Astraea Althea

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

X Elemental Amigo - Ayah dan Ibu Menghilang

Ayah dan Ibu Menghilang

Hari itu, aku bangun kesiangan. Aku bangun pukul delapan pagi. Terdengar suara gedoran pintu rumah. Aku buru-buru membuka pintu rumah, menguap. Ternyata Julie dan Julia.

“Ada apa, sih? Belum mencuci muka, nih,” aku memandang mereka satu per satu.

“Kamu belum tahu, ya?” tatapan Julia terlihat sendu. Begitu juga Julie.

“Ada apa, sih? Mmmh.., sebentar, ya, aku mau cuci muka dulu,” ujarku.

Aku berlari ke Kebun Kesegaran. Hmm.., aneh. Kenapa tidak ada orang-orang di Kebun Kesegaran sama sekali? Biasanya ada ibu-ibu yang mencuci pakaian, atau orang-orang yang mencuci muka dan mengambil air. Sekarang tidak ada sama sekali. Ah, sudahlah! Lupakan tentang itu! Aku segera mencuci muka. Julie dan Julia menungguku.

Aku kembali ke rumah, kemudian menemui Julie dan Julie. Hmm.., ada keanehan lagi. Di mana ibu? Kalau ayah, bisa kupastikan, dia sedang mencari kayu. Kalau ibu.., hmm.., biasanya kan, ibu merajut. Sekarang, di mana ibu? Lagipula, biasanya, ibu membangunkanku jika sudah terlalu siang.

“Pak Min telah berpulang…,” Julie terisak, memelukku dengan sedih.

“Hah? Pak Min meninggal?!” aku terkejut.

Julia menarikku. Kami berlari-lari kecil ke rumah Pak Min. Hmm…, pantas saja Kebun Kesegaran sepi. Orang-orang pasti sedang berkabung di rumah Pak Min. Mungkin, ayah dan ibu juga sedang ada di sana.

Sesampainya di rumah Pak Min, ada banyak orang yang datang. Aku mendengar tangisan pelan dari dalam rumah. Menangis keras ketika ada orang yang meninggal tidak baik menurut adat sopan-santun di desa kami.

Aku melepaskan alas kakiku, menatanya di dekat alas kaki lainnya. Aku berjingkat di anak tangga menuju pintu rumah. Pelan sekali, agar tidak menimbulkan suara. Di desa kami, tidak boleh berisik jika ada yang meninggal. Aku membuka pintu rumah. Aku masuk bersama Julie dan Julia.

Aku melihat jasad Pak Min terbaring di tikar rumah, dikelilingi orang-orang. Istri Pak Min, Bu Nami, menangis tersedu-sedu, tapi tampaknya berusaha menjaga suaranya agar tidak berisik. Rie, putra Pak Min yang baru saja pulang dari kota karena mendengar kabar bapaknya yang meninggal, diam mematung, menangis tanpa suara. Warga desa lainnya, menangis. Yang menangis paling keras adalah Amel. Tentu saja, bagaimana Amel bisa belajar dengan baik jika tidak ada Pak Min?

Aku jatuh terduduk. Air mata mengalir di pipiku. Kenangan bersama Pak Min melebur bersama deraian air mata. Ketika pertama kali bertemu dengan Pak Min, ketika pertama kali belajar bersama Pak Min, ketika Pak Min tidak ada karena sakit, sampai ketika kami bersama-sama mengajarkan Amel. Semuanya. Semuanya bercampur aduk sampai menimbulkan pedih di hati.

Julie dan Julia saling berpelukan, menangis sedih. Aku ikut berpelukan bersama mereka, merangkul Julie dari belakang. Sedih sekali rasanya. Pak Min sudah mengajar di desa kami selama enam puluh lima tahun di desa kami. Pak Min sudah mengajarkanku di sekolah selama kurang lebih lima tahun. Sekarang, sosok pengajar kami tercinta telah berpulang. Sosok yang setia dan tak pernah lelah mengajarkan kami.

Hiks.. Lantas, siapa yang akan mengajarkan kami setelah ini? Siapa yang punya intelektual yang begitu tinggi dan kesabaran sepenuh hati untuk mengajarkan kami? Hanya Pak Min, satu-satunya orang di desa kami, yang memiliki bakat sebesar gunung untuk mengajarkan kami. Pak Min kami yang telah berpulang.

