Sunny Hinata

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Lily's Adventure (Bab 15) | Balik lagiii!!!

Lily's Adventure (Bab 15) | Balik lagiii!!!

“Lily, let’s eat!” Kepala Aunty Mai muncul dibalik pintu.

Aku sedikit kaget. Mengangguk kecil, kemudian meraih Jilbab. Meninggalkan Kamar-ku.

Kamarku ini tak terlalu Luas. Mungkin, 3x4 meterlah, luasnya. Kasur kecil—seperti sofa—juga meja belajar, dan lemari kayu. Kecil tapi indah. Dan beruntungnya, masih terdapat rak buku menggantung—walau isinya sedikit.

Walau kecil, aku suka kamarku. Cantik. Terlihat luas dengan dinding putihnya. Kata Cyra, itu dulu bekas Gudang. Asma sudah memperbaiki Ruangan itu menjadi kamarku yang sangat indah—renovasi.

“Lily!’ Aunty Mai yang sudah turun dilantai bawah memanggil sekali lagi.

Aku menoleh. Berlari kecil menuruni anak tangga. Melangkah menuju Ruang Makan.

“Segar, Lily?” Asma menyapa.

Aku sedikit melipat kening. Segar? Maksudnya… ohhh! Aku seketika paham. Beliau bertanya, apakah aku sudah tidak Lelah, bukan?

Aku mengangguk sopan.

Asma tersenyum. “Sorry, bilik kamu sangat kecil, Honey. Nanti, aku akan gantikan dengan bilik yang lebih luas.” Ujarnya.

Aku menggeleng. “Biliknya sangat cantik, Aunty. Tidak perlu diganti!” jawabku santu-n.

Asma Kembali menyunggingkan senyumnya. “Kamu anak yang sangat baik, Lily.”

Aku tersenyum kecut.

Om Ryhan baru keluar dari kamarnya. Menyapa aku, Asma, Cyra, dan pegawai rumah yang lain.

Good morning, Honey, beautiful princess, Lily!”

Kami serempak menoleh. Menjawab salam.

“Makanan siap?”

Asma yang mengangguk. Mempersilahkan suaminya untuk duduk.

Tak ada suara.

Semua anggota keluarga—juga aku dan pegawai rumah—sudah sibuk dengan makanan masing-masing. Hanya suara denting sendok yang terdengar dilangit-langit Dapur. Semua sudah khusyuk mengunyah makanan.

Lengang.

Asma berdiri. Dia sudah selesai makan. “Ummi pergi kerja, okey? Ke hospital.” Asma berkata. Sudah Membawa piring makanan nya yang kosong menuju Wastafel.

Cyra mengangguk. dia juga sudah selesai Makan. Membuntuti ummi-nya, membawa piring.

“Hari ni hari Sabtu. Kau cuti sekolah, kan, Cyra?” Asma bertanya.

Cyra mengangguk. “Cyra cuti, Ummi.” Jawabnya.

Asma memperbaiki anak rambut didahi. “Baik, kau temani Lily berjalan-jalan. Keliling Malaysia. Eh, maksudnya berkeliling Kuala Lumpur dengan Aunty Mai. Okey?” Asma menatap putri tunggalnya itu.

Cyra mengangguk. mengepalkan tanga. Terlihat senang benar disuruh jalan-jalan oleh ibunya.

“Baiklah.” Tambah Asma. “Papa, mari bersiap.” Asma melambaikan tangannya kepada Om Ryhan yang sudah selesai dengan makanannya.

Om Ryhan mengangguk. berjalan meninggalkan kami.

“Mari, Lily.” Cyra menghampiriku—yang membuatku kaget. Menatap.

Aku balas menatap Cyra bingung. “Where?” bertanya polos.

Cyra tampak menepuk dahi. “Said Ummi, kau mesti berjalan-jalan disekitar Kuala Lumpur.” Cyra menjawab dengan campuran inggris dan Melayu.

Aku hampir saja tertawa—mendengar kalimat campurannya. Tapi urung. Mengangguk kecil.

Percakapan selesai, namun, Cyra masih saja menatapku.

Aku sedikit keki melihat tatapan Cyra. Salah tingkah. “What is wrong? Eh, ada apa?” aku menatap Cyra sedikit menyelidik.

Cyra menggeleng. Ikut salah tingkah. “No, Nothing. Eh, saya tidak bermaksud apa-apa.” Cyra menggeleng. Nyengir. “Eh, saya hanya keliru kenapa kau senyap begitu? Pendiam?” cyra menambah. Semaking nyengir.

