Zahira Azzahra Nadiaputri

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Bab 7 (Mempengaruhi)

Bab 7 Mempengaruhi Apa kalian pernah dengar, jika kita membuat guru kita marah atau tidak suka dengan kita, itu bisa membuat pelajaran yang kita pelajari tidak berkah, dan bisa menghilang begitu saja. Bahkan, mungkin nilai kita akan berkurang? Nah, itu yang aku dan Zahra takuti dari dulu. Walaupun, saat SD sudah keliatan sih, nilai yang aku dapat tidak memuaskan, kerena suka cabut dari jam pelajaran. Tapi, sekarang aku sudah SMP harus lebih fokus lagi, untuk membanggakan orangtua. “Nilai itu penting untuk masa depan,” ujar kakek di satu sore, “tapi, lebih penting lagi sikap atau perilaku kita. Akhlak kita dengan orang lain harus baik dan yang paling penting lagi, hubungan kita dengan Allah SWT tidak boleh terputuskan.” Dari awal, aku itu memang lumayan susah untuk memahami suatu pelajaran, tapi aku paling suka merangkum. Enggak peduli, berapa pun nilai yang aku dapat. Yang penting, kan, aku sudah berusaha untuk mencapai yang terbaik. Di kelas 8 ini, aku pun sudah berusaha untuk mencapai nilai yang terbaik, walaupun hasilnya tidak tetap saja masih kurang bagus. Dan, sekarang aku mulai tersadar, kalau kita sudah berusaha, tapi ternyata pelajaran yang kita pelajari selama ini tidak berkah, mau gimana lagi? Jalan satu-satunya adalah meminta maaf ke semua guru atas kesalahan yang kita lakukan dan kembali berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai nilai yang terbaik. Aku sangat yakin dengan satu kalimat “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah SWT”. Dari kalimat itu, menurut aku, kita tidak bisa mencapai sesuatu hanya karena atas izin Allah SWT dan doa orangtua. Maka dari itu, kita wajib memohon restu kedua orangtua kita, agar mereka mau mendo’akan keberhasilan kita sebagai anak. Banyak-banyaklah berdoa kepada Allah SWT, apalagi di sepertiga malam shalat tahajud. Insya Allah dikabulkan. Aku Dan Zahra menyadari, semua yang kami lakukan adalah salah. Tapi, kenapa kami sulit untuk berubah? Karena teman yang kami miliki hanyalah mereka, para ikhwan itu. Lha, kalau tidak ada mereka, aku Dan Zahra hanya main berdua saja. Itulah yang ada dipikiran kami saat ini. Karena ikhwan dan akhwat dipisah, itu yang membuat kami jadi sering ke perpustakaan, gedung SD ataupun ruang makan ikhwan, hanya untuk melihat mereka. Kalau tidak menemui mereka, aku dan Zahra sering bertanya-tanya. “Mereka kena masalah juga, enggak, ya?” Hmmm… padahal kalau dipikir-pikir, ngapain juga, sih, mikirin mereka. Padahal, kan, enggak terlalu penting banget. Ya. Tapi itulah yang jadi perbincangan antara aku dan Zahra setiap hari. Kalau tidak sedang membicarakan kaum ikhwan, biasanya, aku dan Zahra nyanyi-nyanyi. Walau hanya berdua saja. Mungkin, kalau aku perhatikan lagi, yang namanya teman, tuh, memang mempengaruhi. Buktinya, aku dan Zahra merasakan hal yang berbeda ketika berteman dengan BFF dan teman-temannya Kinan. Aku dan Zahra sempat ingin menjauh dari Kinan dan teman-teman ikhwan lainnya. Karena, kalau kita berteman dengan mereka, akan menambah banyak masalah. Aku dan Zahra khawatir, mereka juga kena masalah gara-gara kami. Walaupun, mereka memang sering kena masalah, maka karena alasan itulah, aku dan Zahra ingin menjauh dari mereka. Tapi ternyata enggak bisa. Seandainya, hubungan kami dengan BFF masih nyambung… Tapi, Putra juga masih suka curhat sama aku, loh. Yang paling lucu, aku pernah janjian sama Zhaffar, Zahra dan juga Putra di rumahku. Pas Zhaffar sudah sampai, aku dapat kabar kalau Putra dan Zahra enggak bisa datang ke rumah. Lah, aku langsung panik. Berarti hanya ada aku dan Zhaffar. Terus mau ngapain? Untungnya papahku ngajak keluar, buat jemput mama pulang kerja. Kami naik mobil. Aku dan papah di depan dan Zhaffar di belakang sendiri. Setelah menjemput mamah, kami pergi ke mall buat makan siang. Kami semua semeja