Astraea Althea

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

X Elemental Amigo - Penduduk Baru di Desa

Penduduk Baru di Desa Pagi buta, aku dibangunkan oleh suara ayam berkokok milik tetangga. Kami, penduduk desa, tidak perlu alarm canggih seperti milik para penduduk kota. Kami kan, punya alarm alami! Ya, ayam berkokok. Ayam berkokok, alarm kebanggan warga desa. Aku segera pergi ke belakang rumah. Aku berlari-lari kecil ke arah mata air berupa pancuran air yang muncul dari tanah, kemudian mencuci muka. Mata air ini ada di Kebun Kesegaran, kebun kebanggaan desa kami. Kenapa disebut Kebun Kesegaran? Disebut seperti itu karena ada mata air yang muncul secara alami. Kebun Kesegaran merupakan kebun yang boleh dipergunakan oleh semua penduduk desa. Para penduduk desa boleh mencuci muka, mengambil air, mencuci pakaian, menanam tanaman, bahkan memetik tanaman. Namun, penduduk desa harus membayar sedikit kepada kepala desa yang kemudian bayaran tersebut dikumpulkan sebagai uang kas desa. Setelah mencuci muka, aku pun mandi di kamar mandi di belakang rumah. Kemudian, aku sarapan bubur hangat bersama ayah dan ibu. Aku mendengar celoteh ramai di luar. Aku melongok keluar jendela. Tampak para warga desa berjalan sambil mengobrolkan sesuatu. Aku ingin tahu dengan apa yang mereka bicarakan. “Rembulanku, duduk! Habiskan sarapanmu terlebih dahulu,” ibu memandangku, berucap dengan tegas. Aku kembali duduk di tikar, mengangkat mangkuk berisi bubur yang sudah dingin. Aku memasukkan sendok penuh bubur ke dalam mulut. Aku mengernyit. Iiih.., siapa sih, yang suka bubur dingin? Setelah setengah jam menghabiskan bubur yang telanjur dingin, aku melangkah ke luar rumah. Aku pergi ke gazebo tempat orang-orang biasa mengobrol. Benar saja, ada banyak warga yang sedang ngumpul-ngumpul di gazebo. Ada anak-anak kecil juga. Aku segera melepas alas kakiku yang berupa sandal tua, kemudian melangkahi tangga gazebo. “Selamat pagi semuanya!” aku membungkuk, karena tidak semua orang di gazebo merupakan perempuan. “Pagi, Freya!” orang-orang berdiri, membungkuk sama rendah denganku demi sopan-santun. “Mau ikut ngobrol, ya, Freya?” Julie berbisik di telingaku. “Hehehe, iya, dong!” aku memasang senyum kuda. Aku meletakkan lenganku di dengkul kakiku, bertopang.. lengan? Yang jelas bukan bertopang dagu, ya.. Aku mendengarkan pembicaraan dengan seksama. Aku tidak tertarik untuk angkat bicara, aku lebih suka menjadi pendengar yang baik daripada pembicara terkenal. Aku mendengarkan Kak Yno berbicara tentang penduduk baru di desa. Berdasarkan informasi yang kudapat dari pembicaraan di gazebo, ada penduduk baru di desa. Aku tidak tahu, lebih tepatnya, belum tahu, siapa nama mereka.. atau.. sosok mereka. Yang jelas, mereka adalah pasangan ayah dan putrinya. Sore itu, setelah pulang sekolah, aku berlari-lari riang bersama Julie dan Julia. Kami hendak pergi ke sungai untuk bermain air. Pasti sungai sudah penuh oleh anak-anak lainnya, juga ibu-ibu yang mencuci pakaian, atau bapak-bapak yang mengobrol sambil memancing ikan. Aku memang berteman dekat dengan si kembar, Julie dan Julia. Mereka itu ceria, tidak pilih-pilih teman, berjiwa petualang, dan ceriwis. Terkadang, sih, aku suka menghindari mereka karena mereka itu suka mengobrol bukan pada waktunya atau bukan pada tempatnya. Byuuur! Sesampainya di sungai, kami segera melompat menceburkan diri ke dalam sungai. Kami tergelak riang. Alangkah senangnya kami bermain air. Terlebih lagi, ternyata sungai sedang sepi. Entah anak-anak yang lain sedang ke mana. Mungkin mereka sedang membantu orangtuanya bekerja apa lah, atau mungkin sedang mengerjakan hal yang lain. Ibu-ibu yang biasanya mencuci pakaian di tepi sungai juga tak ada. Yeah, kami hanya bertiga di sini! Menyenangkan! *post baru, judul: X Elemental Amigo - Penduduk Baru di Desa Ngomong-ngomong, jika kalian bertanya apakah aku mengenakan baju berenang atau tidak, jawabannya adalah, tidak. Aku tidak keberatan pakaianku basah. Lagipula, bermain air itu kan, seru sekali! Siapa sih, yang tidak suka bermain air? Kucing, itu sih, jelas. Oh, ya, aku juga tidak menggunakan kacamata renang. Kami, para penduduk desa, sudah terbiasa berenang tanpa menggunakan kacamata renang. Kami sudah terbiasa untuk melihat di dalam air tanpa kacamata renang. “Freya, yuk, kita lomba cepat-cepatan ke seberang sungai sana!” seru Julie. “Yup, aku ikut!” Julia mengangguk. “Bae, terserah kalian, deh!” aku tertawa. Entahlah, kenapa aku terkadang mengawali atau mengakhiri kalimat yang kuucapkan dengan kata “bae”. Kami memasang posisi kuda-kuda siap berenang. Julie memberi aba-aba. Byuuur! Sungai yang tadinya tenang, menjadi berisik karena kami yang berenang cepat-cepatan, menimbulkan cipratan air ke mana-mana. Aku tertawa riang. Aku berhasil mencapai tepi sungai di seberang setelah Julia. Ternyata Julie yang sampai terakhir. “Wuuuu.., yang menantang kok, kalah, sih?” Julia mencibir kepada Julie. “Hehehe, speed-nya kurang cepat, nih!” Julie meringis. Dia terbiasa menonton tayangan live balap motor di televisi ketika masih tinggal di kota. Julie dan Julia memang sebelumnya tinggal di kota, anak kelahiran kota, tapi ayah mereka asal desa. Setelah tinggal di kota selama enam tahun, mereka kembali ke desa. “Yeee.., bisa saja, kamu, Jul!” aku tergelak. Tiba-tiba, mataku menangkap sosok anak perempuan yang melangkah ke arah kami. Sebaya dengan kami. Hmm.., siapa, ya? Kok, belum pernah lihat? Aku kan, hafal semua sosok dan nama warga desa. “Hai, Ai! Aku Julie, tadi aku belum sempat memperkenalkan diri padamu,” Julie memperkenalkan diri kepada anak perempuan itu. Dia memeluk anak perempuan itu sebagai sapaan. “Hai, Ai, ini aku, Julia. Masih ingat, kan?” Julia menyapa anak perempuan itu. Julia juga memeluk anak perempuan itu. Hmm.., Ai? Jadi, anak perempuan itu bernama Ai? Itukah penduduk baru di desa? Waduh! Tak kusangka, tanggapannya terhadap Julie dan Julia dingin sekali! Hanya mengangguk dalam diam saja. Enggak sopan, ih! Harusnya kan, minimal, dia balas memeluk! Anak ini dari kota, ya, jadi sopan-santunnya kurang? Kudengar, anak kota memang tidak memiliki sopan-santun sepenuh hati. “Salam kenal. Aku Ai,” bukannya membalas sapaan Julie maupun Julia, Ai malah menjabat tanganku. Aku mengibaskan tanganku, mengangkat sebelah alisku. Anak ini aneh, deh. Aku saja tidak berulang tahun hari ini, kok, tanganku malah dijabat? Sopan-santun di desa kami ketika ada yang berulang tahun memang menjabat tangan orang yang berulang tahun. Hmm…, mungkin karena penduduk baru, jadi belum mengerti apa-apa. Hahaha, belum mengerti apa-apa! “Mmmh.., ya, salam kenal,” aku