Aku tersenyum pahit. Menggeleng. Tidak berkomentar. “Aku mau ganti baju dulu, Excuse me.” Meninggalkan Cyra.

Let’s go!” Aunty Mai berteriak memanggilku.

Aku yang sedang memasang sepatu mengangguk. “Wait!” balas berseru. Berseru tunggu kepada Aunty Mai.

Aunty Mai mengangguk.

Bergegas aku berlari menuju Mobil. Duduk dijok belakang Bersama Cyra. Buru-buru.

Tuutt!!

Mukaku memerah. Mataku menyapu seluruh isi mobil. Cyra menoleh—sedikit menahan tawa. Juga Aunty Mai dan pak sopir dijok depan.

“Lily?” Aunty Mai mengerutkan kening. Begitupun Pak Sopir.

Pipiku semakin memerah. Salah tingkah.

Yeah. Suara ‘Tuut’ itu adalah suara ‘kentut’!! dan, hei, itu berasal dariku. Padahal, jelas-jelas aku sama sekali tidak kentut!

“Lily?” Aunty Mai melirikku tajam. Seakan berseru, sopan!

Aku menggaruk kepala. Meremas jari.

Cyra disampingku sudah tertawa terbahak-bahak. Menyeka matanya yang berair karena tawa. Memegang perut.

Selesai melirikku tajam, Aunty Mai langsung menatap Cyra. Semakin melipat dahinya. Bingung. Juga aku, dan Sopir.

Setelah tawa Cyra reda, Cyra berseru maaf—masih menyeka matanya. “Maaf, Lily.” Ujarnya setengah tertawa. Tangan kanannya menarik sesuatu ditempat dudukku.

Mataku membelalak melihat sesuatu yang diambil Cyra. Hei! Lihatlah, itu bantal balon yang bisa mengeluarkan suara Kentut! Mulutku terbuka. Terkejut sekaligus marah.

“Maaf, Lily. Sorry. Me on purpose. Saya sengaja.” Cyra masih saja tertawa.

Aunty Mai yang akhirnya tau apa yang terjadi ikut tertawa kecil. Juga Pak Sopir, terkekeh pelan. Aku sedikit membucungkan bibir. Tersinggung benar dengan Cyra. Enak saja dia seperti itu kepadaku. Sewaktu di rumah Bibi Seli, tak pernah sekalipun Hasna—walaupun dia marah kepadaku—berbuat seperti itu kepadaku. Perilaku yang sungguh tidak sopan!

“Cyra memang sering seperti itu, Lily. Jangan masukkan kehati!” Aunty Mai melambaikan tangan melihat bibirku yang membucung. Masih tertawa kecil.

So sorry, Lily. Sorry okay?” Cyra menyikut lenganku. Menahan tawa. Mengusap rambut Panjang nya.

Aku mendengus. Mengangguk.

Cyra tersenyum lebar. Menyikut lenganku sambil mengacungkan jempol.

Aku Kembali mendengus dalam hati. Dasar tidak tahu sopan santun!

“Okey, Aunty!” Cyra berteriak. Kepalanya menuju jok depan. “Menuju Menara Kembar!!” Cyra berteriak kencang.

Aku mengaduh dalam hati. Bisa-bisa tuli aku jika nanti setiap hari harus mendengar teriakan Cyra.

Aunty Mai menutup telinganya. Ber-hsss pelan. Menyuruh Cyra duduk.

Cyra nyengir lebar. Kembali duduk dikursinya.

Aku menepuk dahi. Cyra yang berumur 15 tahun, sikapnya sangat mirip dengan anak umur 8 tahun. atau lebih parahnya, mungkin mirip anak umur 6 tahun.

“Ada apa, Lily?” Cyra menoleh menyelidik. Kepo sekali dengan aku yang baru menepuk dahi.

Eh? Aku salah tingkah. Melambaikan tangan, malas membahas—lebih tepatnya takut.

MENARA KEMBAR PETRONAS!

Mataku membelalak melihat Menara yang begitu tinggi ini. Dulu, sewaktu Bersama Bibi Seli dan Tante Diana, untuk yang keluar negeri, aku hanya pernah menuju London, Prancis, dan New Zealand. Hanya itu, karena dengan cepat mereka satu persatu pergi—aku selalu sensitive tentang ini.

Sungguh! Menara ini benar-benar indah! Menara berlantai 88 ini super-duper-sangat tinggi! Menara yang dibangun oleh Cesar Pelli ini, kata Aunty Mai, benar-benar cantik diwaktu malam. Lampunya berkelap-kelip indah. Sayang sekali, aku datang kesini Pagi-pagi. Namun, tak apalah. Aku masih bisa menikmati keindahannya.

