Dinding Pandemi
Tidak hanya satu keluh kesah kami mengenai pembelajaran online. Terlalu sering pertanyaan yang kami lontarkan mengenai kapan dimulainya sekolah ofline. Rindu membuncah. Namun dinding pandemi terasa menebal. Kami sadar keadaan mulai tak bersahabat sejak covid memasuki Indonesia. Mulai saat itu sampai detik ini, kami menunggu kepastian mengenai selesainya PJJ, Pembelajaran Jarak Jauh.
Classroom, google from, meet dan zoom tidak pernah membayar lunas hasrat tuk bertemu. Keseruan dalam satu ruang berganti menjadi obrolan membosankan berwadah grup whatsapp. Hampir dua tahun keseharian hanya sebatas mengerjakan tugas, mengumpulkan tugas, dan mengesampingkan pemahaman yang hakiki. Keterbatas gerak akibat pandemi, menurunkan motivasi belajar dan penyerapan materi pembelajaran.
Berawal dari belajar di rumah selama dua minggu, mengulur hampir dua tahun. Akibat covid semakin menggila, seluruh dunia keteteran. Hal tersebut berdampak langsung pada kami, sebagai pelajar. Tidak mudah melewati masa paceklik seperti ini. Perubahan besar terjadi dalam satu peristiwa. Kebisaan-kebiasaan baru menuntut tuk dipatuhi. Isu-isu bersebaran, melambungkan harapan, tetapi tak pernah sampai pada titik kejelasan.
Dapat diperkirakan hanya empat puluh persen dari kami yang mampu bertahan dengan segala prestasi, sedangkan enam puluh persennya meredup. Itu cukup menggambarkan, betapa kami membutuhkan belajar ofline sebagai cara menghidupkan keredupan itu.
Bila boleh melanggar ketentuan, kami ingin memaksa berjumpa seperti biasa. Tapi kami paham betul, virus covid-19 masih merebak. Kami hanya bisa bersabar dan berharap semua akan kembali semula.
Setiap saat kami menatap nanar seragam yang tergantung, sepatu mengusam, dasi, dan topi mengingatkan kami akan upacara bendera. Ramainya kantin, dinginnya udara di pagi hari, keributan saat jam kosong, serta ketegangan ketika ulangan. Kami rindu hal itu. Tetapi melihat kasus covid naik turun, harapan kami turut tak menentu. Dalam diri, masih ada asa, tapi melihat sekitar, membuat kami tak gentar berharap.
Banyak mapel yang sudah kami anggap sulit, jadi bertambah sulit dengan keterbatasan interaksi serta kuota internet. Jika sekolah tatap muka merupakan solusi menaikkan motivasi dan penyerapan materi, maka marilah bekerja sama, agar desas-desus dimulainya pembelajaran ofline berujung serius.
Kondisi akan normal seperti sedia kala, bila seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah bekerja sama memberantasnya. Sudah cukup pandemi memorak-porandakan seluruh aspek kehidupan, masyarakat menderita, dan membuat jenuh para pelajar.
Hancurkan dinding pandemi dengan menjaga imun, ikuti program vaksinasi. Agar terciptanya kekebalan kelompok. Secara otomatis, semangat meningkat, bumi kembali pulih, dan hasrat kami untuk bersekolah ofline terpenuhi. Sehingga kami dapat berseragam, belajar, bercengkrama kembali. Jangan biarkan kenangan kami bersama aplikasi. Bapak-ibu guru, biarkan kami memiliki cerita manis seperti yang dialami para alumni sebelum pandemi. Jangan sampai kelulusan kami berakhir tragis dengan latar belakang wabah penyakit.

Sinta Oktaviani. Gadis kelahiran Jepara, 15 Juni 2003, kini menuntut ilmu di SMA Negeri 2 Banjar. Mendengarkan musik, membaca sambil berjalan, memandang langit, dan mengamati orang-orang di keramaian adalah kesukaannya.
Gadis penikmat keju ini dapat dihubungi melalui beberapa media sosial. Di antaranya melalui email: [email protected] dan whatsapp: 082320670755
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar