Risa Aura Ramadani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Harapan Di Ujung Rasa Sakit

HARAPAN:

DI UJUNG RASA SAKIT

Penyakit yang berasal dari hati memang nyata dampaknya. Bukan hanya dengki, bahkan putus cinta menjadi penyakit yang luar biasa hebatnya. Di hari itu, kota yang diapit dua bukit diguyur hujan yang cukup untuk membuat genangan di jalan-jalan yang berlubang. Kota itu hampir satu bulan lamanya tidak turun hujan. Langit mendung menambah kesan syahdu bagi para penikmatnya. Untung saja petir tidak menunjukkan tanda-tanda, jadi anak kecil bahkan sampai orang dewasa sekalipun dapat menikmati tetes demi tetes air yang jatuh dari langit. Semua orang bahagia, namun tidak dengan seorang pemuda yang masih memakai baju putih abunya. Terlihat jelas tanda pengenal yang dikaitkan di bajunya, Alvin. Waktu menunjukkan pukul 4 sore yang mana sudah satu jam yang lalu bel pulang sekolah dibunyikan. Hujan tetap mengguyur dan pemuda itu hanya duduk menyeruput minuman cokelat “favoritnya”. Memandang tempias hujan yang terlihat di kaca, sekali dua kali melihat ke arah layar handphone-nya.

***

1 tahun lalu, di mana dua insan yang sedang duduk berhadapan. Mereka dipisahkan meja dengan tumpukan buku di atasnya. Orang-orang akan mengira mereka adalah pasangan yang sungguh serasi. Bagaimana tidak? Alvin, seorang siswa yang sangat aktif dalam organisasi dan hebat dalam pelajaran dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, kini sedang duduk berdua dengan gadis yang memiliki ciri khas rambut digerai dihiasi pita merah muda. Yang selalu ceria, dengan rona di pipinya, ditambah minuman cokelat yang selalu ada dan kepribadiannya yang membawa kebahagiaan, terutama untuk Alvin, Aura namanya.

1

Sungguh perpaduan yang sempurna. Tapi, ini tidak berjalan seperti yang diharapkan semua orang. Mereka memanglah pasangan idaman, setidaknya 10 menit yang lalu. Selama itulah Aura mengatakan untuk mengakhiri hubungan mereka. Alvin yang awalnya bersemangat menceritakan kejadian lucu di kelasnya dikarenakan ada temannya yang salah pakaian, seketika terdiam, tanpa berkata satu patah kata pun. Ia hanya membolak-balikkan halaman demi halaman, yang pastinya tidak ia baca. Merasa tidak digubris, Aura kembali membuka suara.

“ Mari akhiri semua, Al. Mari kita putus. Aku tahu kamu tidak benar-benar membaca buku itu, aku tahu kamu sudah mendengar apa yang aku ucapkan sebelumnya. Tapi kamu pura-pura tidak mendengarnya.” Dengan berat, Alvin mengalihkan pandangannya ke gadis di seberangnya.

Alvin menghela nafas sejenak sambil memperbaiki kacamatanya, “Kalau kamu sedang lelah, bilang saja. Tidak perlu tiba-tiba meminta akhiri semua. Ada apa, Ra?” Tanya Alvin yang justru membuat lawan bicaranya mengernyitkan keningnya. “ Aku tidak ada masalah. Tapi hubungan kitalah yang bermasalah. Sampai kapan kita harus bersama, yang bahkan kita berbeda” Matanya mulai berkaca-kaca. Bahkan ia tidak bisa menatap lawan bicaranya, kemudian ia melanjutkan, “ Kita berbeda, Al. Sampai kapanpun itu. Aku tahu ini berat. Bukan hanya untuk dirimu, tapi diriku juga. Aku sudah memikirkan semuanya selama ini. Jalan kita sudah berbeda, kita sudah salah sedari awal. Kalaupun kita melanjutkan, apakah masih ada harapan untuk yang berbeda kepercayaan? Mari hidup dengan keyakinan kita masing-masing Al.”

