YHOVI ESTIANTI

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Putra tunggal papa

Putra tunggal papa

Hampir dua puluh empat jam, lelaki yang menyandang status papa muda ini lelah di buat berlari ke sana kemari oleh putranya. Entah apapun pekerjaan terberatnya tetaplah menjadi papa muda adalah hal yang paling sulit baginya, belum lagi umur putranya yang masih terbilang balita ini dan harus di urusnya sendiri.

Kegiatan lari berlari ini berawal dari sang putra yang bosan menunggu papanya setiap hari bekerja. Kinza, Adalah seorang putra pertama dari keluarga Bermarga Rajendra. Kilian, nama sang ayah, dia memiliki seorang putra di usianya yang menginjak 26 tahun.

Sang istri yang bernama Gilsha, meninggal karena sebuah kecelakaan yang tragis. Kecelakaan itu di akibatkan oleh trek yang berjalan dengan rem blong dan membuat beberapa mobil terseret atau bergesekan sehingga kehilangan kendalinya. Takdir tak ada yang tau bukan?.

Perginya sang istri meninggalkan seorang permata yang kini mulai tumbuh dewasa, Kinza Rajendra. Harta satu-satunya yang ditinggalkan oleh sang istri untuknya. Lantas apakah Kilian Rajendra bisa menjadi seorang papa yang mengurus putra tunggalnya sendirian?.

Kinza, sang putra kecilnya yang tadi begitu ceria berlari di antara jatuhnya bulir hujan sekarang terduduk diam di hadapan sang ayah yang meminta jawaban dari pertanyaan yang pertama kali keluar dari lidah Kilian setelah putranya kembali dengan sekujur tubuh yang basah kuyup di penuhi air hujan.

"Sekarang kinza papa tanya, kenapa hujan-hujan? lihat jadi demam kan."

Sang putra hanya tertunduk memutar jarinya gugup dan menarik ujung baju yang sudah di gantikan dengan baju kering setelah di mandikan papanya tadi. Kinza tak berani menatap netra papanya yang menajam kearahnya, dan berakhir dia terisak di tempat duduknya.

Kilian menghela nafas sesaat sebelum kembali bicara pada putra kecilnya yang sekarang menangis dengan tertunduk, dia kembali bergumam pelan kembali menanyakan pertanyaan sebelumnya kepada kinza yang tampak takut menatapnya.

Jika diulang kembali pertanyaan Kilia terkesan tak membentak atau menggunakan nada yang keras dan menuntut, hanya saja dia butuh lebih lembut kepada bayi di depannya yang masih rapuh ini.

"Maaf...Kinza salah"

Kata yang diucapkan si kecil setelah mendengar kembali pertanyaan dadi sang papa, suaranya terdengar sedikit sendu karena menangis dan keadaannya sedang demam.

"Obatnya itu di telan, bukan di muntahkan. Kinza mau sakit terus dan setiap hari minum obat?" Hanya di jawab gelengan oleh si kecil.

Kilian bukan orang yang setega itu kepada putranya sehingga sampai harus memarahinya dengan kasar, iya Kinza memang tidak seharusnya melakukan hal tersebut apalagi tanpa seizinnya. Bukan masalah dia jahat, namun di usia kinza yang masih terbilang mudah terserang penyakit Kilian tidak bisa begitu saja membiarkan Kinza melakukan sesuatu semaunya begitu saja.

"Kenapa Kinza lakukan jika Kinza tau itu salah?" tanya kembali Kilian dengan nada lebih pelan.

"Papa kerja terus, Kinza tidak punya teman main"

Seolah seribu panah yang menyergap hatinya, dadanya merasa sakit seolah teriris oleh puluhan pisau. Ucapan Kinza tidak salah, dia terlalu sering meninggalkan putranya di rumah neneknya karena harus bekerja. Merasa bersalah karena sama sekali tak memiliki waktu untuk bersama putra kecilnya yang masih membutuhkan pelukannya, yang masih memerlukan ayah untuk menuntunnya.

