Sunny Hinata

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Lily's Adventure (Bab 2)

Lily's Adventure (Bab 2)

Nenek meninggal. Itu fakta yang tak dapat dibantahkan, namun sangat menyesakkan. Setelah dijelaskan oleh Bibi Seli, aku menangis keras. Tentu aku tahu, apa itu meninggal. Pergi. Selamanya. Tak pernah Kembali.

Aku berlari di Lorong Rumah Sakit. Pergi keluar. Menuju Hotel. Menangis keras didalam kamar. Menangis, bilang, kenapa semua harus pergi?! Kenapa harus begitu menyakitkan seperti ini?!

Tiba-tiba, aku teringat sesuatu. Jika kamu sedih, jangan sampai sedih hingga berlarut-larut. Ya, itu kalimat Mama, sebelum ia pergi.

Aku segera bangkit dari duduk. Melangkah menuju cermin besar di samping Kasur. Memandang wajahku lamat-lamat. Aku, aku akan menepati janji ku pada Mama. Bukankah tadi, aku sudah berjanji?

Mama, lihatlah! Lily… Lily akan menepati janji Lily, Ma. Lily akan menjadi orang hebat seperi yang Mama bilang. Seperti yang Nenek bilang, Ma. Lily, Lily akan sedih tapi tidak berlarut-larut. Lily, Lily kecewa tapi tidak pernah menyerah. Lily, Lily akan terus memohon pada Allah, Ma. Lily akan memohon selalu.

Ma, Lily, Lily tak pernah sekalipun melihat wajah Mama atau Papa. Lily tak pernah melihat kalian sekalipun. Tapi, Lily akan janji, Lily akan mengukir senyum diwajah kalian walau tak pernah melihat nya sekalipun. Lily, Lily akan jadi anak yang membanggakan. Lily janji, Ma. Juga Papa yang disana. Lily janji…

Setelah Nenek pergi, aku tinggal Bersama Bibi Seli dan Om Reza, serta Hasna.

Hidupku benar-benar berubah. Bibi Seli membeli tanah dikawasan Bandung. Bibi Seli juga membeli bekas gubuk Tua ku—Rumahku dulu dengan Nenek—lalu mengubah nya menjadi taman kecil. Gubuk tua itu tetap dibiarkan. Hanya di renovasi sedikit, begitu istilah om Reza.

Rumah yang kutumpangi sekarang lebih besar. Lima lantai! Satu lantai digunakan untuk Klinik Rumah Bibi Seli. Dua lantai digunakan untuk Rumah Baca juga tempat belajar, kursus ku dan Hasna—kami memang Homes Schooling. Bibi Seli berhenti kerja dikantor nya. Ia pindah ke klinik barunya.

“Permisi,” aku sama sekali tak mendengar suara Hasna yang mengucapkan salam. “Lily! Kamu dipanggil tuh, sama Mama.”

Aku tak mendengarkan. Hanya menatap kosong ke luar jendela.

“Lily!”

Aku tetap bergeming.

“Ya ampun! Lily!”

Aku terlonjak kaget. “Apaan sih, Hasna? Bilang permisi dulu, dong, kalau mau masuk kamar orang lain!” aku melotot galak pada Hasna. Hampir, saja, aku jatuh keluar jendela.

Hasna menepuk dahinya. “Ampun, deh, Lily. Aku dari tadi panggil kamu, kamu sendiri yang tidak mendengarkan!” Hasna mendengus sebal. Sebal karena aku memarahi nya, padahal dari tadi, dia sudah memanggilku.

Aku menggaruk kepala ku yang tidak gatal. Tertawa malu. “Maaf, deh, Hasna.” Menyeringai lebar.

Hasna mendengus kesal. “Ya, ya, ya. Tuh, kamu dipanggil sama Mama. Disuruh turun. Mau makan malam! Papa lagi keluar sebentar. Banyak kerjaan.”

