Zahira Azzahra Nadiaputri

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Bab 6 (Masalah Menyebar)

Bab 6

Masalah Menyebar

Aku dan Zahra hanya bisa melepaskan rasa tidak nyaman karena masalah di sekolah yang tengah kami hadapi, dengan main basket dan jalan-jalan naik sepeda. Kalau sudah begitu, semua rasa tidak nyaman dalam diri ini hilang begitu saja. Setelah itu, kami berdua ngobrol tentang keluh kesah yang disimpan di dalam hati, sambil berjalan menuju rumah. Hingga dipertengahan jalan kami pun berpisah dan melanjutkan perjalanan ke rumah masing-masing.

Sesampainya di rumah, aku pun melakukan aktivitas seperti biasa. Di malam hari, rasa sesal kembali datang. Air mata pun mulai menetes ketika aku kembali merenungi semuanya. Aku harus siap dengan hari esok sekolah! Apapun yang terjadi, harus bisa dihadapi, bukan dihindari.

Keesokan harinya, di sekolah, aku dan Zahra menjalani hari dengan senang, seperti biasa. Dari pagi hingga siang hari, nampaknya semua berjalan lancar. Tapi, ternyata dugaanku salah. Sekitar pukul 14.00 WIB, sehabis mata pelajaran yang ke-3 menuju mata pelajaran yang terakhir. Aku dan Zahra dipanggil oleh wali kelas sekaligus guru ngaji kami. Aku dan Zahra merasa bingung, karena seharian tidak merasakan ada hal-hal yang aneh.

Kami pun berjalan menuju ruang guru akhwat, untuk menemui wali kelas kami, Bu Fatma. Bu Fatma meminta kami duduk di depan ruang guru. Aku dan Zahra mulai panik, karena melihat wanita berkerudung biru itu seperti habis menangis atau menahan apa, entahlah, kami tidak tahu.

Bu Fatma mulai tersenyum, lalu memulai pembicaraannya. Ternyata, beliau mendapatkan info bahwa kami membuat group bersama ikhwan. Itu sebabnya, kami di panggil untuk menjelaskan kebenaran info tersebut.

Kami langsung menjawabnya dengan jujur dan menjelaskan semuanya secara detail. Ada sebagian informasi yang keliru. Katanya, ada salah satu ikhwan yang keluar dari grup dan kami dengan sengaja memasukannya kembali. Berita tentang ikhwan yang left grup memang benar. Tapi, ikwan itu yang minta di add lagi. Bukan kami yang berinisiatif untuk memasukannya dengan sengaja.

“Grupnya sekarang masih aktif?” tanya Bu Fatma

“Sudah enggak, Bu. Sudah lama banget enggak aktif,” jawabku.

Bu Fatma mulai menasehati kami dengan lemah lembut. Kami pun merasa nyaman dinasehati dengan cara seperti ini.

“Jangan diulangi lagi, ya. Kalian sudah tahu, kan? Dan sudah dijelaskan tentang hal tersebut?”

“Iya, Bu. Kami minta maaf, Bu.”

Ternyata, tidak sampai di situ. Ada satu info lagi, dari salah satu siswa/siswi yang melaporkan bahwa ukulele aku berada di tangan ikhwan. Ya, itu memang benar. Aku yang meminjamkannya, karena dia adalah sahabatku juga. Aku merasa tidak enak bila tidak meminjaminya, padahal dia sedang membutuhkan alat musik itu.

Saat itu, aku dan Zahra sedang membeli cilor di belakang sekolah, buat ngasih ke Kinan dan teman-temannya, dalam bentuk pajak ulang tahun. Kebetulan aku bawa ukulele dan bola basket buat main di lapangan. Saat menunggu cilor beres, tiba-tiba Bastian datang untuk meminjam ukuleleku. Dan, enggak tahu kenapa, aku langsung kasih saja. Karena banyak orang saat itu. Aku meminjamkannya dengan sembunyi-sembuyi.

Setelah cilornya beres, aku langsung memberinya kepada Kinan. Dan, bermaksud untuk mengambil ukulelenya kembali, setelahnya. Akan tetapi, ada banyak akhwat yang lewat. Sehingga, aku memutuskan untuk mengambil kembali ukulelenya saat kondisi mulai sepi.

Sambil melanjutkan perjalanan ke lapangan basket, aku pun bertanya pada Zahra, apakah tadi ada yang melihat atau tidak.

“Sepertinya tidak,” jawab Zahra yakin.

Kurang lebih seperti itulah cerita tentang peminjaman ukulele. Tapi, nampaknya Bu Fatma tidak mengetahui tentang pajak ulang tahun yang aku berikan kepada Kinan dan teman-temannya. Yang dibahasnya hanya masalah ukulele. Setelah itu, kembali wali kelas kami menasehati dan membuat kami berjanji untuk tidak mengulangnya lagi.

Setelah kejadian itu, aku enggak pernah lagi membawa ukulele ke sekolah. Gara-gara klarifikasi tentang masalah ukulele itu, membuat aku dan Zahra harus berhadapan dengan wali kelas kami dan meninggalkan satu mata pelajaran yang terakhir.

Sebenarnya, aku dan Zahra masih penasaran. Siapa, sih, yang memberitahu semua itu? Bukan untuk berhati-hati, bukan pula untuk membalasnya. Kami hanya ingin tahu saja. Karena itu, aku dan Zahra mulai menyusun misi untuk mencari tahu siapa penyebar berita tersebut.

Hari demi hari berlalu. Kami masih belum menemukan siapa yang memberi tahu semua itu. Tapi, kami menduga, sepertinya itu ulah salah satu ibunya teman ikhwan kita. Walaupun, kami masih belum tahu kebenarannya.

Waktu terus berjalan, aku dan Zahra sudah mulai sudah tidak memikirkannya lagi. Akan tetapi, sedikit demi sedikit, masalah demi masalah mulai muncul. Kali ini, untuk kedua kalinya aku dan Zahra diminta menghadap Bu Fatma.

Beliau mendapatkan info dari orang yang sama, bahwa kami berdua janjian dengan ikhwan saat ada acara kaka kelas di sekolah.

“Apakah itu benar?” selidik Bu Fatma

“Lah, kita enggak janjian, Bu,” kami berdua menjawab berbarengan. Dan, itu memang benar, aku dan Zahra tidak janjian dengan ikhwan. Kami pun coba menjelaskan kembali kejadian demi kejadian waktu itu.

Awalnya, kami berdua datang ke acara kakak kelas yang ada di sekolah. Niatnya hanya untuk jajan, karena saat itu ada bazar makanan. Kami berdua sudah mengelilingi setiap jajanan yang disajikan. Tapi, ternyata kita sudah enggak mood lagi untuk jajan.

Karena dari awal kita sudah berniat untuk main basket dan ukulele, kami pun membawa kedua benda itu ke sana. Lalu dari tempat acara kakak kelas, kami langsung pergi ke lapangan, tapi sebelum kami memutuskan untuk ke belakang sekolah dulu, dan jajan di sana. Aku membeli telur gulung, sedangkan Zahra tidak membeli apa-apa. Selesai jajan, kami berdua langsung menuju lapangan basket.

Di tengah perjalanan, kami terhambat untuk ke lapangan basket. Akhirnya, kami putuskan untuk bermain di teras depan masjid. Ya, memang kita bermain dekat dengan rumah Rhay. Tapi, aku hanya bermain berdua saja dengan Zahra tidak janjian dengan siapapun. Kali ini, info yang dilaporkan oleh orang tersebut, benar-benar keliru.

Nampaknya, Bu Fatma memahami penjelasanku, “Oh, jadi begitu,” ujarnya sembari manggut-manggut. “Tapi, kalian ingat, ya, kita sebagai seorang muslim tidak boleh bercampur baur antara ikhwan dan akhwat. Nanti ibu konfirmasikan lagi ke yang melaporkannya. Kalian jangan main lagi di lapangan sana, ya, agar tidak menjadi fitnah.”

Sebenarnya, aku dan Zahra lumayan kesal. Kami sudah susah payah menemukan lapangan basket yang cukup nyaman. Dengan kejadian ini, kami harus main basket di mana lagi? Di situ aku mulai menyerah dan enggak tahu harus bagaimana lagi. Ya, memang, sih, aku akui, kalau kami menemukan lapangannya dengan cara yang salah.

Memang, sih, semua berita yang beredar tentang kami tidak ada yang benar. Masih ada yang belum terbongkar. Tentang kedatanganku dan Zahra ke rumah Rhay, hanya untuk mencari lapangan basket bersama Kinan dan juga Agam.

Sejujurnya, kami merasa aneh. Kenapa yang ketahuan oleh Bu Fatma hanya tentang hal yang tidak benar. Bukannya, tentang suatu perkara yang memang benar-benar kami lakukan. Ternyata, Allah masih menutupi aib kami, dari guru ngaji kami. Allah itu baik banget, ya?