Beberapa kali, aku, dan Cyra selfie Bersama—lupa bahwa tadi masih marah. Aunty Mai tidak bisa diajak selfie. Dia hanya menggeleng, duduk disalah satu bangku. Asyik memakan es cream yang ia beli.

Beberapa kali juga, aku foto sendirian dengan latar belakang Menara Kembar. Pak Sopir yang jadi juru kameranya. Karena memang, beliau, pernah mengikuti kelas fotografi dan foto beliau cukup bagus.

“Cyra! Lily!” Aunty Mai berteriak dari bangkunya. Memanggilku dan Cyra yang berada dibangku lain.

Kami serempak menoleh. Meninggalkan acara makan es cream sejenak. Berlari menuju Bangku Aunty Mai.

“Setelah ini kita ketaman KLCC, yuk.” Aunty Mai setengah berbisik. Mengedipkan mata.

Aku dan Cyra menyeringai lebar. Mengangguk cepat.

“Oleh karena itu, kalian minta Pak Sopir pergi ketaman. Okey?”

Kami mengangguk. berlari kecil menuju lokasi Pak Sopir yang asyik memotret bangunan—juga memotret beberapa pengunjung yang meminta tolong. Berbisik, lantas disusul anggukan Pak Sopir.

Kami bersorak riang.

Aku menghempaskan badan dikasur.

Lelah. Hari ini, aku pergi kebeberapa tempat. Selain Menara Petronas, aku sempat pergi ke Taman Burung Kuala Lumpur, dan Sunway Lagoon. Juga Gedung Sultan Abdul Somad. Hanya sebentar, namun kami pulang pukul 4 sore.

Aku terlelap setelah mandi, dan sholat ashar. Tidur sejenak. Selama 2 jam namun terbu-ti menghilangkan Lelah.

“Lily!” Suara nyaring Aunty Mai membangunkanku.

Mendengar suara beliau, aku langsung sigap berdiri. Menyeka mata sebentar, lalu berlari menuju lantai bawah.

What is wrong, aunty?

Aunty Mai menggeleng. Menunjuk makanan yang sudah terhidang diatas meja. “Makan.” Jawabnya pendek.

Aku mengangguk. meraih kursi. Duduk.

“Segar, Lily?” Asma bertanya dengan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan tadi pagi.

Aku nyengir datar. Mengangguk.

Asma tersenyum. “Eat it!

Aku mengangguk kembali. Menyendok sup Laksa yang masih hangat.

“Nanti,” Asma berkata. Om Ryhan belum pulang dari kantornya. “Kita akan ke Mall setelah Papa pulang. Kamu ikut, okey, Lily?”

Aku menatap Asma. Mengangguk, menyunggingkan senyum.

“sekalian membeli pakaian-pakaian dan alat sekolahmu. Kamu pergi kesini membawa pakaian seadanya bukan? Lagipula, kamu hanya memiliki pakaian yang menempel ditubuhmu saat ditemukan Ryhan.” Asma menambahkan. “Minggu depan, kau juga akan sekolah. Ryhan menyekolahkanmu ke sekolah Cyra.

Aku mengangguk datar. Meneruskan makan.

“Dan juga—”

Aku menoleh Kembali. Apa lagi?

“Kau tidap perlu memakai tudung sepanjang masa di rumah. Buka saja, Cyra pun mem-bukanya.” Asma menunjuk Cyra.

Aku menggeleng tegas. “Tidak akan, auntie. Will never!” mataku berkilat-kilat menatap Asma.

Hei! Enak saja beliau menyuruhku membuka hijab? Lihat, banyak yang bukan Mahram ku disini. Om Ryhan, contohnya. Dia hanya laki-laki yang menolongku. Memberikanku kehidupan. Merawatku setahun terakhir.

Aku ingat sekali, dulu, Miss Sophie berkata padaku bahwa aku tak boleh membuka hijab didepan siapapun. Well, aku memang membuka hijab didepan Om Reza, dan Om Rafif. Tapi, saat itu aku masih kecil, bukan? Jadi, tak apa. Toh, walaupun kutahu, aku sudah terlanjur membuka jilbab didepan mereka. Itu kesimpulan yang kupaksakan. Yang akhirnya, disetujui oleh Miss Sophie.

Asma menghembuskan napas. “Tidak ada yang memarahi Lily disini jika—”

Aku cepat memotong kalimatnya. “Aku bilang tidak, ya tidak!” berseru kasar. Melotot galak kepada Asma.

Asma tertegun. Belum pernah aku dipelototi seperti itu, walau dengan Cyra.

