saat pertama kali melihatku. Tapi, sejauh ini dia baik.

Ada satu hal menarik mengenai Zey. Dia mengidap penyakit yang menyebabkan penampilannya tidak seperti penduduk lain. Kulit Zey putih pucat, sedangkan rambut serta alis berwarna pirang abnormal. Selain itu, kemampuan fisiknya juga lemah. Jika orang biasa mampu berlari sejauh seratus meter, anak itu belum tentu sanggup menaklukkan seperempatnya.

Aku beberapa kali menguntit ke sekolah. Entah karena apa, Zey hampir selalu terlihat menyendiri. Hanya dua anak yang paling sering berinteraksi. Yang satu tinggi besar, berambut kribo, namanya Johan. Satu lagi memiliki tubuh atletis dengan kulit sedikit gelap, pemakai kacamata bernama Rai. Cara berpakaian mereka khas anak berandal. Dan kuperhatikan, selalu Zey yang kena imbas jika dua anak itu mendapat hukuman selepas berbuat onar.

***

Jumat, pukul lima sore. Aku beranjak dari kasur begitu mendengar suara pintu. Zey melangkah masuk. Wajahnya tampak lelah.

“Aku pulang. Halo, Leo. Kau bersenang-senang hari ini?” Berjongkok, mengusap pelan kepalaku. “Bibi Rev masih bekerja, rupanya. Syukurlah.” Suara Zey seperti berbisik. Anak itu lalu mengajakku ke dapur.

“Aku punya kejutan.” Zey mengeluarkan kantong plastik kecil dari tas. Hei! Isinya sarden kaleng favoritku. Aku mengeong, Terima kasih. Zey tersenyum, kemudian mengambil wadah dan menuang isi kaleng.

“Makan yang banyak, ya, Leo. Agar tumbuh sehat, tidak seperti aku.” Zey mengelus kepalaku sekali lagi sebelum pergi dari dapur.

Usai makan, aku mendapati Zey telah berganti pakaian. Dia membawa kotak medis ke ruang tengah, duduk beralas karpet, mulai mengambil kapas dan obat tetes. Aku hafal situasi ini. Luka-luka itu pastilah dari Johan dan Rai.

“Sampai kapan kau hanya mengalah?” Aku membuka suara. Sudah kuputuskan. Saatnya mengungkap rahasia.

Zey mengangkat kepala, mengernyit menatap sekitar. “Itu suara siapa?” Kembali fokus dengan lukanya. “Pasti salah dengar. Di sini hanya ada aku.”

“Hei, aku yang bicara.”

Anak itu pindah menatapku. “Kau dengar sesuatu?”

Rasanya aku ingin menepuk dahi. “Itu suaraku.”

Kali ini Zey melongo. Aku sudah menduga reaksi itu. Bagi remaja sekalipun, fakta ada hewan dapat berkomunikasi dengan manusia tetap tidak normal.

“Kau tidak salah dengar, Zey.” Kutatap serius mata abu-abu itu. “Van. Itu nama asliku.”

Sepanjang sore aku bercerita tentang masa lalu pada Zey. Anak itu terlihat sangsi, namun menghabiskan dua hari berikutnya melontar banyak pertanyaan—di kamar, tanpa sepengetahuan Bibi Rev.

Senin pagi, sebelum Zey berangkat sekolah, kutarik sebuah buku kecil ke hadapannya.

Dia meraba sampul gelap. “Ini apa?”

Lembar Ganjaran,” jawabku. “Jika para pembuat ulah mengusikmu, tulis kalimat perintah untukku. Dengan begitu, aku bisa memberi pelajaran agar mereka berhenti mengganggu.”

Lembar Ganjaran mengunci seluruh kekuatanku di dalam, tidak bisa digunakan sembarangan. Lima bulan lalu, aku mulai mengamati Zey karena buku itu muncul di kamarnya. Itu berarti, hanya dia yang dapat mengendalikan kekuatanku—sekaligus membuka segel.

Zey membalik beberapa lembar sejenak sebelum memasukkan buku itu ke dalam tas. “Sulit dimengerti, tapi pasti kujaga baik-baik. Aku harus sekolah sekarang.”

“Aku serius, Zey. Semua yang kuceritakan itu nyata.”

“Aku percaya.” Anak itu berhenti sebentar di depan kamar, mengangguk padaku seraya tersenyum tipis. Lantas Bibi Rev yang sedang tidak bertugas mengantarnya menuju sekolah.