Tiba-tiba, aku tersentak. Aku menoleh ke sana kemari, mencari sosok ayah dan ibu. Ke mana mereka? Mengapa aku tidak melihat salah satu dari mereka sama sekali? Atau mereka tidak tahu tentang kematian Pak Min? Tapi kan, semua warga desa sudah pasti tahu. Karena setiap ada berita penting, kepala desa akan memukul gendang sebagai tanda adanya berita penting. Jika ada sesuatu yang ingin dibicarakan di balai desa, maka akan dipukul tiga kali. Jika ada kecelakaan atau berita kematian, maka akan dipukul sembilan kali. Jika ada berita gembira, maka akan dipukul tujuh kali.

“Bibi Nami, apakah Bibi tahu, di mana ayah dan ibuku?” aku bertanya, berbisik pada Bu Nami.

“Maafkan Bibi, Freya. Bibi tidak tahu,” Bu Nami menjawab dengan suara tercekat, tersendat-sendat. Kemudian, Bu Nami kembali menangis.

Aku mengerutkan dahi. Ke manakah ayah dan ibu pergi? Mengapa mereka tidak ikut upacara kematian Pak Min? Sementara aku menoleh ke sana kemari, para tetua desa mulai melantunkan kalimat-kalimat indah bermakna yang biasa dilakukan ketika upacara kematian, diikuti oleh warga desa yang hadir.

“Ada apa, Freya? Mengapa kamu terlihat bingung seperti itu?” Julia bertanya padaku.

“Kalian lihat ayah dan ibuku, tidak?” aku bertanya pada Julie dan Julia.

“Maafkan kami, Freya, tapi kami tidak melihat mereka sejak kami bangun tidur,” Julie menggeleng, memberikan jawaban.

“Huft.., di mana mereka, ya?” aku menghela napas.

Aku melangkah keluar dari rumah Pak Min. Meskipun tidak mengikuti upacara dianggap tidak sopan menurut adat istiadat desa kami, namun, aku sangat ingin menemukan ayah dan ibu. Tidak melihat ayah dan ibu sepanjang hari membuatku amat khawatir.

Julie dan Julia melangkah mengikutiku. Aku melangkah cepat, sambil menoleh ke sana kemari. Di manakah ayah dan ibu? Kenapa mereka tidak mengikuti upacara kematian Pak Min?

***

“Memangnya di rumah kau tak ada?” tanya Julia, menanyakan keberadaan ayah dan ibuku.

“Tidak ada, tuh. Sebenarnya, mereka ke mana, sih?” aku melengos.

Kami sudah berputar-putar di desa yang hening beberapa kali tapi tetap saja belum menemukan ayah dan ibu. Mereka sebenarnya ke mana, sih?! Lama-lama, aku bukan lagi khawatir, tapi kesal. Masa’ mereka meninggalkanku atau pergi menghilang entah ke mana tanpa memberitahu aku? Atau, jangan-jangan, mereka mau membeli hadiah kejutan? Hei, tapi kan, aku tidak berulang tahun dalam waktu dekat ini! Lagipula, ayah dan ibu pasti tidak sanggup membeli hadiah ulang tahun spesial untukku.

“Coba periksa kembali rumahmu, Freya. Siapa tahu mereka meninggalkan pesan. Atau mungkin, ibumu ikut ayahmu pergi ke hutan mencari kayu,” ujar Julia. Sedangkan Julie, dia diam saja dari tadi.

“Mmmmh.., baiklah, aku akan periksa rumahku terlebih dahulu. Kalian mau ikut?” aku bertanya.

“Ya, tentu saja,” Julie mengangguk, diikuti anggukan Julia.

Kami melangkah menuju rumahku. Namun, aku melihat pemandangan mengejutkan ketika sampai di rumah.

“Ai! Apa yang kamu lakukan di rumahku?!” aku menjerit.

Ruang keluargaku bagaikan kapal pecah sekarang. Foto-foto keluarga yang sudah lecek maupun robek maupun kusam tergeletak di lantai, sekarang hancur lebur berserakan. Sofa yang permukaannya keras (bukan empuk) terjungkir balik. Pokoknya berantakan. Rumahku seperti baru saja ditelan angin topan.