Okay, Hasna.” Aku mengangguk. Berlari meninggalkan Hasna yang masih sebal karena dimarahi.

Ini sudah bulan kedua aku tinggal dirumah Bibi Seli. Sejauh ini, semua terasa menyenangkan. Walau, aku masih sering sedih, karena kepergian Nenek. Seperti tadi, aku sedang memutar balik kenangan Bersama Nenek. Berusaha menyimpulkan, Papa pergi kemana? Kenapa tidak datang pada saat aku butuh?

Aku mulai terbiasa dengan rutinitas harian, dirumah ini. Sekarang, tidak ada lagi, tugas memasak, mencuci, menyapu, keliling kampun, dan yang lainnya. Semua sudah di urus oleh Bibi Seli, om Reza dan beberapa pegawai rumah. Tapi, tetap saja, aku rindu memasak, juga yang lain nya.

Setiap hari, aku sudah bangun setiap jam 5. Mulai membangunkan Hasna, Mandi, Sholat, jalan-jalan ke taman belakang Rumah, belajar—Homes Schooling, main, ikut kursus Bahasa Inggris, dan bgitu Seterus nya. Ini sungguh berbeda dengan keseharian ku Bersama Nenek yang, menyapu, berjualan, menjaga Nenek, dan yang lainnya.

“Lily, ayo kita makan malam dulu. Hasna, ayo sini, makan malam sama Mama!”

Aku dan Hasna dibelakang ku mengangguk serempak. Menuruni tangga. Menuju meja makan. Di atas nya, terhidang makanan-makanan lezat yang telah dibuat Bibi Seli, juga dibantu pegawai rumah nya. Daging steak, kentang goreng, Rendang, kebab, Hamburger, Sate… Ughh! Enak bener!

Bibi Seli diseberang meja tersenyum melihat wajah ku yang begitu antusias mencicipi makanan-makanan ini. Sambil mengambil beberapa daging Rendang, Bibi Seli berkata padaku, “Nah, kamu harus coba daging steak, nih, Lily. Tadi, mama baru dapat resep nya dari adik Mama. Dijamin, Dua jempol deh.”

Aku tertawa kecil. Mengangguk.

Bergegas mengambil piring dan sendok.

“Wah… Enak banget, Ma!” Seru ku—aku sudah mulai memanggil Bibi Seli ‘Mama’.

Bibi Seli tertawa kecil. Mengangguk. “Ayo, Hasna. Bukankah ini makanan kesukaanmu?” Tanya Bibi Seli, sambil menatap Hasna yang hanya menusulk-nusuk Daging Steak nya.

Hasna menoleh. Mengangguk kaku.

Aku menatap Hasna. Ada apa? Ada yang salah? Hasna terlihat seperti tak biasanya. Aku hendak bertanya kepada Hasna, apa yang terjadi?

“Ayo, Hasna. Bukankah ini makanan kesukaanmu?”Bibi Seli lebih dulu bicara. Membuatku gagal bertanya pada Hasna.

Aku menoleh. “Matematika, dan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), Ma.”

Bibi Seli mengangguk-angguk. “Mama lihat, nilai IPA mu, bagus. Bukankah begitu?” Tanya Bibi Seli. Menatapku penuh penghargaan.

Aku mengangguk kaku. Malu terhadap pujian Bibi Seli. Selama ini, selama aku belajar dengan guru yang sudah dipesan Bibi Seli, nilai-nilai IPA ku bagus. Untuk pelajaran lain, masih rata-rata. Namun, hanya di bagian Matematika yang agak kesulitan—kalau bagian Matematika, Hasna jagonya.

“Hebat, dong, Lily!”

Aku tertawa malu. Menghabiskan isi piring ku.

“Oh, ya, Lily. Mama mau ikutkan kamu kursus IPA. Kamu mau?” Bibi Seli mengusulkan saran nya. “Ada Fisika, Biologi, Kimia, dan IPBA. Kamu mau ikut?”

