“Nona Ellen, bangun..!” suara Nicole, pelayan khusus pengganti Cathrine, bergema di telinga Ellen.

Wajah Ellen dihiasi bibir cemberut. Dia beranjak duduk, rambutnya acak-acakan. Selimutnya jatuh ke lantai. Matanya masih redup. Dilihatnya wajah super tegas Nicole di hadapannya, identik dengan ekspresi Nyonya Davendelicore setiap kali tugas Ellen belum selesai. Kebiasannya saat bangun tidur selalu sama sejak bertahun-tahun silam. Duduk dengan rambut acak-acakan dan mata yang redup.

Ini sudah bulan kedua sejak peristiwa mengerikan yang diakibatkan oleh orang super menyebalkan yang sudah hidup sejak ribuan tahun lalu. Ya, si Rown yang kalau ditambahkan “C” di depan jadi “Crown”, tapi nyatanya yang dia miliki adalah mahkota hitam. Magic Palace sudah selesai dibangun kembali.

Tugas setiap hari selalu menumpuk. Satu mata pelajaran biasanya tiga tugas seharinya. Semakin menyebalkan saja melihat wajah tegas guru-gurunya meminta tugas dikumpulkan, juga mendengar kata-kata tajam dan mendapatkan hukuman yang membuat stres.

“Saya akan melapor pada Putri Roselle jika Nona tidak mau bangun juga,” kalimat Nicole mulai terdengar mengancam.

Ellen menatap tajam ke arah Nicole. Dia sudah bersabar selama kurang lebih dua bulan atas sikap Nicole yang sangat menyebalkan, sok berkuasa dan memerintah. Ini pertama kalinya Ellen melayangkan tatapan tajam pada Nicole dan dia yakin akan melakukannya lagi. Jujur, Ellen sangat merindukan sosok Cathrine yang tidak pernah marah-marah, selalu lembut dalam mengingatkan. Dia juga merindukan sosok Aimee yang selalu ceria.

“Hei, El..! Ayo.., jangan malas! Nanti, Nyonya Davendelicore marah-marah, lho..,” Wizzie terkikik, bergaya menjadi Nyonya Davendelicore.

Ellen memandang masam ke arah Wizzie, juga Lily dan Asera yang menjadi “iklan lewat” di pintu kamarnya. Ellen segera merapikan tempat tidurnya, mandi, kemudian mengenakan pakaian. Dia segera bergabung dengan yang lainnya di ruang makan.