Zahira Azzahra Nadiaputri

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Bab 2 (Sebuah Keputusan)

Bab 2

Sebuah keputusan

Saat pertama kali masuk SMP, ada satu acara yang diadakan oleh sekolah itu, antara lain, orientasi sekolah atau pengenalan, muhasabah diri, mimpi besar, dan lain-lain.

Ada satu momen di mana saat acara muhasabah diri, aku mulai sadar, kalau selama ini yang aku lakukan sudah melewati batas. Sehingga, mulai saat itu, aku bertekad untuk kembali ke jalan-Nya.

Memulai semua itu, dari tidak bersangkutan lagi dengan para ikhwan dan hanya fokus untuk beribadah kepada-Nya.

Awalnya, semua berjalan lancar. Aku bisa rutin shalat tahajud, baca Al-Quran, dan ibadah-ibadah lainnya. Hanya yang membuat aku bingung adalah saat teman-teman mulai membicarakan perihal para ikhwan, aku sama sekali enggak tahu apa pun. Bahkan, siapa yang mereka bicarakan. Jadinya, aku hanya bisa mendengarkan saja.

Namanya juga usaha, pasti ada saja ujiannya. Termasuk usahaku untuk kembali ke jalan yang benar, yang ternyata tidak semulus jalan raya. Ada saja cobaan yang menghampiriku.

Berawal dari chattingan dengan lawan seorang cowok. Dari situ aku pun mulai terbawa dalam kemaksiatan, yang memang rasanya seru dan menyenangkan. Memang, ya, orang tuh, kalau udah masuk ke jalan yang salah, pasti akan keterusan.

Jadi begini ceritanya, ada seorang ikhwan yang tiba-tiba nge-chat. Tapi, aku enggak tahu itu siapa. Maka, aku mulai bertanya ke Zahra, dan ternyata ikhwan itu adalah kakak kelasku, anak kelas 9 bernama Aras.

Awalnya, chattingan kami biasa-biasa saja, tapi ternyata malah keterusan. Hingga aku udah mau naik kelas 8, kakak kelas itu datang.

Katanya, sih, sekalian mau ketemu temannya juga. Tidak hanya itu saja, bahkan kami saling memberi kabar dan menanyakan keberadaan kami.

Satu hari, sebelum kenaikan kelas, aku dan Zahra pergi menonton bioskop di salah satu mall terbesar, Kota Bogor. Kami berdua pergi ke bioskop naik mobil grab. Sesampainya di tempat tujuan, kami memutuskan untuk makan terlebih dahulu, setelah itu shalat, karena waktu dhuhur telah tiba.

Kebetulan, film-nya baru tayang pukul 13.00, jadi kami masih memiliki banyak waktu untuk menunaikan kewajiban kami terlebih dahulu.

Yeay! Akhirnya semua beres;makan dan sholat dhuhur. Kami sudah tidak sabar untuk menonton film, karena jarang-jarang, loh, kami menonton bioskop berduaan saja. Kami pun menuju loket untuk mengambil tiket, dan langsung masuk ke dalam teater.

Setelahnya, Kami mulai mengatur posisi duduk senyaman mungkin. Sesaat sebelum film mulai diputar, tiba-tiba ada dua orang Ikhwan yang duduk di sebelah kami! Kami pun panik dan segera ingin pindah, tapi tidak bisa. Setelah diperhatikan baik-baik, ternyata kami mengenal dua orang ikhwan itu. Ya, itu Kak Aras dan temannya.

Zahra menyebut nama teman Kak Aras dengan sebutan Kak Ali. Rasa malu menghinggapi perasaan kami, sehingga tidak ada percakapan sama sekali.

Setelah menonton, ternyata kita baru sadar, kalau ada salah satu pemeran di film itu yang hadir dalam bioskop. Seisi bioskop pun bersorak, kecuali kami, karena memang bukan sesuatu yang luar biasa, tapi biasa saja.

Mereka nampak melakukan sesi photo-photo di dalam teater. Aku dan Zahra memutuskan untuk langsung pergi keluar dan menuju kamar mandi.

Selepas itu, kami turun ke lantai bawah untuk membeli cemilan. Eitsss! Tapi, sebelum itu kami keliling dulu, dong, sambil liat-liat barang yang enggak akan kami beli juga, hehehe…

Setelah puas keliling-kelilingnya, kami pun pergi mencari cireng keraton. Entah kenapa, aku ingin sekali makan cireng sambil minum susu “Mbok Darmi”.

Tapi, ternyata ada hal yang menghambat semua itu. Kalian tahu, apa? Yups, ternyata ada Kak Aras dan Kak Ali yang juga sedang membeli cireng. Dan, anehnya, mereka enggak beranjak juga dari sana, meskipun pesanan mereka sudah siap.