Aku terdiam. Kursus? Aku tak tau, IPA ternyata ada begitu banyak. “Eh, kalau tidak merepotkan Mama.” Aku Menyusun kalimat terbaik. Tersenyum.

“Tentu tidak, Lily sayang!” Bibi Seli menggeleng cepat. “Malah, Mama senang, jika kamu mau ikut. Kamu mau yang mana, yang online atau, yang offline? Atau, kamu malah mau, Privat?”

Aku menelan ludah. Duh, kok banyak nama yang tidak aku kenal, ya? Apa itu Privat?

“Kalau Privat, nanti gurumu bisa datang sendiri langsung, ke rumah. Kalau, Offline, kamu yang harus datang ke lokasi Kursus nya. Nah, kalau Online, kamu belajar lewat handphone.”

Aku mengangguk paham.

“Tapi, saran Mama sih, Online aja, deh, ya? Lebih enakan. Atau, Privat? Kamu mau Privat? Soalnya, kalau Offline, jarang ada yang bisa ngantar.”

Hm… aku berpikir sebentar. “Privat saja, deh, Ma. Biar nanti, Lily bisa tanya langsung ke Gurunya kalau ada pertanyaan.” Aku memilih pilihan terbaik.

Bibi Seli mengangguk. “Ya, sudah, Mama mau pergi istirahat. Lelah tadi habis Kerja.” Bibi Seli meninggalkan aku dan Hasna sendirian.

Ku lihat, Hasna mau protes. Tapi, terdiam. Kemudian, pergi meninggalkan ku sendirian. Berlari menuju kamar nya.

Aku menoleh. Hendak mencegah Hasna. Ada apa Hasna?

POV Hasna

Aku tidak tahan!!! Aku berteriak dalam senyap. Mengapa Lily harus ada disini? Mengapa Mama mau mengangka Lily sebagai anak nya? Mengapa Mama malah lebih sayang pada Lily?

Aku tidak tahan!

Selalu saja begitu. Mama memeluk Lily. Mama membelikan mainan, apapun pada Lily. Sedang aku? Ciuh! Jarang Mama memelukku. Paling, tersenyum, mengelus rambut Panjang ku, sudah. Jarang Mama membelikanku Mainan, Buku, dan yang lainnya, Paling, bilang nya, main sama Lily. Gantian sama Lily. Minta izin sama Lily.

Ciuh!

“Lily, Hasna, Turun makan dulu, yuk!” suara Mama dibawah terdengar. Berteriak memanggil ku dan Lily.

Aku mendengus kesal. Malas!

“Lily, Hasna!” Mama berteriak lagi. “Lily, Hasna! Ayo turun sini!”

Aku menelan ludah. Menurut. Turun ke bawah.

Mama telah duduk di kursi. Makanan juga sudah tersedia di atas meja. Juga daging Steak kesukaan ku. Yummy!

“Heh, kamu panggil Lily dulu, Hasna!”

Aku menoleh. Hendak protes.

“Hukuman karena kamu lama dipanggil nya. Mengurung diri dikamar!” Mama memotong seruan protes ku. Melotot galak.

Aku mengeluarkan puuh kesal. Mengangguk. jika saja, aku, Lily, maka pastilah tidak akan dimarahi.

Aku turun menginjak anak tangga. Di depan ku, Lily terlihat antusias dengan Makanan baru.

Aku mendengus kesal. Tadi, di kamar Lily, aku hanya dianggap patung. Berkali-kali ku panggil ia, Lily hanya bergeming. Tidak menjawab. Saat ku sentuh Pundak nya, barulah ia tersadar. Eeh, aku malah dimarah, karena hampir membuat nya jatuh.

“Lily, ayo kita makan malam dulu. Hasna, ayo sini, makan malam sama Mama!” Mama berseru melihatku dan Lily turun. Tersenyum lebar.