mengangguk, membalas sikap dinginnya. Ai memutar bola matanya. Matanya berkilat kesal. Oh, sepertinya dia menyadari alasan dari sikap dinginku. Huh, aku tidak peduli dengan perasaannya! Memangnya dia peduli dengan perasaanku, perasaan Julie, atau perasaan Julia? Tadi saja, dia juga bersikap dingin pada Julie dan Julia. “Hei, Freya, ngomong-ngomong tentang orangtuamu..,” Ai menatapku tajam, sengaja betul menghentikan kalimatnya. “Kamu tinggal dengan orangtua tirimu, kan?” Aku terdiam. Bagaimana Ai bisa tahu? Bagaimana Ai bisa mengetahui namaku, padahal aku belum memberitahunya sama sekali? Lalu, bagaimana Ai bisa mengetahui tentang orangtuaku? Julie atau Julia saja tidak tahu. Semua temanku tidak pernah kuberitahu tentang orangtuaku. “Kamu tahu..?” aku bergumam pelan. Lalu balas menatap Ai dengan tajam. “Kamu enggak punya belas-kasihan banget, sih, Ai! Tidak sopan, tahu, mengejek orang!” Julia angkat bicara. “Hahaha, memangnya aku kasihan? Tidak! Hahaha, di mana orangtua kandungmu, Freya? Semua anak di desa ini tinggal dengan orangtua kandungnya, kecuali kamu! Huh, kamu jauh lebih menyedihkan daripada aku!” Ai tertawa, mencemoohku. Aku menggeram marah. Anak ini mau mengajak bicara baik-baik atau bagaimana? Atau tujuannya menghampiri kami hanya untuk mengejekku? Huh, dari awal, aku sudah tidak suka dengannya! Memangnya, se-menyedihkan apa dirinya?! “Kamu jauh lebih menyedihkan dariku, Ai! Aku, meskipun tidak tinggal dengan orangtua kandungku, aku punya teman-teman terbaikku! Orangtua tiriku juga baik, kok! Kamu jangan bicara macam-macam tentang mereka! Aku tahu kamu lebih menyedihkan dari aku, Ai, karena kamu suka mengejek dan orang yang suka mengejek pasti tidak punya banyak teman!” aku membalas cemooh Ai. “Huh, siapa bilang? Aku punya banyak teman di tempat tinggalku dahulu. Mereka mengidolakan aku dan selalu menuruti semua perintahku!” mata Ai berkilat berbahaya. “Kamu pikir itu teman? Kamu memperbudak mereka, jangan asal bicara, ya!” aku berteriak kesal. “Kamu, sudah tidak punya orangtua, masih berani macam-macam denganku?!” Ai mengangkat tangannya. Entah dia mau ngapain. Mau jawab pertanyaan? “Hentikan omong-kosongmu tentang orangtua Freya, Ai!” Julie dan Julia kompak berteriak marah. Julie dan Julia siap melancarkan jurus bela diri mereka. Aku tahu, soal bela diri, Julie dan Julia paling hebat di desa kami, juga saling kompak melengkapi. Tapi, aku tak ingin mereka menyakiti orang lain hanya karena diriku. “Jangan, Jul. Jangan dibawa marah,” aku menggenggam tangan Julie dan Julia. “Kamu ini bagaimana, sih, Freya?! Jelas-jelas, dia mengejek orangtuamu!” Julie berteriak padaku. Julie dan Julia mengibaskan tangan mereka, melepaskan tangan dari genggamanku. Mereka berlari ke arah Ai, siap menghantam Ai dengan jurus bela diri mereka. Namun, belum sempat Julie dan Julia menyentuh Ai, seseorang muncul secara tiba-tiba. Laki-laki berjubah dengan wajah tampan galak. Dia menggenggam tangan Ai, kemudian menyeret Ai menjauh. Laki-laki itu memarahi Ai dengan bahasa yang tidak bisa kumengerti dengan jelas karena volume suaranya rendah, meskipun aku bisa menangkap sedikit kata-kata yang bahkan berbeda bahasa dengan bahasa yang digunakan oleh penduduk desa ini. Selesai laki-laki itu memarahi Ai, tanpa disela Ai sedikit pun, Ai pun angkat