Cyra ikut tersentak melihat mata membola ku.

Hey, you!

Mataku melirik Cyra. Dia yang mengeluarkan suara. Melirik tajam.

“Jangan melotot kepada Ummi saya!”

Aku bergumam, berbisik dalam hati. Tidak bisakah anak jail ini, Cyra, mengerti situasi? Bukankah yang salah adalah Ibunya? Namun mengapa dia malah memarahiku? Hei, Asma-lah yang salah karena dia menyuruhku membuka auratku. Dan mengapa, aku yang disalahkan?

Asma didepanku menyeka anak rambut—dia tak memakai jilbab jika didalam rumah. Serba salah.

“Apa?!” Cyra mendesis tajam. Menatapku, ikut-ikutan melotot.

Aku mendengus. Menyeka dahi.

“Budak tidak tahu untung!” Cyra menyumpahiku. Membuang pandangannya.

Aku tentu saja kaget dengan kata-kata kasarnya. Begitu pula Asma. Tertegun mendengar kalimat gadis kecilnya.

“Papa dan Ummi telah menolong kamu. Dan ini jawaban kau?!”

Aku menghembuskan napas Panjang. Kesal. Hei, saat aku masih berada di Singapura, Om Ryhan tak memusingkan apakah aku akan memakai hijab atau tidak. Mengapa disini aku di—

“Sudah, Cyra. Enough. Cukup!” Asma menghentikan Gerakan mulut Cyra yang ingin memuntahkan kata-kata kasar lagi.

Cyra tak mendengarkan. Aku hampir berpikir, mengapa orang-orang dirumah ini—selain Om Ryhan—kasar sekali?

“Anak Buangan.” Cyra menyudahi kata-kata kasarnya. Berlari memeluk Asma yang tertegun mendengar kalimat terakhir Putri cantiknya—aku sedikit jijik mengatakan ‘Putri Cantik’ itu.

Mataku membelalak. Anak buangan?

Sesak. Dadaku terasa sesak. Mataku yang tadinya membelalak kini berkilat-kilat. Lebih berkilat-kilat. “Coba kau ulangi, Putri Cantik? Apa yang kau bilang tadi? Anak buangan?” aku mendesis tajam. Berkata agak pelan saat mengatakan ‘Putri Cantik dan ‘Ana Buangan’ itu.

Cyra tak mendengarkan. Berbisik kepada Asma. Bertanya, apakah Ummi baik-baik saja?

“Hello, Beautiful Princess. Aku bertanya, apa yang kau bilang tadi? Sudikah tuan Putri mengulang kalimatnya tadi?” aku mendesis, ketus. Menyeringai jahat—yang sebenarnya, ada seringai sakit mendengar kalimat Cyra. “Atau kamu tidak mendengarnya? Punya telinga, heh?” aku Kembali berseru.

Asma semakin terkaget-kaget mendengar perkataanku. Merasa sangat tersinggung anak gadisnya dijelekkan.

Cyra membucungkan bibir. Menjulurkan lidah. Mungkin inilah sebabnya Cyra sifatnya seperti ini, karena teramat dimanja oleh Papa dan Ibunya, pikirku. Memeluk ibunya yang sama tinggi.

“HEI!” Giliran Asma yang mendesis. Menatapku tajam.

Aku menoleh. Menyipitkan mata, karena marah.

“Jangan mengejek Cyra!” asma merapatkan bahu Cyra ketubuhnya. Meotot galak.

Aku menelan ludah.

Beberapa pegawai, termasuk Aunty Mai, sudah sejak tadi mundur. Besembunyi. Menonton diam-diam. Kepo sekali, ingin tau akhir dari pertengkaran ini.

Asma tetap memandangku galak. “Jika kau ingin tetap tinggal disini, maka jangan berbuat ulah! Ikuti seluruh aturan. Jangan pernah membantah. Paham?”

Walau sedikit mencicit, aku tetap menggeleng. Menggeleng takut-takut.

Mata Asma semakin membola. Iihhh, mata Asma bahkan lebih menakutkan daripada mata Hasna, dulu.

Aku semakin mencicit. Kalian tahu, Asma (dan Cyra) ini sungguh sensitif. Mudah marah, padahal hanya masalah sepele. Tak tahukah dia bahwa itu dilarang agama?

Dan membela gadis cantiknya? Bukankah seharusnya aku yang dibela? Karena, alasan terbaiknya berada dipihakku? Dan alasan terburuknya—maksudku alasan yang tidak benar—berada dipihak Cyra?

Gila sekali, memang.

“Jawablah.”