“Nah, kamu harus coba daging steak, nih, Lily. Tadi, mama baru dapat resep nya dari adik Mama. Dijamin, Dua jempol deh.” Itu kata Mama yang melihat Lily berseru antusias. Aku mendengus kesal. Cemburu, tapi berusaha bersikap senormal mungkin.

Lily disamping ku tertawa kecil. Mama, entah kenapa ikut-ikutan tertawa. Apanya yang lucu, coba?

Lily berseru setelah mencicipi sepotong Daging steak kesukaan ku—aku sebenar nya tak mau berbagi dengan Lily. Tapi, mau bagaimana lagi? Ada Mama disini. “Wah… Enak banget, Ma!” kata Lily.

Mama tertawa kecil. “Ayo, Hasna. Bukankah ini makanan kesukaanmu?” seru Mama. Menatap ku.

Eh. Aku mengangguk kaku. Menurut. Dari tadi, aku hanya menusuk-nusuk daging steak ku dengan garpu.

Ruang makan legang sejenak. Hanya suara tarian sendok dan garpu.

“pelajaran mu hari ini,apa, Lily?” Mama bertanya. Memecah legang. Pertanyaan yang buruk. sungguh, pertanyaan yang buruk. Biasanya, Mama selalu bertanya padaku. Namun, 2 bulan ini, Mama lebih banyak bertanya pada Lily.

“Matematika dan IPA, Ma”

Mama terlihat mengangguk-angguk. “Mama lihat, nilai IPA mu, bagus. Bukankah begitu?” Mama bertanya. Aku mendengus kesal. Kalau aku, nilai matematika ku yang bagus. Tapi, kenapa Mama malah tidak memuji ku?

Lily mengangguk. Aku menghela nafas kesal. Pasti, dia sombong! Bisikku jahat.

“Hebat dong, Lily!” Mama menatap Lily penuh penghargaan. Mengacungkan jempol. Idih, sampai segitunya. Aku juga bisa, kok. Dan paling, Lily juga gak terlalu bisa sama Fisika. Kan, pakai Matematika? Dan juga aku yakini, Pasti Lily sama sekali gak tahu, kalau IPA itu terbagi dari, Fisika, Biologi, Kimia, dan IPBA. Bukankah begitu?

Lily disamping ku tertawa.

“Oh, ya, Lily. Mama mau ikutkan kamu kursus IPA. Kamu mau?” Mama bertanya lagi. Tuh, kan, kataku benar, Mama selalu menawarkan banyak hal pada Lily! “Ada Fisika, Biologi, Kimia, dan IPBA. Kamu mau ikut?” Aku menelan ludah. Pasti, Mama akan memillihkan Privat, atau Online. Aku juga mau!

Mama berbincang sebentar dengan Lily. Menanyakan ini, itu. Menanyakan Privat, Online, Offline. Bah! Yang membuatku makin kesal di meja makan ini. Aku sama sekali tak dianggap ada! Hanya dianggap Patung!

Beberapa menit kemudian, Mama beranjak pergi. “Ya, sudah, Mama mau pergi istirahat. Lelah tadi habis Kerja.” Kata Mama.

Lah? Aku tak ditanya, sama Mama? Dicuekin?

Aku hendak berseru protes pada Mama. Tapi, terhenti. Takurt nanti Mama malah marah. Aku menghembuskan nafas berat. Memutuskan pergi ke kamar. Daripada menemani Lily, disini.

Aku benar-benar benci. Benci Lily harus muncul disini. Kenapa, coba, Lily harus ada? Serangga pengganggu! Aku menyumpahi Lily.

“Papa!” Aku bergegas memeluk Papa yang terlihat santai membaca buku diatas sofa. Hendak mengadu—soal Mama yang tadi malam.

“Ya, sayang?” Papa bertanya. Matanya walau Lelah, tetap memandangku penuh kasih sayang. Aku selalu suka pada Papa. Papa tak pernah membedakan ku, dengan Lily. Aku memang dekat dengan Papa.

“Papa, itu… kemarin…” aku bergegas membisikkan pada Papa. Menceritakan semuanya. Mulai dari, Mama yang menyayangi Lily terus, hingga Mama yang menawarkan Kursus IPA pada Lily.

“Oooh.” Papa ber-oh pelan setelah ceritaku usai. Mengangguk. “Tak apalah, Hasna. Lily kan, masih sedih karena Nenek nya pergi. Makanya, Mama sayang-sayang Lily. Mama begitu, biar Lily jadi semangat. Tidak cemberut lagi!”

Yaah! Ternyata, Papa mendukung Mama dan Lily. Aku mendengus kesal. “Tapi, Pa, Hasna kan, juga mau ikut Kursus. Matematika. Biar nanti, Hasna bisa ikut Olimpiade. Ya, Pa, yaaa?” aku merajuk manja. Memegang paha Papa. Menatap penuh permohonan.

Papa menghela nafas.

“Ya, Pa, Ya?”

Papa mengangguk. “Baiklah, nanti Papa coba bicarakan dengan Mama.”

Aku yang hendak berseru senang karena melihat anggukan Papa mengeluh. “Tapi, Mama pasti nolak, Pa. Papa tau, kan, Mama terlalu sayang sama Lily. Pasti, nanti Mama bilang, Sebentar, pas ada uang. Sebentar, belajar sendiri aja, dulu!” aku menjawab sambil mendengus kesal.

Papa menghela nafas lagi. Menatapku dengan tatapan teduh nya. Beranjak pergi ke kamar. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Arggghhhh! Aku berteriak dalam senyap.

Aku terdiam. Tadi, aku tak sengaja menguping percakapan Hasna dan om Reza. Katanya, hmph, aku membuat Hasna tak disayang oleh Bibi Seli? Katanya, Bibi Seli jadi terlalu sayang padaku, hingga mengabaikan dia?

Hmph! Apakah aku pembuat masalah? Pembawa masalah bagi Hasna?

Aku merenung. Menatap sungai yang mengalir dibawah sana. Sejak kepergian Nenek, aku tak pernah berharap akan diasuh oleh Bibi Seli. Sama sekali tak pernah. Aku hanya berfikir, kalau Nenek pergi, aku akan tinggal sendiri. Sumpah, aku tak pusingkan dimana akan aku tinggal.

Hingga keajaiban itu datang. Bibi Seli membujuk Om Reza untuk mengadopsi ku, mengangkat ku sebagai anak angkat nya. Aku awalnya senang-senang saja—walaupun masih sedih atas kepergian Nenek. Tapi, melihat Hasna yang mulai berubah, mendengar pembicaraan Hasna dengan Papa-nya, entah kenapa, seprtinya ada yang salah.

Tapi apa? Bukankah, aku hanya bermain sedikit, dengan Bibi Seli? Bukankah, aku hanya ingin melupakan kenangan dengan Nenek? Kok Salah sih?

Separuh hatiku menyuruh ku bersabar. Biarkan saja. Jangan dipedulikan. Namun, separuh nya lagi justru membantah. Berteriak tanpa suara. Ini bukan salahmu, Lily. Toh, ini salah nya, Hasna!

Kamu jangan pikirkan hal yang tidak penting. Biarkan saja. Ngapain juga, pedulikan? Jalanin aja, seperti biasa.

Ah, entahlah. Hatiku saling bertengkar satu sama lain. Aku memutuskan Tidur—walaupun ini masih pagi—daripada mendengarkan hatiku yang bertengkar.

“Heh, Lily! Pagi-pagi, sudah tidur. Tidak boleh, tau, kita tidur selepas Subuh!”

Aku mengucek mata. Terbangun dari tidur yang lelap. Jam berapa sekarang?

“Sudah jam 9. Santai banget, kamu ini. Mentang-mentang Libur sekolah, disayang Mama, enak saja tiduran terus, dikamar!” Katanya ketus.

