I.Z. Nightgale

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Flares in Distance (2)

2

Stranger – Poison

[Distrik 162 : Sektor Hantaman 78—Minus 5 Kilo Meter; Hutan Timur]

Sosok di atas batu mengedipkan mata agak cepat. Cahaya keemasan dari barat sana membuat penglihatannya serasa ditusuk. Kontras, suara gemericik menyapa rongga telinga dengan lembut.

“Orang Asing akhirnya bangun!” Berkat sambutan itu, Ken gagal mengambil posisi duduk. Persis telapak tangan menyentuh sisi licin batu, tubuhnya tergelincir turun, tercebur.

“Ya ampun, maafkan aku! Tunggu sebentar, akan kuberitahu Master.”

Ken beranjak dari air sepeninggal Symphony. Beruntung sungai tadi tidak terlalu dalam. Setiba di tepian, pemuda itu mencari tempat bersandar, mengusap wajah. Syukurlah, setelan yang ia kenakan tahan air.

Ini tempat apa? Alis Ken bertaut memandang sekitar. Bukankah sebelumnya ia dikejar gorila? Apa yang terjadi pada mereka? Ah, dan jangan lupakan para serigala! Ken sangat yakin menyaksikan tatapan buas, cakar besar ….

Belum selesai Ken menilas kejadian malam itu, Symphony terbang mendekat bersama seseorang.

“Perkenalkan, namanya Master Eve.” Sang unggas menoleh pada perempuan yang menyelamatkan lelaki itu sepekan lalu. Saat bersitatap, Ken berusaha menerjemahkan sorot tenang sosok tersebut.

“Jawab dengan jujur jika kau ingin hidup.” Tiada nada mengancam, tapi mengapa sirine dalam diri Ken menyalak tak senang? “Rencana apa yang sedang aliansi mainkan?”

Ken mengernyit, menggeleng.

Perempuan di hadapannya berjongkok. “Assassin tidak pernah menjalankan misi seorang diri. Di mana rekan-rekanmu? Apa yang kau lakukan sebelum bertemu para gorila?”

Sebentar …. Bagaimana bisa gadis ini mengetahui perjalanannya? Ken menahan napas. Insting memerintahkannya bersikap waspada. “Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan.”

“Oh ya?” Keliru jika menyangka Eve mudah percaya. Perempuan itu mengeluarkan benda pipih dari saku. Bentuknya segiempat dengan sepasang sisi berhadapan berukuran lebih panjang. Gurat huruf menghias permukaan yang setengah tembus pandang: Kenji Hoshizora; Divisi Tenggara Celestia-3; Unit Bantuan.

Ken tersentak. “Dari mana kau mendapatkannya?”

“Satu minggu lebih dari cukup untuk menggeledahmu.”

Kobar kecil di telapak tangan Eve membuat Ken semakin tercenung. Kartu identitasnya melebur tanpa sisa abu sebutir pun.

“Percuma berbohong. Seluruh Slayer mengenal lambang di seragammu.”

“Seluruh … apa?” Siapa gadis ini sebenarnya?

Symphony menjawab seraya hinggap di atas kepala Ken, “Slayer. Kata Master, pembasmi monster terbagi menjadi dua jenis. Pertama, Assassin; orang-orang yang bekerja atas perintah pemimpin kota mengambang. Kedua, orang-orang yang bergerak secara in … in … independen? Ya! Independen. Itulah Slayer.”

“Kau seorang Penumpas?” Ken menatap Eve skeptis.

“Ya. Master sangat pandai bertarung. Slayer terhebat yang pernah kutemui!” Makhluk mungil di puncak surai Ken memekik.

Hening sejenak sebelum lelaki itu tertawa kecil. “Apakah aku percaya? Kau masih remaja—kelihatannya saja tidak lebih dari usia enam belas. Aturan mutlak Penumpas: siapa pun dilarang menyentuh Permukaan sebelum genap dua puluh tahun.”

Symphony praktis tersinggung. “Orang Asing tidak sopan!” Paruhnya mengetuk keras dahi Ken, satu kali, dua kali. “Tidak tahu terima kasih! Seharusnya bersyukur kami selamatkan. Huh!”

“Kalian menyelamatkanku?” Ken meringis mengusap dahi.

Symphony menjauh dari pemuda itu, bersungut, “Kau sekarat terkepung hewan buas. Master menghanguskan mereka.”

Tak ada yang dapat Ken lontar selain tatap meminta pembenaran, namun seseorang di hadapannya justru menegakkan kaki. Sorot mata Eve terarah sejenak pada sisa cahaya matahari. Saling menangguk kecil dengan Symphony. Beralih menatap Ken.