***

Lima hari berlalu.

Ini sudah akhir pekan, tapi Zey sama sekali belum mengisi Lembar Ganjaran. Aku sempat bertanya langsung, di halaman belakang sekolah, apakah Johan dan Rai sungguhan tidak mengacau. Tapi jawaban anak itu selalu sama, “Sekarang bukan waktu yang tepat.”

“Aku akan keluar sebentar.” Zey menyandang ransel neon yang biasa dia bawa ke sekolah.

“Kamu mau ke mana?” Bibi Rev bertanya.

“Mengerjakan tugas di taman, bersama Leo.”

“Tidak biasanya. Memangnya harus dikerjakan di luar?” Wajah wanita itu kelihatan cemas.

Zey mengangguk. “Ya. Aku tidak akan lama. Hari ini cukup sejuk, tabir surya juga siap sedia.” Menunjuk tasnya.

“Baiklah. Tunggu sebentar.” Bibi Rev melangkah ke kamar lalu kembali membawa topi. Memasangkannya ke kepala Zey. “Berhati-hatilah.”

“Tentu.” Anak itu mencium tangan Bibi Rev.

“Sebenarnya kita hendak ke mana?” tanyaku setelah langkah kami melewati gerbang pagar.

“Aku sudah bilang, taman.”

“Tugas apa yang kau maksud?”

“Yang jelas bukan tugas sekolah.” Aku semakin tidak mengerti.

“Jangan banyak tanya. Aku punya ide.”

Zey mengeluarkan Lembar Ganjaran setiba di tujuan.

“Untuk mengaktifkan kekuatanmu, aku hanya perlu menuliskan perintah di buku ini, kan?” Aku mengangguk.

“Apa saja?”

“Apa saja.”

“Baik, eksperimen dimulai.” Pandangan Zey menyapu sekeliling. “Kau lihat tumpukan sampah di sebelah sana?” Menunjuk sudut.

“Ya?” Apa yang dia pikirkan?

Zey mulai menulis.

Rasanya seperti digelitik. Berselimut cahaya tipis, tubuhku kembali ke wujud sejati. Tangan, kaki, tidak lagi dihiasi bulu hitam dan kuku tajam. Setelan gelap ini persis yang kukenakan sebelum disegel.

“Ternyata kau cukup tampan.” Zey menceletuk.

Tubuhku bergerak. Meraih sapu serta pengki, mulai menyingkirkan setumpuk daun kering dari setiap pojok taman. Lanjut memungut plastik, botol, kaleng, apa pun yang berserakan. Lima belas detik. Aku kembali menjadi kucing.

“Hei, apa-apaan tadi?”

Zey tertawa. “Wah, kucingku baru saja membersihkan taman secepat kilat.”

Sebenarnya apa yang dia tulis?

Zey memperlihatkan halaman Lembar Ganjaran yang terbuka. Tertulis, Van berbaik hati membersihkan seluruh sampah menggunakan kekuatannya. Astaga.

“Aku tidak punya hati baik. Catat itu.” Tapi tunggu. Kalimat yang dia tulis lebih mirip kisah daripada perintah. Bagaimana bisa bekerja?

Tawa Zey sudah berakhir. Dia menatapku. “Kau tahu kenapa aku menulis kalimat seperti itu? Agar kau tidak melakukan kebaikan dengan terpaksa. Menurutku, jika aku menulis, ‘Van, cepat bersihkan taman!’, kedengarannya kasar.”

Jawaban itu membuatku terperangah. Kasar?

“Baiklah, sekarang ayo lanjutkan.”

***

Langkah yang diambil Zey benar-benar tidak sejalan dengan rencanaku. Kupikir, akan mudah memintanya melepas segel setelah dia menggunakan kekuatanku untuk membalas perbuatan Johan dan Rai. Sebaliknya, dua pekan terakhir, anak itu justru menulis: Van memperbaiki atap sekolah yang bocor; kucingku berubah menjadi manusia penolong, lantas mengantar anak kecil yang tersesat di swalayan ke meja informasi. Kalimat-kalimat berisi tindakan peduli sosial.

“Berbuat baik itu kunci surga, Leo,” jawabnya ketika aku protes. “Lagi pula, Rai dan Johan sudah jarang mengganggu. Mereka kelas tiga, senior di sekolah, harus rajin belajar agar siap saat ujian kelulusan.”

Sebuah ide terlintas. Benar juga! Mungkin cara itu bisa dicoba.