Ya sudahlah. Karena mereka tidak beranjak-anjak juga, sedangkan aku juga ingin menikmati cireng itu, maka, kuputuskan untuk pergi memesan makanan yang terbuat dari kanji itu, walaupun mereka masih ada di sana.

Tiba-tiba Kak Ali berulah, cowok berambut ikal itu mulai ngeledekin aku dengan nama Kak Aras. Ya ampun…

Aku mampir sebentar ke tempat duduk Zahra, untuk menanyakan pesanannya. Awalnya, cewek berkerudung biru itu menolak untuk memesan apapun.

Walaupun, beberapa saat kemudian, ia berubah pikiran ingin membeli susu “Mbok Darmi” juga.

Pesanan kami pun selesai, sekarang waktunya makan. Sambil menikmati cireng dan susu “Mbok Darmi”, diam-diam kami memperhatikan Kak Aras dan Kak Ali, yang tengah memata-matai kami.

Nampaknya, mereka keliatan sedang ngobrolin sesuatu, sambil sesekali senyum-senyum. Tiba-tiba kak Ali berjalan menuju ke tempat, di mana aku dan Zahra duduk. Secara otomatis kami langsung berpura-pura tidak melihat kedatangan Kak Ali.

“Nih, dari kak Aras, ya?” ujar Kak Ali sambil menyodorkan sebungkus cireng ke arahku. Ia langsug berbalik pergi.

Aku bengong. “Tapi lumayan, sih, buat nambah cemilan aku dan Zahra. Tapi, maksud Kak Aras ngasih ini ke aku, apa, ya?” aku berujar dalam hati.

Sudahlah, mari kita lupakan saja perihal Kak Aras dan Kak Ali. Sekarang, balik lagi ke aku dan Zahra, yang pada akhirnya ngobrol ngalor-ngidul, seru-seruan sambil menikmati cireng.

Tak lama berselang, lagi-lagi, kami melihat kak Aras dan kak Ali sedang membeli minuman, yang kebetulan toko minuman itu ada di depan tempat kami.

Aku dan Zahra coba mengabaikan mereka, kami terus saja melanjutkan obrolan yang enggak ada akhirnya itu.

Tiba -tiba kak Ali datang menghampiri. “Ini dari Kak Aras, ya?” ujarnya. Kali ini dia memberiku minuman yang bertulisan Mr. Aras, pada gelas plastiknya.

Dan minuman itu dikasih ke aku, dan sekali lagi kak Ali bilang “ itu dari kak Aras ya”. Sekarang, aku pun semakin tambah bingung. Ditambah lagi, si Zahra malah ngeledekin aku juga dengan nama kak Aras. Hadeeh…

Sekarang di perjalanan pulang, kami akan pulang dengan menggunakan grab mobil lagi, saat dalam perjalanan, aku pun langsung chat kak Aras.

Kami pun terlibat pertengkaran kecil. aku mempertanyakan tentang posisi duduk kak Aras di bioskop, kenapa bisa kebetulan sekali berada di sebelah kami? Wajarkan, kalau aku dan Zahra sudah akhirnya menduga-duga hal yang tidak benar tentang kak Aras dan kak Ali?

Sebenarnya, ada rasa senang juga, sih, bisa ketemu langsung dengan orang yang aku gak kenal.

Hari ini adalah acara kenaikan kelas. Nampaknya, Kak Ali dan Kak Aras juga datang. Sehingga membuat fokusku dan Zahra hanya tertuju pada mereka saja, ulala…

Masih tetap pada situasi yang sama. Tidak boleh ada komunikasi antara ikhwan dan akhwat, membuat kami mencuri-curi kesempatan, walaupun hanya untuk berupa tatap muka.

Tanpa bicara. Karena aku tidak membawa handphone, jadi agak kesulitan untuk berkomunikasi dengan Kak Aras.

Tapi untungnya, Zahra membawa handphone, aku pun meminjam miliknya, agar memudahkanku untuk berkomunikasi dengan Kak Aras.

Setelah selesai acara, aku pun langsung pulang dengan keluarga. Saat itu, aku baru mendapatkan kabar kalau Kak Aras ingin kembali ke pesantren lagi.

Tak di kusangka, ini adalah hari terakhir aku dan Zahra tidak berkomunikasi lagi dengan Kak Aras dan Kak Ali. Setelah kejadian tersebut, aku mulai kembali menjadi anak yang lumayan nakal lagi.