Adalah Hasna yang berbicara barusan. Ia bersungut-sungut karena disuruh Bibi Seli membangunkan ku.

“Eh, iya, Na, Maaf.”

“Maaf, terus! Gak cukup, tau!” Hasna berseru ketus. Menatapku jengkel. Marah. Mungkin, karena Bibi Seli sering memanjakan ku.

“Hei, Hasna!” Suara Bibi Seli lebih dulu terdengar, sebelum aku meminta maaf lagi. “Jangan membentak-bentak! Ucapkanlah baik-baik!”

Hasna terlihat bersungut-sungut. Matanya galak memandang ku. “Ya, ya, ya, Maaa!” Hasna berseru kesal.

Aku menelan ludah. Baru melihat rupa Hasna marah—selama ini (sebelum Nenek pergi), Hasna tak pernah terlihat marah didepanku.

“Lily, mari sini, sayang, kita makan dulu, yuk! Sarapan.” Bibi Seli terdengar lembut memanggilku. Aku jadi tidak enak. Aneh. Bingung. Ah, entahlah. Aku tak tau. Merasa bersalah pada Hasna.

“Ergh… Iya, Ma. Lily turun dulu.” Aku menjawab setelah terdiam sebentar. Hasna dari tadi sudah turun. Setelah menatap ku tajam. Bergumam kesal.

Aku menurunii satu per satu anak tangga. Bibi Seli telah siap di kursinya. Juga om Reza, dan Hasna. Bibi Seli terlihat cantik dengan daster Pelangi nya. Hari ini, dia memang libur. Hanya om Reza yang masuk kantor.

“Nah, Ayo, kita makan dulu, yuk. Hasna, kau ambil The dulu di Dapur sana!” Suruh Bibi Seli.

Hasna awalnya hendak protes. Namun, melihat Bibi Seli yang menatap nya tajam, Hasna akhirnya menurut. Bersungut-sungut. Jadi babu lagi, jadi babu lagi. Begitu protes nya.

Aku menelan ludah. Menarik kursi disamping Bibi Seli. Meja dirumah sini, Panjang. Karena rata-rata, rumah ini dihuni 12 orang. Aku, Hasna, Bibi Seli, Om Reza, tukang kebun, satpam, dan sisa nya pembantu rumah. Jadi, otomatis, Meja yang dibeli om Reza akan sangat Panjang. Beruntung, om Reza masih sanggup membeli meja itu. Bayangkan, jika Meja nya kecil, hanya muat 4 orang! Duh, kami pasti akan ganti-gantian duduk nya! Aku tertawa kecil.

“Nah, enak makanan nya, Lily?”

Aku mengangguk. mengacungkan jempol. Lupa pada kemarahan Hasna tadi pagi.

“Nanti, kamu Hasna, bantu-bantu Pak Roni di halaman ya?” Sahut Bibi Seli. Pak Roni adalah tukang kebun.

Hasna menoleh. Mengangguk samar—dia masih marah karena kejadian tadi. Babu.

“Nah, terus, Lily temenin Mama ke Mall ya. Sekalian belanja disana.”

Hasna tersedak. Aku melongo. Benera nih, aku diajak ke Mall? Asyik!

“Mama, kenapa kok, Lily pergi ke Mall? Hasna juga mau ikut, Maaa!” Hasna memotong keseruan ku mendengar kalimat Bibi Seli. Wajah masam nya merajuk pada Bibi Seli.

“Lah, Mama kan bilang, kamu bantuin Pak Roni. Kamu tidak mendengar nya, Hasna?”

“Kenapa bukan Lily saja yang bantuin. Atau, Mama sendirian pergi ke Mall. Lily bantuin Hasna bersihkan Halaman.” Hasna memotong cepat. Tidak ada yang berani adu mulut dengan Hasna. Kecuali orang tua nya, Om Reza dan Bibi Seli.