Aku takut-takut menatap Asma, untuk kemudian menunduk Kembali.

“Hei!” Asma membentak. Tangannya dia silangkan. “Sekiranya kamu tak ingin mengikuti aturan, minta maaf kepada Cyra.”

Aku menunduk.

“Ayo!”

Mengangguk perlahan. Berjalan masygul, mengangkat tangan. Minta maaf.

Cyra menyeringai jahat. “Saya terima.” Tersenyum.

Aku balas tersenyum kecut. Sedikit lebih memiringkan bibir kekanan atas. Mengangguk.

“Baiklah,” setelah hening yang ganjil, Asma menepuk meja makan. “Mulai makan.” Ujar Asma. “Cyra my dear, silahkan, duduk dikursimu, dan santaplah apa yang ada.” Asma memandang lembut anak gadisnya. “Dan kau, Lily! Duduklah. Selepas makan nanti, kau basuh seluruh Piring. Paham? Hukuman untukmu.” Asma menatapku sedikit sinis.

Aku membucungkan bibir. Mengangguk pelan.

“Dan Oi! Mana semua pembantu? Mai, Afia, Nafisah! Kenapa kalian tak menyiapkan makanan?!”

Aunty Mai dan beberapa temannya lari terbirit-birit menyiapkan makanan. Membungkuk maaf.

Asma tersenyum tipis. Duduk dengan anggun dikursinya.

Aku turut duduk dikursi. Menatap kosong Piring.

Hei, tinggal disini, rasa-rasanya, sama saja kau tinggal dirumah Bibi Seli. Namun, berbeda versi. Kini, aku yang menjadi Hasna, dan Cyra yang menjadi aku!

Matahari menggeliat muncul untuk kesekian ribuan kalinya. Aku sudah sejak pukul 4 dini hari, terbangun. Terbiasa. Jika sedang tak sholat—aku tetap bangun walau lagi ada halangan—aku biasa menghabiskan waktu membaca buku. Jika belum membeli buku baru, aku membeli langsung lewat Gramedia. Langganan. Tante Diana yang mengajarkanku cara langganan di Gramedia dahulu—aku selalu sedih mengingat Tante Diana.

Setelah bosan membaca Buku, bergegas ku mandi. Supaya lebih Segar.

Sudah 4 bulan aku berada diRumah Om Ryhan. Om Ryhan sih baik-baik saja kepadaku. Asma dan Cyra juga baik-baik. Namun, mereka baik kepadaku saat Om Ryhan berada di Rumah. Jika om Ryhan pergi? Duhhh, aku merasa seperti di Neraka!

Sudah beberapa kali Cyra menjahiliku. Pertama, aku ingat persis, sehari semenjak pertengkaran itu, pernah Cyra memberi 1 sendok garam full dimakananku. Dibuat sedemikian rupa sehingga aku tak melihat tmpukan garam tersebut. Dan lebih parahnya lagi, Aunty Mai dan pembantu yang lain, menurut saja kepada ‘Nona’-nya. Tidak menolak apalagi protes untuk menjahiliku. Hei, mereka menurut saja untuk berbuat pekerjaan yang sedemikian buruk?

Sungguh, aku langsung mual Ketika memakan nasi dengan sendok full garam. Aku langsung berlari menuju Kamar Mandi dan memuntahkan nasi itu. Cyra yang melihatku tertawa sambil memegangi perut. Dan Asma cekikikan sendiri. Om Ryhan bingung melihat mereka berdua—istri dan anak gadisnya—tertawa. Hingga akhirnya, dijelaskanlah oleh Cyra, bahwa dia menjahiliku.

Om Ryhan sempat memarahi Cyra. Melotot galak dan bilang, bahwa uang mingguan nya diambil paksa. Asma mendesak, menyuruh Om Ryhan mengasihani anaknya sendiri. Tapi Om Ryhan adalah Om Ryhan. Dia keras kepala, dan keinginannya sudah bulat. Maka, uang m-ingguan Cyra dipotong. Kalian tau, berapa yang dipotong? 70 Ringgit Malaysia. Tahu, itu sama dengan berapa? Itu sama dengan 251 ribu rupiah di Indonesia. Hei, banyak sekali?! Namun, menurut Cyra, itu masih sedikit.

Sejak itulah, Cyra semakin memarahi dan semakin ingin menjahiliku—jika Papanya tidak ada dirumah. Begitupun Ibunya, Asma. Dia selalu membentakku jika kau berbuat kesalahan sedikit, saja. Dan sungguh, sikap Asma berbeda sewaktu aku pertama kali datang. Suwer!!