Oke! Tidak usahlah kita membahas itu lagi, karena ternyata, aku mendapat cobaan lagi. Kalian tahu? Hobiku adalah bermain basket, dan aku ingin sekali menguasai semua skill yang ada di dalam permainan tersebut. Untuk itu, aku ingin melatihnya di tempat les basket.

Sebenarnya, sudah lama keinginan itu muncul. Aku pun pernah sampaikan inginku itu pada kedua orang tuaku, tapi mereka belum mengizinkan.

Kupikir, saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengutarakan itu semua. Namun, sebelum aku melakukannya, aku harus mencari tahu dulu tentang tempat-tempat yang menyediakan les tersebut.

Beberapa hari kemudian, aku sudah menemukan lapangan basket yang sesuai dengan harapanku. Segera aku bilang ke mamah.

“Anak temen mama juga les di situ, tapi Anaknya ikhwan. Kalau kamu mau, bareng dia aja,” jawab mamah. Aku otomatis kaget dengan perkataan mamah aku yang langsung setuju.

Ya, mungkin karena ada anaknya temennya, yang kebetulan teman masa kecil aku. Dulu, kami pernah dekat banget; sering main bareng. Tapi, sekarang karena sudah semakin besar, jadi kami jarang main lagi.

Di satu sisi, aku ingin memulai les itu secepatanya, tapi di sisi lain, aku masih ragu dengan pakaian yang akan dikenakan nanti saat les.

Karena aku teringat sebuah hadist yang menyatakan bahwa Allah akan melaknat wanita yang memakai pakaian laki-laki dan laki-laki yang memakai pakaian wanita. Contohnya; celana.

Aku pun mulai berpikir, “Untuk apa kita melakukan sesuatu yang kita sukai, sedangkan Allah tidak menyukainya? Yang ada, sesuatu yang kita sukai itu akan menjadi dosa, dan nantinya akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Bukankah, di dunia ini kita hidup untuk mencari ridho-Nya, benar, kan? Bukan hanya mengejar kesenangan duniawi yang tidak kekal”.

Aku selalu berpikir seperti itu sebenarnya. Tapi kenapa, diriku sendiri terjebak di dalam kesenangan tersebut?

Sampai suatu hari, aku memutuskan untuk nekat datang ke tempat les basket itu, dengan menggunakan celana.

Walau ada rasa tidak nyaman, tapi aku tidak punya pilihan. Di tempat itu aku memang merasa senang, tapi aku pun merasakan ada yang tidak enak saat melakukan ini dan rasanya kurang nyaman.

Sepulang les, aku ceritakan apa yang kuperoleh di tempat les ke semua penghuni rumah dengan senangnya.

Karena aku mendapatkan pengalaman yang belum pernah aku lakukan sebelumnya. Mendapat teman baru dan tentunya skill yang baru.

Walaupun, aku merasakan kalau, kakiku pegal-pegal dan lumayan sakit. Mungkin karena baru pertama kali, ya? Karena saat waktu pemanasan, aku belum pernah melakukan pemanasan seperti itu, dan di sekolah pun juga pemanasannya berbeda.

Saat malam hari, aku muai berpikir lagi. “Untuk apa aku melakukannya, jika Allah tidak menyukainya?” Dan, di sepanjang malam itu, pikiranku pun melayang kemana-mana. Jadi, mau tetap les atau tidak?

Oke! Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan les, dan ku pikir keputusan yang aku ambil adalah benar.

Ke esokkan harinya aku pun segera menemui mamah dan mengatakan keinginanku untuk berhenti les.

“Tuh, kan, sudah mamah bilangin, kamu gak bakalan nyaman pakai celana”, ujar mamah, menanggapi keinginanku, aku pun hanya senyum-senyum karena malu.

Bagiku, pasti ada hikmah dibalik semua ini. Dan Allah masih menyayangiku, karena telah membuat aku berubah pikiran.

Lalu, bagaimana dengan BFF? ataupun chattan dengan ikhwan? Ah! Entahlah, walaupun aku tahu itu memang tidak diperbolehkan, tapi pikiranku sudah terlanjur berantakan dan enggak tahu lagi harus di apain. Hehehe…

Sekarang aku sudah kelas 8, dulu aku dan Zahra bermain dengan BFF. Di kelas 7 dengan Kak Aras dan Kak Ali, dan di kelas 8? Ah! Ternyata aku memang tidak punya teman lagi, setiap bermain pun, hanya selalu dengan Zahra.

Walaupun, kita berdua masih suka ngejailin nenek, itu adalah satu-satunya permainan yang seru banget, buat kami berdua.

Kalau dipikir-pikir, mungkin ini adalah jalan terbaik, dengan tidak memiliki teman Ikhwan dan fokus beribadah. Tapi ternyata, ekspektasi tidak pernah sesuai dengan realita...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post