“Sanggup berdiri?”

Si pemuda menautkan alis.

We’ll show you something.”

***

[Distrik 162 : Sektor Hantaman 78]

Langit senja telah lelap saat Eve menghentikan langkah. Di depan sana terhampar lingkar tanah merah radius tujuh puluh meter. Sebuah lubang menganga lebar di pusat—terlihat seperti mangkuk jika dipehatikan dari atas. Kontras dengan sekitar, titik ini bersih dari pohon menjulang—sempurna tanah merah.

“Kita sampai.” Symphony mengepak sayap menuju tengah lingkaran dan berhenti di bibir kawah. Eve menyusul mendekat. Ken tiba paling belakang. Pemuda itu terbeliak menyaksikan apa yang terdapat di dasar.

“Itu ….” Ken menajamkan tatap, memastikan tidak salah lihat. Kilas catatan yang pernah ia baca berkelebat memenuhi benak. Spesies pemilik bentuk besar panjang, kulit licin bergaris biru-kuning, lembar tipis di sepanjang kanan-kiri tubuh ….

Seakan membaca pikiran laki-laki di sampingnya, Eve berkata pelan, “Larva Ombak.”

Symphony mengamati sejenak sebelum menoleh. “Kelihatannya tidur.” Sang monster tampak nyaman bergelung di dasar kawah.

“Akan sulit bertarung di sana.” Lensa amethyst melirik Symphony. “Bisa pancing ke atas?”

Yang ditanya mengangguk. “Tentu, tapi kita perlu umpan.”

Sekali lagi Ken mendapat sinyal bahaya. “Apa yang akan kalian lakukan? Melawannya?” Ia memandang Eve dan Symphony bergantian, berharap keliru menebak.

Eve menggeleng samar. “Tidak, hanya aku.”

Ken jelas menolak setuju. “Itu gila! Larva Ombak bukanlah monster tingkat rendah, butuh Assassin senior untuk mengalahkannya.”

Wajah Symphony seketika berbinar cerah. “Benar! Assassin. Kau orang yang tepat.”

“Apa? Aku bukan—”

Belum genap ucapan ken, Symphony lebih dulu memperbesar tubuh dan membawa pundak lelaki itu ke tengah kawah.

“Hei! Apa-apaan—” Elang itu melepas cengkeraman. Ken terjun bebas memasuki lubang sedalam seratus delapan puluh kaki. Kalimat yang lagi-lagi tertahan menjelma lengking panjang ketakutan. Symphony mengembangkan senyum puas. Hadiah karena Orang Asing meremehkan Master.

Sementara di bawah sana, Larva Ombak menggeliat. Sebuah suara membuyarkan mimpi indahnya. Begitu membuka mata, ia dihadapkan pada sosok kurus namun tetap membangkitkan selera. Monster macam apa yang menolak dihidangkan mangsa?

Baris gigi tajam siap menyambut Ken. Symphony bergegas menukik, menjemput pemuda itu kembali ke atas. Larva Ombak melenting mengejar. Umpan tersebut bekerja baik.

“Jangan berisik, Orang Asing! Kau sudah aman.” Symphony berseru jengah, menyumpal teriakan pemuda di atas punggungnya.

Ken mengerjap perlahan. Astaga, aman apanya? Lihat! Monster itu benar-benar terjaga sekarang. “Sayap” tipisnya mengentak udara selagi ia meliuk di angkasa.

Di tengah keterkejutan, sesuatu membuat retina Ken semakin melebar. Gadis itu! “Gadis itu masih di bawah!” Elang ini tidak menyelamatkannya?

“Tidak bisakah kau tenang? Master tidak lemah.” Symphony justru melesat ke dalam hutan.

Batang lebar sempurna menutupi tubuh Ken. Symphony menjelaskan setelah kembali ke ukuran semula, “Ini perintah Master. Kita cukup menunggunya selesai.”

Si pemuda akhirnya mengangguk, menatap bentang tanah merah sembari berlindung di belakang pohon.

Kembali ke lingkaran dengan kawah besar.

Melihat monster mengejar, Eve menciptakan sebatang tombak kemudian melesatkannya ke atas. Sayang, Larva Ombak menghindar lebih cepat. Padatan partikel tersebut meletup di udara, sekadar mengalihkan sesaat.

Makhluk itu resmi mengincarnya. Cairan oranye terpancar dari mulut Larva Ombak saat mereka bersihadap. Eve tangkas mengelak. Garis panjang berasap tergurat di atas tanah.