makan, dan ngobrol-ngobrol seru sampai tertawa. Lumayan seru juga, sih. Jadi, keluarga aku kenal sama Zhaffar. Sesampainya di rumah, Zhaffar langsung balik ke rumahnya sendiri. Harusnya kalau ada Putra sama Zahra, pasti bakal lebih seru lagi. Ada satu kejadian antara aku dengan adik kelas. Ceritanya, Kinan posting foto di Instagram-nya, saat aku lihat-lihat comment-nya. Ternyata, ada yang ngomong kata-kata kasar dan tidak pantas. Parahnya, dan bawa-bawa nama aku. “Itu siapa yang comment pakai kata-kata kasar? Kayaknya, adik kelas bukan, sih?” tanyaku pada Kinan. Ternyata memang anak kelas 7, namanya Ata. Aku sampai DM (direct message) ke Ata. Dan, menanyakan alasannya berkomentar seperti itu. Hingga berhari-hari, DM-ku tidak dijawab oleh adik kelasku itu. Kinan pun mengancam akan memberi pelajaran ke Ata. Awalnya aku, sih, bilang iya-iya aja. “Memang mau diapain?” tanyaku. “Lihat aja nanti,” jawab Kinan.. Saat di sekolah, Kinan benar-benar kasih pelajaran ke Ata. Cowok itu narik Ata ke depan kelasnya. “Siapa yang megang akun kamu!” Tanya Kinan dengan tegas. Kinan nanya ini itu sembari nge-gas. “Itu bukan aku. Mamanya Bagas yang pegang akun itu,” terang Ata. Kinan enggak bisa percaya semudah itu. Untunglah ada guru yang berjalan mendekati mereka. Sehingga, Kinan langsung melepaskan Ata, dan pergi dengan teman-teman yang lainnya. Sorenya, ada notifikasi dari DM Instagram-ku, ternyata itu dari Ata. Dia mengaku bahwa bukan dia yang megang akun tersebut. Dan, tentu saja, hal itu membingungkanku. Kalau memang itu benar, bagaimana? Pesan Ata hanya kubalas dengan kata “maaf”. Aku pun berpesan pada Ata untuk jangan bilang ke siapa-siapa, kalau Kinan sudah kasih pelajaran ke dia. Tentunya, sembari memohon. Aku takut kalau Kinan kena masalah hanya karena aku. Tapi ternyata, Ata sudah berkomunikasi lewat online dengan gurunya, dan melaporkan ke guru BK, bahwa temannya Bagas telah ngomong kasar di media sosial. Huh! ada-ada saja. Aku pun langsung bilang ke Kinan tentang itu, dan minta dia enggak usah lagi ngurusin Ata. “Masalahnya, dia sudah bawa-bawa nama kamu! Kalau nama aku sih, enggak apa-apa,” ujar kinan. Menurut informasi dari Ata, yang comment di sana adalah Bagas. Aku pun langsung bertanya ke Bagas, tentunya dengan cara baik-baik. Tapi, tidak berhasil menggali apapun. Sampai sekarang, aku dan Kinan belum tahu siapa yang komentar di post-annya Kinan. Tidak sampai disitu, Kinan, tuh, orangnya suka terbawa emosi sendiri. Enggak tahu gara-gara apa. Namanya juga manusia, pasti beda-beda. Jadi, ceritanya ada ikhwan yang curhat ke aku, namanya Regar. Dia curhat masalah akhwat yang dia suka. Aku cuman ingin bantu dia. Pernah juga, ngajak main bareng online game. Tapi saat itu, karena aku belum terlalu kenal sama Regar, saat main, aku gak open mic di game-nya. Aku juga pernah main game bareng sama Kinan. Kalau sama dia, aku open mic, karena sudah lumayan kenal. Karena followers aku di Instagram cuma dikit, aku minta di promote ke Regar, karena Regar belum pernah promote aku. Eh, ternyata Regar sudah promote aku duluan. Di situ dia bilang makasih, karena sudah mau jadi temen curhat sama mabar, pokoknya gitu, deh. Tiba-tiba besoknya, Regar bilang ke aku, kalau dia diancam sama Kinan enggak boleh chattan dan mabar lagi sama aku. “Gimana? Mau sudahan saja, chattan-nya?” tanyanya “Terserah. Kamu masih mau curhat atau enggak?” tanyaku bingung “Masih ada, sih.” “Terus gimana?” Aku dan Regar pun sama-sama bingung, bagaimana baiknya. Akhirnya, aku chat Kinan. “Kenapa kamu ngelarang aku buat chattan sama Regar? Regar cuman mau curhat, dan main bareng di game aja. Kita enggak open mic, kok.” “Hmmm.” Kinan hanya menjawab seperti itu. Sebenarnya, aku juga takut kalau Kinan marah, lalu ngasih pelajaran ke Regar. Benar saja, kan, besoknya di sekolah, Kinan ngancam Regar lagi. Kok, aku bisa tahu, ya? Karena hampir setiap pulang sekolah, Regar suka