“Lily!! Let’s eat!” teriakan nyaring Aunty Mai menyadarkan lamunanku.

Aku bergegas turun menuju Ruang Makan sebelum Asma mengomeliku habis-habisan.

Sambil memandang Meja makan yang berisi makanan lezat, aku menuruni satu-persatu anak tangga. Duduk dikursi.

Lengang. Semua sudah sibuk makan. Om Ryhan—sayang sekali—kali ini pergi ke Kantornya. Menginap disana. Dia lagi sibuk-sibuknya di Kantor.

“Mi…” Cyra yang duduk disebelah ibunya berkata. Manja memegang lengan Asma.

Asma, sang ibu, menatap Anak tunggalnya. “What is wrong?” bertanya lembut.

Cyra, gadis berumur 15 yang super manja itu menatap Asma. “Mi, Ummi tau kan kalau kemarin aku Ujian di sekolah?” Cyra bertanya.

Asma mengangguk. meneruskan makan.

“Nahh, kemarin juga, Lily mendapatkan nilai A+, dan Cyra juga A+.” Ujarnya.

Sejenak, aku akhirnya tahu apa yanbg dibicarakan gadis ini. Aku yakin, dia pasti membicarakan kejadian disekolah kemarin, yang membuat ia menanggung malu. Meskipun aku tahu apa yang terjadi, aku tetap meremas jari. Takut.

So? Bukankah kamu juga mendapatkan nilai A?” Asma mengangkat alis.

Cyra membucungkan bibirnya. Sedikit mengangguk. Menunjukku.

“Memang, Mi. Cyra memang mendapatkan nilai A. tetapi, Lily, memberitahu Mister Rizal bahwa Cyra menipu. Cyra memang menipu, melihat kertas ulangan Mia. Tapi, Nilai Cyra A Plus. Dan saat Lily memberitahu Mister Rizal, nilai Cyra diturunkan menjadi C. hanya kertas Ujian saja yang tertulis A.”

Aku menghembuskan napas. Sudah yakin, pasti akan dimarahi.

“Dan penyebab nilai saya turun ialah Lily!” Cyra galak menunjukku.

Asma refleks menoleh. Menatapku.

Aku menggigit bibir. Menyeka peluh didahi.

“Lily?”

Mata Asma sedikit membesar.

Aku menelan ludah. Tersenyum kecut. “I-iya?” aku menjawab takut-takut. Meremas j-ari.

“Kau alasan turunnya nilai Cyra?”

“Tapi… bukankah itu wajar? Kita dilarang mencontek. Eh, maksudku, menipu. No cheating!” ‘

Asma berdiri dari kursinya. “Ini untuk kesekian kalinya kau menceramahi kami, heh!” bentaknya. “Beraninya awak mengajari kami, heh? Lihat dulu siapa kau, sebelum mengajar kami! Anak angkat!” Asma menambahi, ketus.

Aku memegang ujung meja. Menahan marah. Selalu begitu. Setiap dia memarahiku, dia selalu menyebutku sebagai Anak Angkat. Dia juga selalu mengingatkanku bahwa aku hanyalah gadis kecil yang dipungut dijalanan, dan selama ini hidup dalam belas kasihan orang lain, dan menyebabkan orang yang mengasihaniku terluka. Nenek yang mengasuhku dari bayi, meninggal. Hasna dan orang tuanya yang ikhlas berbagi, dan ikhlas membantu, terluka karena aku mengambil seluruh kasih sayang. Tante Diana yang tulus menyayangiku, meninggal sewaktu menjemputku. Juga Om Rafif, sangat terluka karena kepergian Tante Diana, dan akulah penyebabnya!

Aku terisak saat Asma pertama kali mengatakan hal itu—Om Ryhan sedang diluar. Be-rlari memasuki kamar. menangis tanpa suara. Menutup wajah dengan bantal.

Aunty Mai saat itu juga merangkulku. Aku tahu, walaupun Aunty Mai memberikan ga-ram pada Nasiku, dia sungguh sama sekali tak berniat. Dia sebenarnya dalam hati ingin protes, tapi, Asma, kemarin lebih dulu mengingatkan Aunty Mai—mengingat dia agak dekat denganku—agar menuruti seluruh perintahnya dan Cyra. Jika tidak, dia akan dipecat. Kami s-emua tau kalau Aunty Mai hanya memiliki keluarga di China sana. Dan itupun, keluarganya yang berada disana, hidup pas-pasan. Itu kata Aunty Mai dulu.

“Kamu dengar, tak?!” suara melengking Asma membuat lamunanku buyar.

Aku tergagap. Tersenyum kecut. Mengangguk patah-patah.