Mungkin yang di katakannya benar, Kilian terlalu di mabuk pekerjaan hingga tak memiliki waktu luang hanya untuk sekedar menyapa sang putra. Kilian menarik Kinza yang masih terisak ke dalam pelukannya dan mengucapkan kata maaf berulang kali kepada putranya. Tangan kecil Kinza membalas pelukannya dengan melingkar ke leher jenjang papanya.

Kilian mengeratkan dua tangannya dan membawa sang putra ke gendongannya, membawanya menatap lagit dimana terusun bintang cantik yang bertabur indah di sana. Perlahan isakkan Kinza tak lagi terdengar, mata doe nya menatap bintang-bintang yang seolah menyapa pandangannya.

Kinza menyandarkan kepalanya pada bahu Kilian yang menopang tubuhnya. pertanyaan muncul di benaknya, Kinza pernah mendengar bahwa orang yang meninggal akan menjadi bintang yang cantik. Jemarinya menengadah ke atas lalu menunjuk salah satu bintang paling cerah di sana.

"Mama!" Ucapnya girang dengan senyum manisnya.

"Mama?"

"Iya pa, Mama pernah bilang bahwa orang yang meninggal itu akan menjadi bintang"

Ah, Kilian mengerti mengapa menyebut bintang itu mama, Kinza mengingat mamanya yang dulu salalu bersamanya saat ditinggalkan ayahnya bekerja. Pandangan Kilian terpaku pada bintang yang bersinar paling cerah di sana, membiarkan semilir angin menyapa dirinya.

"Pa, katanya kita itu dijaga malaikat ya? berarti Kinza juga?" Papanya hanya tersenyum tipis sembari mengangguk menanggapi ucapan sang putra.

"Berarti Kinza bisa jagain papa!" Ucapnya kembali dengan mata doe nya yang menatap papanya.

Dalam sekejap Kilia menatap netra hitam lekat yang mirip sekali dengan istrinya, lalu kembali tertawa saat melihat bagaimana hidung dan pipi Kinza yang memerah karena menangis dan bulu matanya yang basah dengan air mata. Kilian mengusap lembut dengan hati-hati kedua mata Kinza yang berair.

"Iya, Kinza malaikat papa, pusat semesta papa, kebahagiaan papa, dan harta satu-satunya milik papa yang paling berharga"

Jawab Kilian membuat putranya tersenyum senang, menampakan gigi putih yang berjejer rapi di sana. Kilian mengusap gemas rambut Kinza dan kembali melihat bintang yang cerah, dia membayangkan wajah Gilsha yang berada di sana dan sedang tersenyum padanya dan putranya.

"Papa, ayo masuk dingin" Suara Kinza menyadarkan lamunan Kilian.

Kilian tersenyum sembari mengayunkan putra kecilnya dan membuatnya tertawa, membawa masuk Kinza karena udara cukup dingin dan putranya sedang demam.

Mengurus seorang anak itu sulit, itulah yang di katakan Kilian. Bukan tentang apa yang mereka inginkan, tetapi orang tua harus sebaik mungkin mengatur waktu agar bisa bersama mereka. Meskipun semua kebutuhan anaknya akan terpenuhi, itu tidak menuntut kemungkinan bahwa anaknya akan bahagia.

Di sisi lain, kebahagiaam seorang anak itu ketika keluarganya ada di dekatnya dan membuatnya nyaman. Sangat sederhana namun begitu menyita air mata, anak hanya butuh teman dan teman pertama mereka adalah orang tua mereka sendiri. Maka buatlah sang anak senang dan menanti kehadian orang tuanya, bukan selalu orang tua yang minta di mengerti bahwa mereka selalu sibuk.

Mereka hanya butuh perhatian orang tuanya, dan bukan tentang apa yang di miliki orang tuanya. Anak pastinya butuh tuntunan, dan apapun yang akan mereka lakukan pasti akan meminta pendapat kepada orang tuanya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bagus sekali. Cerita yang mantap. Salam.literasi

13 Jan
Balas



search

New Post