Setelah mengatakan semuanya, Aura meninggalkan Alvin yang masih termangu, diam membisu. Berusaha mencerna semuanya. Tidak percaya kekasihnya akan mengatakan hal itu. Aura yang selalu menggenggam tangannya. Aura yang selalu memberikan senyuman terbaiknya. Kini berlalu dengan ratusan mimpi yang mereka rangkai.

2

Langit tiba-tiba mendung, seolah ikut bersedih atas apa yang terjadi. Pada akhirnya, kisah mereka benar selesai. Perpustakaan sekolah kala itu, menjadi saksi bisu perpisahan mereka.

Kau tahu? Terkadang perasaan yang sudah kita tetapkan untuk seseorang malah dipatahkan oleh satu perbedaan. Keyakinan. Sekeras apapun mencoba, kalian tidak akan bersama. Lalu, bagaimana yang ujungnya bahagia? Itu berbeda, namun pada kisah kali ini mereka terlalu kuat untuk meninggalkan apa yang sudah mereka pegang.

***

Hujan di luar, sudah mulai reda. Tersisa gerimis satu dua saja. Orang-orang yang bermain hujan kini sudah bubar, menyisakan kerumunan manusia yang berlalu -lalang kembali pulang ke rumah. Minuman cokelat di gelas itu sudah habis. Sedikit melirik layar handphone-nya, sudah pukul 5 sore. Alvin bergegas mengambil tasnya lalu pergi meninggalkan Kafe tersebut. Dunia begitu sibuk, batinnya.

Ia berdiri di halte bus, menunggu bus kota arah rumahnya. Mata berwarna cokelat itu menelusuri setiap gedung-gedung tinggi di sekitarnya. Sampai akhirnya, sebuah notifikasi menyadarkannya. Pesan dari aplikasi pengingat ternyata. “ Selamat hari jadi yang ke- 2 tahun untuk Al dan Rara!” Al hanya tersenyum getir, kemudian langsung menghapus aplikasi tersebut dan naik bus kota yang baru saja tiba. Setidaknya ia tahu, sudah satu tahun lamanya, hubungan tak bertujuan itu telah lama terbengkalai di jeratan ingatan.

Di lain sisi, orang tua Alvin berjalan mondar-mandir dengan tangan yang sudah dilipat di depan dada. Terlihat wajah mereka tidak bersahabat, sepertinya kemarahan sudah menyelimuti. Di atas meja, tampak jelas secarik kertas yang meminta sang pemilik untuk memberikan penjelasan.

3

Tidak lama kemudian, yang ditunggu telah tiba. Alvin bingung, tidak biasanya mereka menunggu dirinya di depan pintu apalagi dengan tatapan yang tidak menyenangkan.

Tanpa basa-basi, ibunya langsung menyeletuk, “ Apa maksud nilai ini, Al? Apa maksudnya? Tadi, ayah dan ibu di hubungi pihak sekolah tentang hal ini. Mereka mengeluh, mengenai nilaimu yang sudah turun drastis, ini bukan kamu!” Alvin lalu melirik kertas yang di dalamnya tertulis kata, TIDAK TUNTAS.

“ Ditambah lagi, kamu mulai sering tidak menghadiri rapat-rapat organisasimu. Bukannya kamu yang bersikeras untuk kami izinkan agar bergabung ke organisasi itu? Lalu mengapa sekarang kamu yang bertingkah seperti ini?” Sambung ayahnya.

Ia hanya menunduk, membiarkan ibu dan ayahnya meluapkan amarahnya. Ia tahu akan seperti ini jadinya. Mengenai hubungannya dengan Aura, orang tuanya tidak tahu apa-apa. Setelah kemarahan mereka sudah mulai mereda, giliran ia yang berbicara, “ Sebelumnya Al minta maaf untuk ayah dan ibu karena menyembunyikannya. Al sembunyikan karena Al paham betul jika kalian tahu, kalian akan marah besar. Boleh kita duduk dulu? Baru Al jelaskan.” Mohonnya. Orang tuanya sempat saling melirik dengan nafas yang tidak beraturan, kemudian ayahnya mengangguk sebagai tanda setuju.