Wajahku merah padam. Napasku tak beraturan saking kesalnya. Amarahku meluap-lupa di dada. Aku memandang marah pada Ai yang berdiri di pojok ruangan. Wajahnya sungguh menyebalkan. Ekspresi wajahnya datar, tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali. Bahkan tidak menunjukkan rasa senang atau apa pun. Datar, tidak ada apa-apa di balik ekspresi wajah menyebalkannya.

Hatiku hancur melihat seisi rumahku. Aku memunguti foto-fotoku bersama ayah dan ibu. Air mataku mengalir tak tertahankan.

“Tanggung jawab! Apa maksud dari semua ini, hah?! Apakah kamu datang ke desa ini hanya untuk menghancurkan hidupku?!” aku berteriak, tak tertahankan. Padahal seharusnya aku tidak boleh berisik, ada orang meninggal di desa.

Wajahku sudah seperti kepiting rebus, bahkan lebih parah lagi. Air mataku berderai, mengalir di pipi. Aku berlari ke arah Ai. Tanpa ada yang bisa mencegah, tanganku menampar pipi Ai. Menyebalkan!

“Freya, Freya, tolonglah.. sabar… Jangan teriak-teriak, aku mohon..,” Julia menggenggam tangan kiriku.

Aku menggeram. Aku menatap Ai yang mengaduh kesakitan, mengusap-usap pipinya. Matanya berkilat marah.

“Kamu.. apa pun yang kamu lakukan.. jangan coba-coba menggangguku lagi! Memangnya kamu tidak tahu rasanya diejek dan disakiti?! Ibuku, walaupun bukan yang melahirkanku, tapi dia yang merawatku! Kamu itu tidak punya perasaan, kamu tidak pernah diajarkan sopan santun dan kasih sayang!” aku berteriak, menumpahkan segala perasaanku yang campur aduk kepada Ai.

“Freya, Freya..!” Julie memeluk lenganku.

“Kamu datang hanya untuk memberiku beban, ya, kan?!” aku berteriak.

Aku buru-buru menghapus air mataku, kemudian menatap Ai dengan marah. Kulepaskan tangan Julie dan Julia. Dengan perasaan tak menentu, aku melangkah keluar dari rumah, diikuti Julie dan Julia.

***

“Freya, kamu tidak apa-apa?” Julie memandangku.

“Apakah kamu baik-baik saja, Freya?” Julia ikut bertanya.

“Apanya yang baik-baik saja?! Dia itu.. ugh!” aku mengentakkan kakiku ke tanah. Aku mengepalkan tanganku.

Aku menyeka air mataku. Ke mana ayah dan ibu?

“Coba kita cari ke hutan, Freya,” Julia memberi usul. Eh, bagaimana bisa dia membaca pikiranku? Kekuatan ikatan batin? Ah, ada-ada saja. Aku terlalu banyak menonton video sinetron di televisi jadul milik kepala desa.

“Ke hutan?” aku melongo.

“Iya.. Kan ayahmu mencari kayu di hutan, kan? Mungkin ayahmu membutuhkan bantuan ibumu, jadi ibumu ikut dengan ayahmu,” Julia menjelaskan.

“Hmm.., yah.., mungkin saja..,” aku mengangguk. “Ya sudah, yuk, kita ke hutan!”

“Ayo..!” Julie mengangguk riang. “Aku belum pernah ke hutan. Pasti selalu dilarang Mama. Iya, kan, Jul?”

“Jul siapa? Kamu memanggil diri sendiri, Jul?” aku melontarkan candaan.

“Hah? Jul yang mana? Maksud kamu bulan Juli, Freya?” Julie membalas candaanku.

“Ah, gurauanku kalah, deh,” aku memasang senyum kuda.

Setelah beberapa menit melewati rumah-rumah warga yang saling berjauhan satu sama lain, kami pun mulai memasuki hutan. Hutan yang gelap ini, meskipun merupakan warga desa yang sejak kecil tinggal di desa ini, aku tidak pernah memasuki hutan ini sebelumnya. Terkadang, aku nekat masuk ke hutan, tapi belum beberapa langkah, sudah dipergoki oleh ayah atau ibu.