***

Aku kembali mengikuti Zey ke sekolah. Tujuanku bukan kelasnya sekarang. Sejak jam pertama aku mengawasi ruang belajar lain di lantai dua. Zey benar, dua biang onar itu tampak serius menyimak pelajaran.

Bel istirahat berbunyi nyaring. Sekarang waktunya! Aku bersiap melancarkan rencana. Menyeret seplastik sampah basah ke dalam kelas. Menjejalkan isinya ke dalam tas, laci, serta sela buku pelajaran Johan dan Rai. Baiklah, kurasa cukup.

Tepat waktu. Suara dua anak nakal itu terdengar dari koridor. Aku bergegas keluar, sengaja melangkah ke arah mereka agar berpapasan. Mengeong riang. Menyapa.

***

Ransel Zey ditarik dari belakang ketika anak itu hendak melintasi gerbang.

“Hei! Apa yang kalian lakukan?!” Zey meronta. Johan semakin kuat menyeretnya memasuki gang sempit di dekat sekolah.

“Kamilah yang seharusnya bertanya begitu. Kau pikir kami tidak tahu perbuatanmu?!”

Zey meringis. “Apa yang kau bicarakan?”

Johan mencampakkan tubuh mungil anak itu hingga membentur tembok pembatas. “Hewan sialan yang kau bawa ke sekolah. Aku melihatnya keluar kelas, dan kau tahu apa yang kami temukan?”

Memberi demonstrasi, Rai mengangkat ransel Zey tinggi-tinggi, lantas melemparnya ke tong sampah besar di ujung gang.

“Aku tidak tahu apa pun. Sungguh. Jika kalian pikir aku pelakunya—”

“Berhenti beralasan, sialan!” Dua perundung itu kembali memukuli Zey seperti hari-hari sebelumnya. Menghantam wajah, perut, mencekik leher. Terakhir, sebelum pergi, masing-masing dari mereka menumpahkan seember limbah dari selokan ke seragam anak itu. Begitulah cara Johan dan Rai melampiaskan kemarahan atas perilaku tak bermoral yang tidak Zey lakukan.

Siapa pun, tolong aku …. Batin Zey merintih. Seharusnya dia membawa Lembar Ganjaran hari ini, agar kucing ajaibnya datang menolong.

***

Johan dan Rai sudah pergi. Aku berlari ke arah Zey sembari menggigit Lembar Ganjaran. Astaga, dua anak itu berlebihan. Tidak perlu menghajar Zey sampai terlihat sekarat.

“Kau datang—” Zey terbatuk di ujung kalimat. “Syukurlah kau datang.”

“Aku bergerak secepat mungkin. Johan dan Rai belum terlalu jauh. Aku bisa menyusul dan memberi mereka pelajaran untukmu.”

Tangan Zey gemetar meraih bolpoin. Dia menulis dalam posisi tengkurap.

Seberkas sinar di sekeliling tubuhku mulai pudar. Aku bisa merasakannya, segel itu telah terlepas. Akhirnya. Sekarang aku siap menuntut balas.

“Leo—” Zey memuntahkan cairan merah. “Kita harus bicara. Dengarkan aku.” Terengah.

Aku berjongkok di hadapannya. “Bagaimana aku harus menghukum dua anak itu?”

Zey lagi-lagi terbatuk. Darah segar kembali keluar. “Kau tidak akan menghukum siapa pun, Leo. Tidak ada kekuatan lagi untuk itu.”

Aku mengernyit. “Maksudmu?” Segelku terlepas, kekuatanku praktis kembali.

Anak perempuan di hadapanku menggeleng. “Aku berpikir panjang sejak menerima Lembar Ganjaran. Aku tahu, kau memanfaatkan kondisiku untuk melepas segel di tubuhmu. Aku sudah sering menemukan orang sepertimu, Leo. Hafal tabiat mereka. Bersikap jahat, menebar kekerasan.

“Dulu kau seorang pemberontak, bukan? Pemerintah yang kau ceritakan, Para Dewan, mengusirmu ke dunia lain. Tindakan mereka mungkin sewenang-wenang, tapi membalas dengan kejam juga tidak bisa dibenarkan.

“Menurutmu, apa alasanku menggunakan Lembar Ganjaran untuk membantu banyak orang? Karena aku percaya, dunia tidak bertahan selamanya. Setiap perbuatan selalu tercatat, pasti mendapat balasan sepadan. Jika tidak sekarang, boleh jadi di masa depan—atau justru setelah kematian.”