Setelah orang tuanya duduk, barulah ia mulai menjelaskan segalanya. Mulai dari awal hingga akhir. Orang tuanya terkejut mendengar semuanya, sebab mereka tidak pernah mengizinkan Alvin untuk berpacaran, apalagi ini dalam lingkup berbeda kepercayaan pula. Kecewa? Tentu saja. Akan tetapi, mereka tahu apa yang dirasakan Alvin. Karena gadis itulah yang memotivasi Alvin menjadi pribadi yang baik. Ah, romansa remaja dengan orang yang salah. Tapi itulah gunanya keluarga, yang bisa menjadikanmu memiliki tempat bersandar yang baik. Yang memelukmu di saat kamu merasakan keterpurukan.

4

Seakan sadar dengan apa yang sudah dialami oleh anaknya. Orang tua Alvin menyarankannya untuk melakukan konseling kepada guru BK di sekolah. Berharap agar ia dapat kembali seperti Alvin sebelumnya.

***

Kaki jenjang itu menelusuri setiap lantai. Ia terkadang masih berharap bertemu dengan pujaan hatinya. Setelah perpisahan, Al hanya bisa melihat Aura dari kejauhan. Tapi, yang lalu biarlah berlalu. Sepanjang lorong dihiasi dengan pajangan siswa maupun siswi yang berprestasi. Langkah tersebut terhenti tepat di depan pintu ruangan yang akan dia masuki. Mungkin saja, ruangan ini menjadi tempat yang benar-benar nyaman untuk mengungkapkan semua rasa dalam diri. Itulah yang dilakukan Alvin, seperti yang dipesankan ibunya beberapa waktu yang lalu. Entah mengapa ia merasa, Ruang BK seperti memeluk dirinya. Ia disambut hangat dengan guru-guru di sana.

Kini, di hadapannya duduk Ibu Ningsih, selaku guru BK yang menangani kasusnya. Konseling dimulai, semua berjalan dengan lancar. Ia menceritakan dengan detail penyebab nilainya menurun dan ketidakaktifan dirinya dalam organisasi. Tentu saja, ia tidak menyalahkan Aura, karena setelah dipikirkan perkataan Aura jelas benarnya, hubungan mereka tidak ada harapan. Ia tidak hanya kehilangan Aura, namun juga jati dirinya. Ia sudah sangat terjebak dengan perasaannya yang terlalu dalam. Sampai ia lupa, bahwa hidup harus terus berjalan. Ia masih harus mengejar apa yang menjadi tujuannya. Selama konseling berlangsung, Ibu Ningsih mendengarkan dengan seksama. Tidak ada penilaian, ia hanya menunjukkan perhatian.

5

Setelah selesai, Ibu Ningsih tersenyum, lalu berkata, “ Ini belum terlambat, Al. Kita bisa memulainya dari sini. Kamu sudah tahu apa yang terjadi dan kamu sudah merasakan dampaknya. Sekarang, kamu harus fokus untuk bangkit. Bagaimana jika kita membuat program yang di mana dapat membantu orang-orang yang mempunyai masalah seperti kamu? Jujur saja, banyak pelajar di sini yang seperti itu. Mungkin mereka tidak tahu harus mulai dari mana. Program ini yang dapat memberi mereka ruang untuk berbagi, bercerita dan mengungkapkan perasaannya”

Alvin terdiam sejenak. “ Program STAR (Solidaritas, Terampil, Aktif, Responsif) nama programnya.” Lanjut Bu Ningsih sambil tersenyum kepada Alvin. Merasa tidak ada jawaban, Ibu Ningsih kembali membuka suara. “ Ini bukan hanya tentang dirimu atau pemulihanmu, Alvin. Mungkin teman kamu yang lain akan terbantu dengan adanya program ini.” Alvin masih dengan lamunannya, berpikir keras, apakah ia bisa? Keraguan masih menyelimuti, tapi akhirnya ia menyetujuinya. Ia menyadari bahwa ia harus melangkah maju, ia tidak ingin hanya sekadar menyelesaikan masalahnya sendiri. Tapi, ia harus membuat orang lain dapat sembuh dari masalah mereka.