bicara. Wajahnya merah padam. Tampaknya dia berusaha menjelaskan sambil membela diri. Beberapa kali dia menunjuk ke arahku. Pipinya menggelembung marah. “Huh, dia menyebalkan sekali, sih! Tuh, kena kan, akibatnya! Dimarahi ayahnya!” Julia mendengus. “Ooohh, itu ayahnya, toh..,” aku manggut-manggut. “Lagipula, kenapa sih, kamu berusaha menghentikan kami memarahinya? Sedikit saja, kami masih punya waktu untuk membuatnya tahu rasa!” Julia beralih padaku, matanya berkilat. “Menyakiti orang itu, kan, tidak baik, Julia… Masa’ aku tak boleh melarangmu melakukannya?” aku berujar. “Hmm.., jadi, kamu benar-benar tinggal dengan orangtua tirimu, Freya? Kok, kamu tidak pernah memberitahu kami?” Julie bertanya padaku. “Euuh.., soal itu, aku sebenarnya malu pada kalian. Aku takut diejek. Maafkan aku, ya?” aku tersenyum penuh harap agar mereka memaafkanmu. Aku memasang tampang memelas. “Enggak usah pasang tampang memelas palsu seperti itu, Freya. Kami memaafkanmu, kok,” Julie tertawa. “Terima kasih, yaa..!” aku menggenggam kedua tangan Julie, kemudian membungkuk. Perlakuan seperti itu adalah bentuk rasa terima kasih dalam sopan-santun desa kami. *** Keesokan harinya, dan seterusnya (mungkin selamanya), Ai terus saja menggangguku dengan segala cemooh dan ejekannya. Aku berusaha keras untuk tidak menghiraukannya. Sesekali mulutku gatal ingin membalas ejekan Ai, namun itu hanya membuang waktu saja. Lama-lama juga dia akan merasa lelah. Tapi, hmm.., kenapa ya, dia mengejekku? Jangan-jangan, dia datang menjadi penduduk baru di desa ini hanya untuk mengejekku! Hmm.., tapi, masa’ sih? Huft.., yang membuatku kesal adalah, teman-teman yang lain jadi ikut-ikutan mengejekku. Mungkin karena mereka terlalu menyukai Ai. Atau mungkin, Ai memengaruhi mereka seperti Ai memengaruhi teman-teman di tempat tinggalnya dahulu? Huh, itu membuat kecurigaanku semakin bertambah dan membuatku semakin kesal pada Ai. “Huh.., aku makin kesal, nih,” bibirku membentuk kerucut. “Sabar saja, Freya,” Julia menepuk pundakku. “Coba kamu tanyakan ke teman-teman, kenapa mereka mengejekmu? Aku penasaran, jawaban mereka apa?” Julie terkikik. “Jangan bercanda, deh, Julie,” aku merengut. Aku sedang tidak tertarik untuk bercanda. Rasanya, semua candaan itu tak lagi lucu. “Woooooii.., itu anak pungut!” tiba-tiba, teriakan kencang itu datang menusuk hati. Yeah, tentu saja, pemilik suara itu adalah Ai. Anak-anak lainnya jadi ikut-ikutan mengejekku sebagai anak pungut. Ejekan itu tentu saja menyakiti hatiku. Kemarin, aku diejek sebagai anak yang tak punya orangtua. Sekarang, diejek anak pungut. Hiks, menyebalkan banget, sih! Aku menggigit bibir, menggeram dalam hati. Amarahku meluap-lupa di dalam hati. Keringat menetes di kepalaku. Aku berusaha menahan amarahku. Agar tangisku tidak keluar, aku berlari pulang ke rumah. Aku pulang ke rumah membawa seluruh malu. *** “Ibuuu..!” sesampainya di rumah, aku menjerit, menangis sesenggukan. Aku membanting pintu rumah dengan perasaan tak keruan. Hampir saja pintu rumahku jebol. Aku sampai lupa melepas alas kaki. Aku melompat ke atas tempat tidurku, memeluk boneka kelinciku. Aku menarik selimutku sampai menutupi seluruh tubuhku. Di dalam selimut, aku terisak. Aku memandang boneka kelinciku di dalam selimut. Mata kancing, bulu putih lembut. Boneka kelinciku itu tampak