bilang, kalau dia diancam lagi. Dari awal ketika pengancaman itu terjadi, Regar sudah berusaha menjelaskan pada Kinan, tapi cowok itu tetap saja enggak peduli. Akibatnya, Regar sekarang lebih memilih untuk menghindari Kinan. Aku jadi merasa bersalah. Aku mau negur Kinan, tapi nanti cowok itu tahu, kalau aku masih ngobrol sama Regar, ada juga, masalahnya nanti pasti bertambah. Aku jadi bingung sendiri, merasa bersalah banget ke Regar maupun Kinan. Urusannya jadi enggak selesai-selesai. Tapi lucunya, aku Dan Kinan malah saling ledek-ledekan, Kinan memanggil dengan sebutan “Regar” Dan Aku memanggil dia dengan nama orang yang dulu Kinan suka. Semoga saja urusan ini cepat berlalu. Aku takut, Regar dan Kinan ketahuan dengan guru mereka. Dan, dihukum hanya karena masalah kecil. Pastinya, aku juga akan kena. Seiring berjalannya waktu, akhirnya, masalah itu pun selesai. Ada satu cerita lagi, saat ulang tahun ku yang ke-14. Ceritanya, Kinan mau memberi hadiah. Gimana cara ngasihnya, aku enggak tahu. Awalnya, dia mau ngasih gelang, tapi tidak jadi. “Mau, hoodie bekas aku, ga?” tanyanya, “masih bagus,” sambungnya lagi. Aku sih setuju-setuju saja, enggak dikasih juga enggak apa-apa. “Itu enggak apa-apa?” tanyaku, “hoodie-nya sayang, masih bagus, loh.” Aku berkata demikian, karena aku sudah lihat foto hoodie-nya. “Enggak apa-apa. Aku sekarang jarang pakai juga. Tapi, ini banyak kenangannya,” terang Kinan. Aku tambah enggak enak mau nerima. Tapi, mau gimana lagi, kalau Kinannya mau ngasih, ya, enggak apa-apa, lumayan juga buat aku, hehehe. Cara ngasih nya gimana? Rencananya, mau ngasih di gedung SD lantai 2 saat jam istirahat. Oke lah, besoknya Aku Dan Zahra sudah mondar mandir di gedung SD, tapi mereka nya enggak ada. Sampai jam istirahat selesai. Aku dan Zahra juga bingung, takutnya mereka bohong lagi. Tapi, kita tetap positif thinking aja, mungkin mereka lagi ada urusan di kelas. Sepulang sekolah, Kinan chat aku, katanya dia juga ke sana tapi enggak liat kita. Lah, gimana ceritanya? Ya sudahlah, ngasihnya besok saja. Besoknya Aku Dan Zahra ke gedung SD lagi, ternyata mereka sudah Ada, lagi main bola di ruang makan ikhwan. Kebetulan ruang makan ikhwan dan gedung SD lantai 2 nyambung, jadinya aku Dan Zahra bisa melihat mereka. Kami hanya lihatin mereka saja, sampai mereka menyadari kami ada di sana, dan melihat ke arah kami. Akhirnya, mereka melihat kami, tapi mereka enggak langsung nyamperin. Namanya juga sembunyi-sembunyi, saat itu yang nyamperin aku Dan Zahra pertama kali bukan Kinannya langsung, tapi ikhwan yang lain. Tapi, dia tidak membawa hoodienya, tapi malah bertanya, “Mana?” “Mana apanya?” aku balik tanya. Tiba-tiba, Agam datang dari lantai 1 gedung SD sambil membawa hoodie. Aku berbisik kepada Zahra, “Itu kali, ya, hoodie-nya, kok, ada di Agam?” Zahra juga enggak ngerti. Agam langsung kasih hoodie itu ke aku. “Ini serius? Beneran?” tanyaku ke Agam, “makasih, ya, bilangin Kinan,” ujarku lagi. Aku dan Zahra langsung balik lagi ke gedung SMP, karena waktu kami sempit. Sesampainya di kelas, aku menyembunyikan hoodie itu, takut ada yang bertanya, dari siapa. Awalnya, aku Dan Zahra mengira, itu semua hanya bercanda. Ternyata beneran dikasih. Zahra langsung enggak mau megang hoodie itu, karena bekas Kinan. Sampai di rumah, aku pasti ditanyakan soal hoodie itu dari siapa. Aku takut, kalau kubilang dari Kinan, nanti mamah marah. Karena mamah aku belum terlalu kenal dengan Kinan. Jadi, Aku sempat berbohong soal hoodie itu ke mamah, aku bilangnya itu dari BFF. Mamah juga kaget, karena aku dikasih hoodie. Tapi, rasanya, kok, tidak nyaman, ya, kalau berbohong sama Mamah. Akhirnya, setelah beberapa hari, aku langsung bilang ke mamah, kalau hoodie ini dari Kinan, dan ternyata ekspresi mamah saat itu, biasa saja. Huuuh...padahal aku sudah panik, setelah itu aku lega karena sudah jujur.
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post