***

Program STAR mulai diluncurkan. Program ini adalah hasil pemikiran dari Alvin, Bu Ningsih dan guru BK lainnya. Diharapkan progam ini dapat membantu generasi muda lainnya yang menghadapi masalah, seperti Alvin. Program ini memberikan ruang yang mana generasi muda dapat berbicara, berkonsultasi, dan berbagi pengalaman mereka. Melalui beberapa kegiatan, diharapkan program ini dapat mengatasi masalah emosional dan membangun kehidupan sosial yang lebih baik lagi. Walau pada kenyataannya, pengimplementasian program ini tidaklah mudah. Ia membutuhkan seseorang yang bisa membantunya agar program ini dapat berjalan.

6

Alvin mengamati sekitar. Dan yang pertama yang ia ajak adalah teman terdekatnya. Fani dan Nathan. “ Fan, Nath, kalian mau bantu aku, tidak? Mau ya… tolong…” Mata Alvin yang berbinar membuat dua temannya bergidik geli. Nathan menelisik sekilas apa yang terjadi pada temannya ini, kemudian berkata. “ Tentang organisasimu lagi? Kalau iya, aku menolak dengan keras.” Disambut dengan acungan ibu jari oleh Fani. “ Betul…., aku setuju, aku sudah cukup lelah dan pusing karena nilai ulanganku rendah. Alhasil ayahku memotong uang jajanku dan membatasi bermain handphone untuk seminggu.” Wajah mereka benar-benar menampilkan isi hati mereka.

Alvin tertawa melihat kedua temannya, lucu sekali. “ Kali ini kegiatannya berbeda, kawan. Justru karena kalian sedang ada masalah, di kegiatan ini bisa berkurang. Untuk kegiatan yang lama, kau kan sudah tahu kalau aku sudah mundur beberapa waktu lalu. Aku mau mengajak kalian bersamaku membentuk program STAR (Solidaritas, Terampil, Aktif, Responsif) yang berfokus pada konseling dan pengembangan diri kalian. Bagaimana? Ayolah bantu aku…”

Fani dan Nathan yang mendengarnya, langsung tertarik. “ Tapi, tidak mungkin hanya kita bertiga saja. Kita butuh lebih banyak partisipan. Bukannya sulit mengajak yang lain? Apalagi anak muda sekarang kurang berminat untuk hal-hal terkait konseling.”

“ Maka dari itu, kita harus membuat program ini berbeda dan seru, Fan. Bahkan lebih bagus lagi kalau interaktif .” Sambung Alvin. Setelah beberapa menit Fani dan Nathan berdiskusi, mereka dengan mantap mengangguk setuju. Dari sinilah perjalanan mereka dimulai.

7

Bersama dengan kedua temannya, Al merancang konsep yang dapat membuat orang berani untuk menunjukkan bakat dan paham akan pemahaman diri. Dengan izin yang sudah di genggaman, mereka bertiga mendatangi tiap kelas dan memaparkan semuanya penuh percaya diri. “ Aku tahu, kita semua tahu. Setiap manusia punya masalah yang cukup berat untuk dipikul. Terkadang mereka lebih memilih untuk menyembunyikannya. Namun, bagaimana jika kita punya tempat untuk berbagi cerita dan tumbuh bersama dengan baik?”

Setengah dari mereka ada yang tertarik. Setengah lagi merasa ini tidak perlu. Alvin dan kedua temannya tidak menyerah. Kemudian mereka menunjukkan video yang ada di internet tentang dampak positif dari konseling dan pengembangan diri. Sontak saja, hal itu dapat membuat mereka tertarik. Di akhir presentasinya, Alvin berseru, “ Ayo, bergabunglah dengan STAR, ini akan menjadi bukti bahwa kita merupakan generasi penerus bangsa yang hebat!”