“Dia sedang apa, sebenarnya?” Ken bertanya setelah dua menit tidak mendapati Eve menghunus apa pun.

Symphony menjawab pendek, “Mengamati.”

“Bukankah dua menit terlalu pasif?”

Symphony menggeleng. “Makhluk itu punya cara sendiri. Kemampuannya tidak pernah dipamerkan sekaligus.”

Ken mengangguk paham. Itu masuk akal. Ia perhatikan, monster yang dihadapi Eve memang tidak banyak memvariasi serangan. Selain melenting, meluncur, sejauh ini hanya perlu mewaspadai racun dan manuver beriring libasan ekor. Ah, ken juga menyadari satu hal: seluruh taktik dilakukan tanpa menyentuh darat.

Tiba-tiba terdengar decak. “Curang. Master tidak bisa terbang.”

Kepala Ken tertoleh. “Kau tidak membantu?”

Elang mungil sekali lagi menggeleng. “Bagianku mengawasimu.”

Pemuda kurus memutuskan kembali “menonton”.

Di kancah pertarungan, perempuan itu menghadapkan wajah ke atas, memandang lekat Larva Ombak menyiapkan manuver berikutnya. Kali ini Eve tidak beranjak. Telapak tangannya mengumpulkan berjuta butir tak kasat mata, menciptakan perangkat serang.

Sebuah beliung tersedia. Eve mengentakkan senjata tersebut ke arah Larva Ombak. Bagian bilah seketika terlepas dari pegangan, namun segera dihubungkan seutas kelindan. Tali berpilin itu mendorong lengkung tajam membelah udara, terus melejit ke atas ….

Tepat sasaran!

Sepersekian detik sebelum manuver, Eve berhasil merobek ujung salah satu “sayap”. Larva Ombak tidak menyangka akan mendapat serangan. Monster itu mendesis merasakan tubuh lima belas meter-nya tersungkur.

Sekali menemukan celah, Eve tidak akan melepasnya begitu saja. Rangkai serangan telah ia siapkan sejak pertama memindai lawan. Intensitas pertarungan segera meningkat. Larva Ombak menggeliat, utas kelindan Eve terjulur. Ketika monster menggunakan racun, untuk kesekian kali mengibas ekor, antisipasi perempuan itu dua kali lebih gesit. Bilah tajamnya tak luput menghias tubuh makhluk itu dengan berbagai macam sayat, menyebabkan tanah merah basah oleh darah menyala Larva Ombak.

Ken menyaksikan seluruh adegan tanpa berkedip. Setahunya, populasi Larva Ombak terbilang langka dan aliansi tidak bisa mengerahkan sembarang Penumpas. Tetapi sosok yang Ken anggap terlalu muda untuk Permukaan—astaga, dia melawannya seorang diri.

“Sudah kubilang,” Symphony berucap bangga, “Master sangat pandai bertarung.”

“Dia … selalu bertarung seperti itu? Sendirian, maksudku.”

Symphony mengangguk. “Master benci melukai siapa pun.”

Sekarang Ken mengerti alasan unggas di sampingnya tampak begitu respek.

Berlalu dua puluh menit sejak Eve menghunus senjata. Larva Ombak sekali lagi terbanting ke tanah, darah dan parut dalam membaur di sekujur tubuhnya. Makhluk itu tidak bergeser walau semili.

“Sudah tumbang?” Ken bergumam.

Masih menggenggam beliung, Eve berjalan mendekat untuk melancarkan serangan penutup. Namun, tersisa lima langkah dari Larva Ombak, mendadak pijakan dan sekitarnya terasa bergetar. Titik-titik kecil merekah di tanah dan secara acak menyemburkan cairan oranye mengelilingi tubuh moster.

Eve nyaris terlambat melompat. Tetapi secepat apa pun menghindar, semburan tanpa aba-aba tersebut berhasil meninggalkan jejak kelupas pada satu kakinya, disusul bercak kebiruan serta sensasi radang. Perempuan itu meringis tertahan.

Rahang Ken terkatup rapat.

“Lihat, kan? Makhluk itu licik.” Symphony mencibir.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Menurut para peneliti, masing-masing Larva Ombak memiliki taktik tersembunyi untuk bertahan hidup. Seekor yang berhadapan dengan Eve sepertinya tahu bahwa kerap terdapat abnormalitas di lokasi hantaman meteor. Meski terlihat mudah terbakar, struktur lapisan tanah merah sejatinya sesuai bagi komposisi racun monster itu. Pemanfaatan cerdik dapat menjadikannya jebakan efektif.