Asma menyeringai.

“Baiklah, kalau begitu, mulai besok, kau bantu Cyra mengerjakan seluruh soal Ujiannya. Kamu kan selalu mendapatkan nilai A, ya, kan? Oleh karena itu, wajib bagimu men-ikuti perintah ini. Hitung-hitung, balasan karena kami telah berbaik hati menampungmu.” Asma tertawa sinis.

Aku menunduk.

“Jawab!”

Menggeleng. “No cheating.” Menjawab. Sedikit takut.

Asma mendengus bagai dengusan kerbau. Mungkin berpikir bahwa aku anak tak tahu untung.

“Kamu tak dengarkah apa yang kubilang?” Asma berseru. “Kubilang, ini Wajib. WAJIB. Tak punya telingakah, kau, Lily?” Asma berkata ketus.

Kepalaku tertunduk semakin dalam.

“Dengar tak?”

Menelan ludah. “Dengar—” mencicit.

Asma memasang seringai jahat. “Kau harus melaksanakannya, Paham? Mulai nanti malam, sampai kapanpun, kau harus membuatkan Cyra semua Rumus. Okey?”

Aku mengangguk. apa boleh buat? Aku bisa diusir jika aku menggeleng sekali lagi.

Nice!

Aku menunduk. Hendak duduk Kembali.

“Hei!” Asma lebih dulu berseru. Menghentikan gerakanku yang hendak duduk.

“Ada apa?”

“Siapa yang menyuruhmu duduk?”

Aku menatap bingung. Menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Kamu tidak boleh duduk, Lily.” Cyra dibelakang Asma menyahut.

Aku Kembali mengerutkan kening. Maksudnya? Bertanya lewat tatapan mata.

Cyra tertawa kecil. Aku tahu tawa itu, itu tawa meremehkan. Pasti ada yang tidak beres, benakku.

Cyra menyeringai datar.

“Kau dihukum karena memberitahu bahwa Cyra menipu.” Asma menambahkan.

Aku melongo. Dihukum? Bukankah aku sudah menuruti permintaan ‘Ratu’ dan ‘Putri’ ini??

Seakan tahu apa maksud tatapanku, Asma menjawab, “Setiap yang berbuat kesalahan, harus dihukum. Kau berbuat salah, kan, Lily?” Asma tersenyum sinis.

Aku menelan ludah. Mulai paham. “Tapi, bukankah aku sudah—” aku masih tetap ingin membantah. Namun, Asma memotongnya,

“Walaupun begitu kau tetap dihukum!” Asma mendesis. Membola kedua matanya. Membuatk mencicit ngeri.

“Ba-baiklah.” Aku menunduk. Pelan-pelan undur diri. Masuk kedalam Kamar. mengunci pintu.

Aku menghembuskan napas pelan. Menatap langit-langit kamar. Bersama Nenek, aku Bahagia walau dalam keadaan miskin. Bersama Bibi Seli, aku biasa-biasa saja, senang dan sed-ih tinggal dirumah besar itu. Bersama Tante Diana…aku merasa teramat senang. Namun berakhir seperti ini. Berakhir menyedihkan.

Aku sekali lagi menghela napas Panjang. Menutup wajah dengan kedua lengan. Aku s-elalu ingat Tante Diana. Dan, dimanakah Bibi Seli saat ‘anak angkat’-nya sendiri?

Aku bergerak duduk. Memeluk kedua lutut.

Semenit, tanganku bergerak membuka tirai jendela berwarna kuning. Menatap pepoho-an rindang diseberang sana. Tepat dibawah kamarku, terdapat Mobil Asma terparkir rapi Bersama Pak Security.

Aku terdiam. Meraih kursi belajar, duduk.

Mendongak menatap 3 bingkai foto. Disana, terdapat fotoku, Cyra, Asma, dan Om Ryh-an. Terlihat teramat senang—sebenarnya, dua wanita itu tersenyum palsu. Disebelahnya, fotoku ikut terpapang. Fotoku saat pertama kali sekolah. Tampak tersenyum manis dibelakang rak buku perpustakaan. Memegang buku sambil tersenyum manis—itu difoto Pak Security du-lu.

Dann, disebelahnya lagi, foto mereka. Mereka? Yeah, foto Asma, Cyra, dan Om Ryhan dibelakang perpustakaan. Sengaja benar Cyra memajangnya dimeja belajarku. Kata Cyra, dia harus difoto Bersama Asma dan Om Ryhan karena mereka kedua orang tua Cyra. Dan aku sen-diri karena aku tak memiliki Orang Tua satupun.