Bibi Seli memandang Hasna galak. “Mama sudah bilang, Hasna, kamu yang bantuin Pak Roni! Lagian, Lily masih butuh liburan kan, Hasna sayang. Makanya, Mama ajak dia ke Mall. Paham? You understand, Hasna?”

Yes, I understand, Mama. Tapi, kenapa hanya Lily saja?!” Hasna tetap bertanya. Balas memandang Bibi Seli galak—sesuatu yang tak pernah dilakukan Hasna. Tapi, entah kenapa ia sekarang memandang Mama-nya begitu.

“Kamu sudah mulai memandang Mama begitu, heh? Berani nya! Kamu dengar tidak, karena Lily masih sedih atas hal itu. Hal yang menimpa Nenek nya!”

Hasna berusaha mengendalikan diri. Menghela nafas Panjang. “Mama Jahat!” Katanya berteriak serak. Mengucap matanya yang basah. Sejak tadi, ia berusaha menahan tangis.

“Hei, beraninya kamu bilang Mama begitu, heh? Mama ini Mama mu! Berani sekali.” Bibi Seli berdiri dari kursinya. Setengah memukul meja makan. Melotot pada hasna.

Aku yang melihat situasi ini bingung. Aduh, kenapa karena hal seperti ini, karena aku, semuanya jadi rusuh?!

“Mama…” aku berkata lirih. Memegang lengan Bibi Seli pelan. Menyuruh nya untuk tenang.

Bibi Seli menoleh. Tersenyum tipis—terpaksa. Nafasnya menderu kencang. Matanya merah. Seperti habis menangis, karena mendengar anak nya berteriak begitu.

“Mama Jahat!” Teriak Hasna lagi. Parau. Berlari ke atas, menuju kamar nya.

“HEI!”

Hasna tak mendengarkan. Ia sudah membanting keras pintu kamar nya. BRAK! Menutup erat-erat. Mengucap matanya.

“Hasna!” Bibi Seli berlari ikut menyusul.

“Seli.” Om Reza memegang tangan Bibi Seli. Namun, langsung ditepis nya.

Pembantu rumah ketakutan. Bersembunyi. Masuk ke kamar mereka masing-masing. Aku menelan ludah. Kenapa jadinya seperti ini? Bukankah tadi, semua baik-baik saja? Maksudku, tadi bukan nya, marahnya Hasna tak sampai begini? Bukannya, Bibi Seli masih bisa tersenyum lebar?

“Hei, Hasna!” Bibi Seli mendorong keras pintu kamar Hasna. Kamar ku dan Hasna memang taka da kuncinya. Maksudnya, kunci kamar kami dipegang oleh Bibi Seli dan Om Reza.

“Hasna!” Bibi Seli berseru tegas. Dia sudah masuk ke kamar Hasna. Aku yang hendak ikutan masuk kekamar Hasna terhenti. Terhenti karena Bibi Seli berkata, “Jangan masuk!”. Aku menelan ludah. Mengangguk.

POV Hasna

“Mama Jahat!” Aku berteriak parau. Mengibaskan tangan Mama yang menyentuh ku. Memalingkan wajah dari wajah Mama. Memeluk erat bantal guling. Menangis terisak—aku memang mudah sekali marah.

“Hasna…”

“Mama jahat!” aku berteriak sekali lagi.

“Hei, Hasna. Mama tidak bermaksud begitu, sayang. Mama hanya—” suara Mama melunak. Aku melirik nya sedikit. Meskipun kusut, ia terlihat tersenyum.

“Pokoknya Mama Jahat!” aku memotong kalimat Mama. Mendengus marah. “Mama hanya sayang pada Lily! Semenjak Lily datang, Mama selalu sayang Lily! Tak pernah sekalipun sayang pada Hasna lagi! Mentang-mentang dia cantik, punya mata biru, terus Mama sayang pada Lily. Melupakan Hasna. Mentang-mentang Lily rajin, lembut, penurut, Mama sayang pada Lily! Meninggalkan Hasna! Hasna gak mau!!!” aku berteriak menambahkan. Berkata atas hal yang terjadi.