berbeda dengan ketika cuaca berangin beberapa hari yang lalu. Sekarang, boneka kelinciku itu tampak imut menghangatkan. Boneka kelinciku itu seolah-olah mengerti perasaanku, berusaha menghibur. Sama seperti ibu. Aku memandang ibu yang tertidur di kursi goyang. Hasil rajutannya yang hendak dijual tergeletak di lantai. Ibu tampaknya lelah sekali sampai tertidur lelap. Aku merangkak turun dari tempat tidur, kemudian merapikan hasil rajutan ibu dan memasukkannya ke dalam keranjang. Ada syal merah muda lembut, topi rajut merah, mantel kuning, dan lain-lain. Ibu akan menjual hasil rajutannya di pasar di pinggir kota nanti. Air mataku kembali menetes. Masa’ ibu yang sebaik dan setulus ini diejek sebagai ibu tiri jahat oleh teman-temanku? Masa’ ibu yang rela bekerja keras merajut berjam-jam ini diejek sebagai ibu tiri kejam tak kenal belas kasih oleh teman-temanku? Mereka itu yang kejam, jahat, dan tak kenal belas kasih! Memangnya, mereka itu enggak punya cermin? Enggak pernah bercermin di air? Hiks, mereka itu yang menyebalkan! “Lho, Freya, kenapa menangis?” ibu terbangun. “Rembulan ibu yang manis ini, kok, menangis? Ada apa, Sayang?” Tangisku semakin keras. Aku menghambur ke dalam pelukan ibu. Dalam sedih, aku menceritakan ejekan teman-temanku, sesekali disela sesenggukan. Ibu membelaiku penuh sayang. Hiks, masa’ ibu yang memiliki kasih sayang sepenuh hati seperti ini diejek oleh teman-temanku sebagai ibu tiri yang berdarah dingin? “Sabar, ya, Sayang. Tabahkan hatimu. Jangan hiraukan ejekan mereka,” ibu tersenyum padaku. Matanya terlihat sayu dan lelah. Aku tahu perasaan ibu. Siapa yang tidak sedih ketika diejek sedemikian kasar oleh teman-teman putrinya sendiri? “Hiks, tapi, siapa orangtua kandung Freya, Bu? Siapa?” aku menangis sesenggukan. Kutatap wajah ibu lamat-lamat. Ibu balas menatapku penuh kesedihan. Tersirat kebingungan dan duka di matanya. Meskipun begitu, ibu berusaha tersenyum tegar di hadapanku. “Ibu tidak tahu, Sayang. Ibu tidak tahu. Maafkan Ibu,” ibu justru ikut menangis bersamaku, memelukku erat-erat. Aku tersentak. Kenapa aku dengan begitu mudahnya menyusahkan dan melemparkan kesedihan kepada ibu? Kenapa aku sedemikan mudah memilih untuk memberitahu masalahku pada ibu? Ibu jadi merasa bingung dan sedih seperti ini. “Ma.. maafkan Freya, Bu. Freya sudah menyusahkan Ibu,” aku terisak, balas memeluk ibu dengan erat. “Ibu yang salah, Nak. Ibu tidak pernah mencari tahu,” ibu menangis. “Ibu akan berusaha mencari tahu siapa orangtua kandungmu.” “Tidak, Bu, tidak. Ibu tidak perlu berusah-payah mencari tahu orangtua kandung Freya. Biarlah Freya tinggal bersama ayah dan ibu. Ayah dan ibu adalah orangtua Freya. Ayah dan ibu yang telah merawat Freya,” tangisku menjadi lebih keras dibanding sebelumnya, bercampur haru. Aku sayang ayah dan ibu. Kenapa aku harus mencari tahu orangtua kandungku? Bukankah ayah dan ibu yang telah merawatku?
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren ceritanya kak!

22 Oct
Balas

Terima kasih yh.. Syafa senang cerita Syafa disukai :)

22 Oct

Jadi ikut sedih kak.. Kakak keren banget bisa bikin cerita ini dengan kata kata yang orang lain bisa mengerti perasaan para tokoh.. kakak hebat lho hehe

17 Oct
Balas

Ehehe.., iya, terima kasih, yaa.. Syafa boleh minta email kamu?

17 Oct



search

New Post