Susah payah Zey beranjak duduk. Aku membantunya bersandar ke tembok.

“Ada sedikit pesan untuk Bibi Rev. Kurasa, pertemuan sebelum berangkat sekolah adalah yang terakhir.” Zey meletakkan Lembar Ganjaran di genggamanku. Seiring matanya mengatup, dia bersuara, “Terlepas dari mana kau berasal, siapa pun dirimu di dunia sana, bagiku, kau tetap kucing hitamku Leo.”

Kubuka tulisan baru Zey.

Van si Pembawa Badai telah lepas dari segelnya. Sejak pertemuan dengan Zey, anak sakit-sakitan yang menganggapnya hewan kesayangan, Van menggunakan kekuatannya untuk menabung kebaikan.

Halaman berikutnya pesan untuk Bibi Rev.

Halo, Bibi Rev. Ini aku, Zey.

Aku minta maaf jika pesanku datang mendadak. Tolong jangan curiga pada pria asing yang datang ke rumah. Wajahnya mungkin terlihat mengancam, tapi percayalah, aku yang memintanya menyampaikan tulisan ini pada Bibi.

Karena satu hal, hari ini aku tidak pulang. Juga besok, lusa, dan hari-hari berikutnya.

Sungguh terima kasih atas segala jasa Bibi. Maaf, aku tidak bisa membalasnya dengan cara lebih baik.

Selamat tinggal.

***

Bibi Rev baru saja pulang dari rumah sakit saat aku menekan bel pintu.

“Maaf mengganggu. Apakah ini kediaman Zey?” Wanita ini hanya mengenal wujud kucing-ku. Aku harus bersikap formal.

Bibi Rev mengangguk. “Ya. Ada apa?”

“Anak itu menitipkan ini.” Kuserahkan lipatan kertas berisi tulisan Zey.

Wanita paruh baya itu refleks menutup mulut usai membacanya.

“Ini sungguh dari keponakanku? Astaga. Ya Tuhan. Zey. Astaga.”

Jenazah Zey segera dievakuasi. Prosesi pemakaman berlangsung sore itu juga. Aku berdiri di belakang pengasuh Zey yang menangis di samping pusara.

“Semoga jiwanya bahagia.”

Wanita itu terisak. “Dia anak yang baik. Fisiknya memang berbeda, tapi tidak kusangka dia pergi dengan cara seperti ini.”

“Kau juga baik, Nyonya Rev,” ucapku mencoba membesarkan hati. “Aku tahu kau tidak menyukaiku, tapi aku sungguh bersyukur pernah dipersilakan menetap di rumah hangatmu. Aku sekarang paham dari mana sifat mulia Zey. Kau berhasil mendidiknya.”

Telingaku kembali menangkap isakan.

Seorang perempuan tua melangkah mendekat, mengusap pelan punggung Bibi Rev. Aku sering melihatnya. Tetangga seberang jalan. Mata cokelatnya menatapku. “Dia sangat terpukul, jadi izinkan aku mewakilkan ucapan terima kasih. Tanpa bantuanmu, jenazah Zey mungkin terlambat ditangani.”

Aku tersenyum sopan. “Itu sudah tugasku, Nyonya.”

“Siapa namamu, Anak Muda?”

Pertanyaan itu membingungkan. Aku punya dua nama sekarang.

“Van. Tapi seseorang memanggilku Leo.” Yah, itu tidak penting.

“Kau tinggal di sekitar sini? Sepertinya aku belum pernah melihatmu.”

“Aku pendatang, Nyonya. Dari jauh. Zey amat membantu ketika aku baru tiba di kota ini. Akulah yang seharusnya banyak mengucapkan terima kasih.”

Lawan bicaraku mengangguk-angguk.

Prosesi pemakaman telah selesai. Para pelayat berjalan pulang, pun dengan Bibi Rev. Aku menetap di area makam sedikit lebih lama. Sebelum melangkah keluar, kusempatkan mengubur Lembar Ganjaran di sebelah peristirahatan Zey.

Aku ingin membuktikan perkataan anak itu. Dunia tidak bertahan selamanya. Setiap perbuatan selalu tercatat, pasti mendapat balasan sepadan. Jika tidak sekarang, boleh jadi di masa depan—atau justru setelah kematian. Jika itu benar, yang harus kulakukan adalah hidup di dunia ini dan menerapkan hal yang dia ajarkan. Tidak membalas keburukan dengan cara serupa. Sebaliknya, berusaha maksimal menebar kebaikan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post