Sebenarnya hanya itu yang tidak aku sukai dari ayah dan ibu (tapi mungkin ada yang lain, sih..). Kenapa, yah, aku dilarang masuk ke hutan? Padahal, kebanyakan anak di desa diizinkan untuk masuk ke hutan (malah disuruh membantu orangtua mencari kayu dan sebagainya). Tapi aku malah sebaliknya. Aku disuruh menjauh sebisa mungkin dari hutan. Kata ayah dan ibu, hutan itu berbahaya. Entahlah apakah ucapan mereka benar atau tidak.

Kami menyusuri jalan setapak yang ada di hutan. Jalan setapak ini dibuat oleh para warga desa untuk memudahkan warga desa ketika di dalam hutan.

“Ayah..! Ibu..! Ini Freya..! Kalian di mana..?” aku berseru-seru. Persis seperti bocah hilang.

Beberapa kali kami berpapasan dengan orang-orang yang mencari kayu. Yahh.., mereka mencemoohku sebagai bocah hilang. Tidak apa-apa, sih, lagipula, aku memang seperti bocah hilang.

“Hei, bocah, bisa diam, enggak? Berisik sekali, kau, dari tadi kerjaannya cuma teriak-teriak enggak jelas. Kayak bocah hilang,” aku dipergoki seperti itu jika berpapasan dengan orang.

Aku tidak menghiraukan ucapan mereka. Aku bertanya kepada mereka tentang keberadaan ayah dan ibuku, sambil mendeskripsikan sosok ayah dan ibuku. Jawaban mereka hampir selalu sama, mengangkat bahu, kemudian melangkah pergi. Huh, aku tuh merasa kayak diabaikan!

“Kalian yakin, ayah dan ibuku ada di hutan?” akhirnya, aku bertanya pada Julie dan Julia.

Julie dan Julia kompak mengangkat bahu, semakin membuatku kesal karena tanggapan semua orang terhadapku hanya mengangkat bahu.

Akhirnya, antara karena kesal, kalut, dan sebagainya, aku berteriak pada mereka, “Kalian itu jangan cuma mengangkat bahu saja! Minimal kalian melakukan sesuatu, gitu..!”

Julie dan Julia menatapku dengan marah. Yahh.., aku tahu, sih, cara menegurku memang tidak benar, tapi.., yahh.., saat itu, perasaanku memang sedang campur aduk. Mau bagaimana lagi? Amarahku sudah di luar jalur.

“Freya, kamu kalau mau dibantu, ya jangan marah-marah seperti itu, dong!” Julie balas berteriak.

“Kamu enggak tahu terima kasih, ya, Freya! Buat apa kami berteman dan membantumu jika ternyata balasanmu seperti itu?” Julia ikut berbicara.

“Kalau kamu menganggap dirimu lebih baik, juga tak bisa berteman dengan kami, kami yakin, masih ada orang di luar sana yang jauh lebih baik daripada kamu! Masih banyak teman yang lebih baik dari kamu!” Julie berteriak habis-habisan.

Julie dan Julia melangkah meninggalkanku. Aku ditinggal sendirian di hutan. Aku tak tahu jalan pulang, dan sebenarnya, begitu pula dengan mereka. Toh, mereka yang bilang kalau baru pertama kali ke hutan.

Aku menghela napas. Sekejap setelah aku mengeluarkan amarahku, aku segera menerima akibatnya. Dan tak perlu semenit, aku segera menyesali tindakanku memarahi mereka. Huft.., padahal, kan aku yang salah. Bukan mereka. Lebih tepatnya, sikap mereka mengangkat bahu sebagai tanggapan itu tidak ada salahnya. Kalau aku malas menjawab, tanggapanku kan juga seperti itu. Kenapa aku harus marah?

Tindakan yang terlihat sepele seperti itu ternyata mampu membuat kedua sahabatku menjauhiku. Dua hari setelah kejadian tersebut, mereka masih menjauhiku. Mereka tidak menyapaku, enggan bertegur sapa, berpapasan saja sepertinya masalah besar bagi mereka. Aku ingin minta maaf, tapi takut mereka justru bertambah marah. Aku jadi merasa terkucilkan, ditambah ejekan teman-teman tentang ayah dan ibu.