Hasil dari usaha mereka tidak sia-sia. Kini anggota STAR sudah bertambah. Akan tetapi, Alvin menghadapi tantangan yang serius. Beberapa dari mereka yang awalnya bergabung, memilih keluar, karena bagi mereka ini “ membosankan” dan menganggap program ini terlalu “ serius”. Namun, seperti yang kita tahu, membangun sesuatu agar menjadi lebih baik membutuhkan usaha dan kesabaran yang ekstra.

Alvin mengadakan pertemuan mingguan dengan anggota lain di aula sekolah. Yang mana mereka tidak hanya membicarakan perencanaan persiapan kegiatan yang akan mereka lakukan, namun juga menjadi sesi bercerita dan berbagi pegalaman. Alvin selalu memastikan bahwa setiap anggota merasa nyaman dan menganggap dirinya sebagai bagian dari keluarga besar STAR.

8

Suatu hari, di tengah sesi berbagi pengalaman, seorang anggota baru, Beni tiba-tiba angkat bicara. “ Aku pernah ingin berhenti sekolah. Karena aku sering mengalami perundungan di kelas, belum lagi orang tuaku selalu saja bertengkar di rumah. Namun, karena aku bergabung di sini, aku sadar program ini dapat membantu aku mengatasi masalahku.” Semua yang mendengarnya terharu dan langsung menghampiri Beni untuk memeluknya. Sejak saat itu, mereka membuka ruang konseling bagi warga sekolah. Berharap dengan cara ini dapat membantu mereka. Jadi, bukan hanya anggota saja, semua orang dapat merasakannya.

***

Setelah melakukan persiapan yang membutuhkan waktu yang cukup lama dan matang. Tibalah saatnya mereka menyelenggarakan acara pertama mereka, yakni, Festival Bakat dan Konseling. Acara diselenggarakan di aula sekolah, dengan tema yang ceria. Semua orang sangat antusias menunjukkan bakat mereka. Ada yang menari, bernyanyi bahkan sampai stand-up comedy. Penonton riuh memberikan tepukan yang sangat meriah. Di sebelah aula, terdapat ruang yang kedap suara yang menjadi tempat untuk konseling. Guru BK yang menjadi konselornya. Awalnya, banyak yang tidak berani. Namun, sesaat kemudian mereka sudah memberanikan diri untuk masuk menceritakan permasalahannya. Mulai dari masalah keluarga, pendidikan, karir bahkan percintaan. Fani yang menjadi asisten dari Guru BK, terharu dan sangat bersimpati kepada mereka. Tepat di depan ruang konseling, terdapat kotak yang berisikan suara hati orang-orang yang ingin mencurahkan segalanya.

9

Alvin berdiri di bagian belakang aula, mengamati bersama teman-temannya. “ Aku tidak percaya kita sampai di sini” Nathan berbicara dengan mata yang terus menatap ke depan. Acara berjalan lancar dan sukses besar. Kemudian, Bu Ningsih menghampiri mereka. “ Kalian harus percaya kalian bisa, anakku. Lihat sekarang, ini adalah pembuktian kalian. Acara ini sungguh meriah. Oh ya, terima kasih untuk kalian, telah membantu kami, Guru BK dalam menjalankan program ini. Kalian anak-anak yang hebat.” Bu Ningsih tersenyum simpul dan menepuk bahu Alvin.

Di sela-sela pembicaraan, ujung mata Alvin menangkap sosok yang sangat tidak asing untuknya, Aura. Aura kemudian tersenyum dengan senyuman manisnya dan mata binarnya, seakan merasa bangga kepada Alvin. Alvin membalas senyuman itu, walau hatinya berdegup kencang untuk kesekian kalinya. Namun, ia sudah merasa jauh lebih baik. Mereka bersitatap untuk beberapa waktu sambil melemparkan senyum. Seolah-olah senyuman itu menjadi tanda terima kasih untuk selama ini. Biarlah kebersamaan mereka dulu, menjadi kenangan yang indah. Setidaknya, dari rasa sakit itu, ia dapat merubahnya menjadi harapan yang baru.

10

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post