Saat berpura-pura tumbang, tergolek di tanah, Larva Ombak diam-diam menyebarkan sebagian racunnya ke dalam lapisan di bawah sekeliling tubuh—termasuk di bawah kaki Eve. Tekananlah yang secara alami menyebabkan cairan tersebut bergerak naik, terus naik, hingga menembus struktur terluar lantas memancar ke berbagai arah.

“Awas!”

Selagi lawan fokus pada luka, Larva Ombak mengentakkan ekor tiga kali lebih kuat dari sebelumnya. Seruan Ken terlalu jauh untuk sampai ke telinga Eve. Perempuan itu tersentak menuju kawah, posturnya terguling beberapa hitungan sebelum akhirnya meluncur deras ke dasar.

“Master!” Symphony memekik gemetar, jeri mendapati sang monster menyusul memasuki kawah. Tersiram cairan oranye membuat makhluk itu pulih.

“Tidak ada pilihan. Aku harus membantu Master.”

Ketika Symphony hendak membesar, lengking bergema dari dasar lubang. Ken mendongak. Netra pemuda itu terbuka lebar menemukan senjata partikel bersemayam di tubuh moster. “Di sana! Dia selamat!”

Elang itu mengikuti arah telunjuk Ken. Penglihatan tajamnya terarah penuh pada Eve. Perempuan itu mencengkeram erat batang tombak yang terbenam setengah di dekat kepala monster. Pertarungan masih berjalan. Di angkasa.

Pasti bisa. Master pasti mengatasinya.

Tapi tak mudah bertahan di atas sana. Akibat duel tak kunjung usai, Larva Ombak memutuskan meliuk semakin tinggi, dengan gerak dan kecepatan tiada kendali. Eve berdecih—entah sudah berapa banyak padatan partikelnya terburai tanpa menggores sedikit pun. Ia memejamkan mata, mencoba berkonsentrasi di tengah bising deru angin, menguatkan cengkeram pada tombak selagi menilas jalan pertarungan kali ini.

Dua menit analisis beserta atur strategi; merobek “sayap” menggunakan beliung dengan tali kelindan; jual-beli serang; menghindari racun; tersentak ke dalam kawah lalu bertahan di udara ….

Sekarang saatnya. Memori perempuan itu kembali pada hewan buas yang hampir memangsa Ken.

Catatan kecil: kemampuan Eve tidak sebatas mengonversi partikel menjadi benda solid. Seperti Larva Ombak, ia juga menyimpan satu-dua trik. Perempuan itu tidak berniat mengumpulkan apa pun ketika mengarahkan tangan ke salah satu “sayap”. Kesiur di sekitar jemarinya pelan-pelan memunculkan derak ….

Ctar! Bidikan pembuka sukses menciptakan lubang.

Ctar! Ctar!

Eve terus menembak. Makhluk yang ditungganginya mendesis marah lantaran keseimbangan terbang benar-benar goyah. Larva Ombak tidak lagi menukik ke atas, melainkan terjun bebas. Hal itu tentu kabar baik. Dengan mengluarkan suara panik, monster itu praktis mengabaikan keberadaan Eve, beralih mati-matian mempertahankan diri namun kalah telak menentang gravitasi.

Persis tombak bercahaya tercipta, Eve tanpa ragu menanam tiga, empat, lima batang panjang di tubuh Larva Ombak. Monster tanpa daya itu berdebam keras membentur daratan. Sesaat Eve berbalik langkah, tegangan listrik ribuan volt mulai berdenyar.

“Master!” Symphony berseru menghampiri. Kepak sayap dikoori Ken.

Eve mengusap kepala elangnya. “Terima kasih untuk hari ini.”

“Master baik-baik saja? Luka itu …,” predator kecil menunjuk. “Racunnya bisa menyebar kalau dibiarkan.”

“Ini tidak seberapa. Penawarnya segera siap.”

Eve berdiri di hadapan bangkai hitam Larva Ombak. Memasuki mulut menganga tersangga tombak, melangkah semakin dalam, meraba sekitar kerongkongan berbekal harap menemukan kelenjar. Semoga ada racun tersisa, batinnya.

Lima menit kemudian, perempuan itu keluar menggenggam sebuah vial. Ken terkesima menatap cairan bening berhati-hati dioleskan. Seolah punya daya magis, luka kelupas dan bercak biru perlahan terkikis dari kaki Eve.

“Misi selesai.” Perempuan itu berucap seraya bangkit dari posisi jongkok.

Symphony bersorak senang, “Hore! Waktunya kemah.”[]

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post