Dua hari pula setelah menghilangnya ayah dan ibu. Ayah dan ibu sudah tidak pulang selama dua malam. Aku terpaksa memetik buah-buahan di hutan untuk mengganjal perut yang keroncongan. Aku tidak bisa memasak bubur, aku akui itu. Aku buruk soal memasak, aku tidak bergurau.

Selama dua malam itu, aku sendirian di rumah. Tak ada yang menemani. Hanya boneka kelinciku yang bisu dalam pelukanku. Juga lemari yang nyaris roboh karena entah apa yang dilakukan oleh Ai. Barang-barang lainnya kebanyakan sudah tidak utuh lagi. Banyak yang sudah tidak dapat diketahui benda apa itu.

Selama dua malam itu, aku tidur sendirian. Tidak ditemani ayah maupun ibu. Angin berhembus kencang di luar rumah. Aku merapatkan selimutku, berusaha menghangatkan diri, namun hatiku tidak akan pernah hangat jika tidak ada ayah dan ibu. Seolah, merekalah yang mengendalikan semua tingkah lakuku. Seolah, jika tidak ada mereka, tingkah lakuku melebihi batas. Teriak-teriak, marah, pokoknya aku jadi emosional kalau tidak ada mereka.

Mungkin semua ini akan lebih baik jika Julie dan Julia tetap ada di sisiku. Tetapi, sekarang, mereka malah berpihak pada Ai dan anak buahnya (anak buahnya, ya, yang suka mengejekku itu, yang melaksanakan semua perintah Ai). Malah, sekarang mereka yang suka ngomporin teman-teman untuk mengejekku. Benar-benar dahsyat, dampak dari tindakanku, marah-marah di luar batas kepada mereka.

Tentang Ai.., aku selalu bingung dan bertanya-tanya dalam hati, mengapa Ai bisa dengan mudahnya memengaruhi teman-teman? Mudah sekali sepertinya. Hanya dalam waktu beberapa hari atau bahkan beberapa jam, teman-temanku mengikuti semua perintah Ai, juga mengejekku. Entah kenapa.

Mungkin karena penampilan dan sosok Ai yang memikat. Jujur, dia itu memang berparas manis. Manis, lebih manis lagi kalau perangainya baik. Rambutnya panjang dan lurus, hitam legam. Bola matanya hijau bersih, agak sipit. Kulitnya putih bersih, bahkan walaupun sudah beberapa minggu di desa, tetap saja putih walau terbakar sinar matahari. Senyumnya.., senyumnya itu sangat khas, lengkap dengan lesung pipi. Sayangnya, senyumnya ini amat langka. Ai jarang sekali tersenyum. Bahkan terhadap teman-teman yang mengikuti semua perintahnya, Ai sangat jarang memasang senyum. Dia lebih sering cemberut atau berwajah datar. Pokoknya, misterius lah, bagaimana dia bisa memengaruhi orang dengan mudah.

Ayahnya Ai, dia lebih misterius lagi. Dia jarang terlihat di antara warga desa. Dia tidak pernah terlihat berbincang-bincang atau bergabung dengan warga desa yang berkumpul di balai desa atau gazebo, apalagi ikut bertani di sawah atau kebun. Sosoknya pun juga misterius. Aku tidak pernah melihatnya kecuali ketika dia mengenakan jubah, itu pun wajahnya tak terlihat.

Menurut orang yang pernah melihat sosok ayah Ai dari ujung kepala sampai ujung kaki, sosok ayah Ai itu tinggi dan kurus. Wajahnya tampan, tapi ekspresinya menyeramkan. Ukuran matanya tidak sesipit Ai, sedikit lebih besar, berwarna hijau. Warna kulitnya agak cokelat, berbeda dengan Ai yang putih bersih. Rambutnya hitam legam, rapi. Katanya, sih, galak.. Yah, katanya..

Heh, kenapa aku malah bahas Ai, yah? Ya sudah, pokoknya, hari ini aku akan mencari ayah dan ibu seorang diri!

Nantikan bab berikutnya: Misi Pencarian Ayah dan Ibu

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kasihan Freya ditinggal seorang diri.. Lanjut kak!

09 Nov
Balas

Eh, udah lanjut ya, hehe.. gak konsen, maaf kak

09 Nov

Gapapa... Terima kasih yh, sudah mau membaca ceritaku. Akhirnya aku... ada perasaan bahagia seperti dulu lagi...

10 Nov



search

New Post