Yeah. Lily memang cantik. Walau kemarin—2 bulan yang lalu sebelum meninggal Nenek Laila—dia dekil, dan kotor, Mama sudah bilang padaku bahwa dia cantik. Jika saja ia tidak dekil, maka kulit putih nya akan terlihat. Jika saja rambut nya disisir, bertambah lagi cantik nya. Juga hidung mancung nya. Itu kata Mama 2 bulan lalu.

“Hasna.” Mama memegang lengan ku. Kali ini lebih keras. “Mama bukan tidak menyayangimu, sayang. Mama hanya—” suara Mama tercekat. Menelan ludah. Mata nya redup menatapku.

“Apa?” aku bertanya ketus.

“Mama Hanya… Mama hanya ingin mengembalikan keceriaan Lily, Hasna. Bukan karena Mama tidak sayang padamu. Tapi… tapi karena, Mama mau membuat Lily, sahabat mu, tersenyum riang lagi. Seperti waktu Mama bertemu.”

Aku menelan ludah.

“Mama hanya mau dia riang, sayang. Tak lebih dari itu. Maafkan Mama jika itu… jika itu membuat mu sedih. Maafkan Mama jika itu membuatmu marah, Benci, sedih. Mama bukan pilih kasih. Mana mungkin Mama tidak menyayangi mu.” Mama mengelus lembut kepala ku.

Aku menahan tangis. Menggigit bibir.

“Mama… Maafkan Mama, Hasna.” Mama mengelap pipi ku. “Kamu mau maafkan Mama-mu, sayang?” Lirih Mama lembut. Mencium pipi ku.

Aku menelan ludah. Mulai menangis. Terisak.

“Kamu mau, sayang? Egh—”

Aku mengangguk pelan.

“Nah, baru namanya anak Mama dan Papa! Sini, Putri kecil ku!” itu bukan suara Mama. Papa. Ya, itu suara Papa. Dia memeluk ku erat.

Mama tertawa kecil. Ikut memeluk ku dan Papa.

Sungguh, aku benar-benar keliru menafsirkan nya. Mereka menyayangi ku. Sungguh, mereka menyangiku. Begitupun aku. Aku menyayangi mereka.

Terima kasih, Mama, Papa—

Aku tercekat. Menunduk. Mundur. Menuju kamar. Menutup nya pelan. Pelan sekali. Agar Bibi Seli dan om Reza tak mendengarnya. Mengganjal pintu dengan kursi.

Hei, lihatlah! Hasna, Bibi Seli, dan om Reza melakukan nya. Hasna mendapatkan pelukan itu. Ya, sesuatu yang sangat ingin kudapatkan, namun tak pernah sekalipun.

Aku menangis tersedu. Sehelai daun bunga yang kutanam di kamar jatuh dihadapan ku. Aku terisak. Mengambilnya pelan.

Mama… Nenek… Kapan kesini lagi, Ma, Nek? Papa… kenapa tidak kunjungi Lily?

Aku mengusap mataku yang basah. Memandang keluar jendela. Pagi yang cerah, namun hatiku sungguh tak secerah pagi ini.

Hai! Ini adalah Lily's Adventure Bab ke-2, ya, Friends. Selamat membaca! jangan lupa cerita ku yang lain nya!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Waahhhh, keren bangett... Gayanya bener bener kayak penulis terkenal! Bagus nih kalau dijadiin filem... Xixixix, semangat Laila!

15 Sep
Balas

trims, kak! Tp, ini pun blm selesai bab nya! fokus ujian duluuu

22 Sep

keren, Fa. kisahnya mirip bet ama kisah Raib, tokoh utama serial BUMI - TERE LIYE hihi

13 Sep
Balas

kkkk

14 Sep



search

New Post