Rasa bingung membawaku dan Zahra bertanya pada Rhay, Dilan, juga Nathan, sepulang sekolah, perihal laporan seseorang mengenai kami kepada Bu Fatma. Info yang aku dapat dari mereka, ternyata ada guru ikhwan yang melihat kami sedang bermain di sana. Serta ada juga teman akhwat yang melaporkannya.

Kami berdua agak kesal karena itu. Seharusnya, kalau mau lapor, nanya langsung ke kami, biar jelas. Dan ternyata, benar, kan? Semua yang dilaporkan itu salah. Kejadian ini tidak jauh berbeda ketika aku dan Zahra masih SD. Kami difitnah! Masa, kejadian seperti ini terulang lagi di SMP.

Tidak sampai di situ saja, kami berdua yakin, akan ada keburukan aku dan Zahra yang diketahui oleh guru, suatu hari kelak. Kalian tahu, kan, kalau orang belum dimarahin ataupun dihukum, dia enggak akan puas dan akan terus menerus mengulangi kesalahan yang sama, walaupun dengan cara yang berbeda. Saat itu, aku dan Zahra berharap untuk mendapat hukuman secara fisik, tapi kami ternyata tidak mendapat hukuman seperti itu.

Selepas semua kejadian itu, aku dan Zahra lagi-lagi tidak merasa nyaman saat belajar, dan ada rasa malu juga. Kami perhatikan, wali kelas kami juga mulai menjauh, tidak seperti biasanya. Entah, kita yang menjauh atau Bu Fatma. Kami jadi merasa tidak enak saat mata pelajaran beliau, yaitu pelajaran matematika.

Biasanya, pada waktu-waktu tertentu, kami ada kumpul-kumpul bareng dengan wali kelas. Ada sesi klarifikasi perihal semua masalah yang terjadi di kelas, termasuk uang kelas, piket kelas, barang-barang yang dibutuhkan, sikap kita, dan lain-lain. Biasanya, wali kelas meminta kita untuk curhat tentang apa saja, dan ada waktunya, beliau akan membahas tentang pergaulan antara ikhwan dan akhwat, karena memang masa-masa SMP itu adalah waktunya untuk mencoba-coba apapun. Tidak jarang, beliau pun menyindir untuk kita mengakui kesalahan. Siapapun yang disindir oleh wali kelas kami, harus langsung mengakui, karena sebenarnya Bu Fatma pasti sudah tahu. Jadi, percuma juga kalau enggak ngaku.

“Jadi, ada akhwat yang nyanyi, dan di situ ada nama ikhwannya,” sindir Bu Fatma.

“Siapa?” ujarku dalam hati.

“Itu kita, bukan? Yang di Instagram kamu?” tanya Zahra sembari berbisik.

Aku mikir lagi. “Hah, yang mana?” tanyaku pada Zahra.

Sepertinya, Zahra benar. Mau enggak mau, kami pun harus mengakuinya. Tapi, aku ingin mengaku saat kelas sudah bubar.

“Bu, yang tadi ibu omongin itu, saya, ya, Bu?” tanyaku hati-hati, ketika kelas sudah kosong.

“Iya, Nak. Kita ngobrolnya nanti saja, ya, sepulang sekolah atau sebelum ashar. Nanti kalian yang ke ibu.”

Aku dan Zahra langsung panik dan enggak tahu harus bilang apa lagi. Waktu terus berjalan, sampai tidak terasa waktu sudah mau adzan ashar. Kami berdua langsung menuju ruang guru dan menghampiri Bu Fatma. Kami pun di bawa ke depan ruang guru.

“Kita sebagai akhwat jangan melakukan sesuatu yang aneh-aneh, yang bisa membuat derajat kita menjadi rendah,” ujar Bu Fatma ketika kami sudah duduk-duduk di depan ruang guru. Kalau dipikir-pikir, nasehat Bu Fatma itu memang benar, rasanya sangat memalukan bila melakukan perbuatan seperti itu, hanya karena terlalu senang mempunyai teman-teman seperti mereka.

Sejujurnya, aku dan Zahra merasa senang berteman dengan mereka, enggak tahu kenapa. Sejak dulu sampai sekarang, kami lebih suka berteman dengan ikhwan dibandingkan dengan akhwat. Karena kebanyakan, akhwat itu hobi ngomongin orang di belakang. Walaupun demikian, apa yang aku dan Zahra lakukan memang salah, sih. Kami hanya ingin dihukum secara fisik, itu saja. Agar kami bisa jera. Namun, guru kami tidak pernah memberi kami hukuman seperti itu.

Bu Fatma itu sangat baik. Mungkin beliau yakin, semua orang pasti bisa berubah, asalkan dia mau. Soal masa lalu, biarlah kita jadikan pelajaran untuk masa depan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post