Ilia Zakyfa

Laksana angin malam yang berpusar...

Selengkapnya
Navigasi Web

Hitam Si Putih

“Leo, jangan kabur!”

Menaruh asal kotak P3K, Zen melangkah lebar mengejar. Aku mengeong cuek. Berlari menuju ruang tamu, lompat ke atas rak pajangan paling tinggi. Seringai muncul melihat wajah itu berubah masam.

“Turun.”

Langsung menurut bukan tabiat Leo. Dengan raut licik, kuangkat kaki depan, mengancam, “Bersiaplah, Zen. Mendekat sesenti, benda kesayangan pengasuhmu hancur lebur!”

“Kau mau apa? Jangan buat ini menjadi rumit.” Maju selangkah.

Satu vas kaca terjun bebas.

Zen berhasil menangkapnya.

“Tampaknya rencanamu gagal,” ucapnya, meletakkan benda transparan itu di atas meja. “Sekarang ayo turun.”

Aku mengeong malas, “Tidak seru sekali,”

Tapi tenang, lampu usil dalam kepala ini masih menyala. Segera, aku melompat ke rak-rak lain, menyenggol benda apa saja yang bisa pecah.

“Kucing nakal! Hentikan, Leo!”

Lucu sekali melihat dia panik! Aku tidak bisa menahan diri, gerakan Zen menyambut para pajangan jatuh benar-benar konyol. Caranya berdiri persis anak kecil berlagak jadi pesawat. Tangan, kaki, punggung, semua penuh.

Saat sedang asyik tertawa, cakarku tanpa sengaja menyentuh sesuatu. Oh tidak! Bola karet meluncur deras ke arah vas kaca di meja! Dengan posisi itu, tidak mungkin Zen bisa mencegah.

Prang!

Kami saling tatap.

“Ada apa ribut-ribut—astaga!”

Aku turun dari rak, duduk diam di bawah meja.

“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Bibi Rev. Meletakkan barang-barang ke tempat semula, wanita yang mengasuh Zen sejak kecil itu menatap cemas. “Kamu tidak apa?”

“Aku baik-baik saja,” jawab Zen, mengulum senyum. “Maaf gaduh malam-malam. Leo rusuh tidak mau diobati. Dia kabur kemari, membuat ulah.”

“Syukurlah. Apa pun itu, yang terpenting kamu tidak terluka. Selesaikan urusanmu dengannya. Serahkan kepingan kaca itu padaku.” Bibi Rev mengembuskan napas lega. Melirikku sejenak, lantas membebaskan lantai dari pecahan vas.

“Kena kau!”

Tangan kelewat putih Zen mencengkeram tubuhku erat. Tidak bisa lepas. Satu-satunya hal yang dapat kulakukan adalah pasrah digendong anak ini keluar ruangan.

Sampai di kamar, ia menaruhku di pangkuan. “Duduk tenang, jangan bergerak,” titahnya, kemudian membubuhi selembar kapas dengan obat merah. Ketika hendak mengolesi tubuhku, Zen mengernyit.

“Aneh. Seingatku lukamu parah. Kenapa sekarang tidak ada?”

Aku membatin, Pikirkan baik-baik! Kalau aku punya banyak luka, mana bisa lompat-lompat seperti tadi?

Iris kelabu di balik lensa empat sisi itu memandang penuh selidik. “Dilempar saat berkelahi, tidak mungkin kau baik-baik saja, kan? Sempat masuk tong sampah, kepalamu bahkan membentur tiang listrik.”

Beranjak ke kasur, kutatap ia lamat-lamat.

Kau tidak tahu apa pun, Zen. Identitas sebenarnya, dari mana aku berasal, siapa aku di masa lalu. Segera, kehidupan lama itu akan kuceritakan padamu. Semoga kau setuju dengan itu.

***

To be continued

Halo! Tepat satu bulan sejak unggahan terakhir. Aku kembali membawa cerita baru. Secuplik seperti biasa. Insyaallah kulengkapi bersama tulisan-tulisan sebelumnya.

Kepada saudara satu agama, esok tiba hari raya. "Selamat!" untuk semua pencapaian baik selama Ramadhan. Minal aidzin wal faidzin. Mohon maaf lahir dan batin.

Terima kasih telah membaca tulisanku.

Salam, Ilia Zakyfa.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post