Aku menghembuskan napas. Teringat masa-masa Bahagia dahulu.

Memandang sejenak keluar jendela. Aku sudah tak tahan tinggal disini. Benar-benar tak betah!

Kepalaku menunduk. Bibirku membisikkan sesuatu. Bergumam pelan sekali.

Sekali lagi, kupandang jendela. Menyeringai jahat—pahit—sejenak. Menunduk Kembali—namun bukan dengan perasaan sedih.

...

Hai!!!!

Akhirnya balik lagi sama Petualangan Lily. Kalian kangen, gakkk? Kalau nggak yo wis.. Nggak apa-apa. Jangan dibaca kalau gak kangen. Hehe...

Alhamdulillah,, setelah beberapa hari malas-malasan nulis, kisah ini udah sampai Bab 17. Well, aku cuma post setengah aja sih, disini. Gak semuanya, xixixi. Sorry...

Terimakasih teman-teman sasisabu yang benar-benar setia sudah baca kisah Lily, sampai, bahkan waktu kuhapus kisah Lily nya, nanya-nanya. Thank you juga yang sudah baca artikelku. Jangan lupa Follow akunku kalau kalian suka. Biar gak ketinggalan artikel lainnya (Lahhh? kok kayak di Youtube ya?)

Semangat buat kalian semua!!!

Ah-ya, yang mau kontakan, yuks, jangan sungkan... Kalian bisa kok, kontak (DM) di akun IG ku, @sy.hinata atau dinomor 0818502220...

Thank you!!! Salam untuk semuanya...

Ah-ya, aku punya satu pertanyaan. Bisa dijawab kah? Aku stress berat dengan pertanyaan ini. Bolehkah kita mendendam semuanya? Cerita-cerita yang selalu membuat kita tersinggung? Cerita yang selalu membuat kita menangis/marah tanpa alasan? Bolehkah kita berbicaraa, curhat dengan foto/bayangan/khayalan? Tidak dengan orang lain? Mama/Papa/Teman/Guru?

Thanks very much!

Assalamu'alaikum!!!

Salam manis, SY Hinata

(NB: SY singkatan dari SunnY)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Oh iya, yang bab 12, 13 sana 14 nya dmn?

23 Nov
Balas

Qiqiqi, baca pemberitahuannya Ca. Bab 12, 13 14, sampai Bab 1, kuhapus. ku Post ssetengah-setengah. Maaf yaaa

23 Nov

Ya dah lah gak papa

23 Nov

Wahhh, dah comeback Lily nyaaaa, UwU

21 Nov
Balas

Aduh, kasian Lily.. (╥෴╥)

22 Nov

Hehe, tp aku post nya sepotong-sepotong..

22 Nov

Kira2 kak Aimi tau gak ending nya? Hehe

22 Nov

Mungkin. Lily kabur kan?

23 Nov

maksudku akhir kisahnya kak.

23 Nov

Lily kabur? Nggak kok. ending di Outline-nya gak nyebutin gitu

23 Nov

iya sih, benar, Bab selanjutnya Lily-nya kabur

23 Nov

Hueeee, kpn lanjut??

02 Dec

sabar,kak. sabarrr. Orang sabar jidatnya besar. Eh, maksudku, org sabar disayang Allah

02 Dec

Aku selalu cabar. Hanya saja si "Syaitan" ganggu. Ehehe

02 Dec

Eh, bentar. Ini Lily di Malaysia kan? Artinya, ada kemungkinan dia bisa ketemu Ali dan Ayesha... Huahhh, __

03 Dec
Balas

ya. tapi, bukan ayesha apalagi Ali. dia ketemu sm Miss Aya, kak. Tau kan, Miss Aya? Pengawasnya waktu masih di asrma

03 Dec

Yah, kukira ><.. siapa tau mereka (si Lily dan Ayesha) bisa merajut pertemanan.. ^^

03 Dec

Tapi tak apa, ini ceritamu. Aku hanya pembaca :'D

03 Dec

hehe, oke,kak. stop dulu ceritanya. fokus ujian

04 Dec

sedih baca ceritanya

22 Nov
Balas

lanjut lagi kak! akhirnya lily balik lagiiii

22 Nov

Hmmm, insya Allah... Kamu punya email gak, Fatimah?

22 Nov

pake email umiku ya kak, aku belum punya soalnya belum minat punya medsos sendiri hehe maklum masi kecil, [email protected] itu email nya ya kak

23 Nov

SIP

23 Nov

Sebagian bab lily dihapus ya kak?

25 Nov
Balas

yeah, maaf yaaa

25 Nov



search

New Post