Shofiyah Syifa Mujahidah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Murung || MY SMILE AT SCHOOL

Murung

Sekali saja. Cukuplah sekali saja kebakaran itu terjadi. Itu sudah membuat hati Mutiara hancur, pikirannya buntu, dan muka cerianya tidak lagi nampak.

Semua berubah 180 derajat. Mutiara yang dulunya ceria, penyabar, dan mudah melupakan masalah kini menjadi Mutiara yang murung, sensitif, dan susah melupakan masalah.

Bunda berkali-kali membujuknya agar tidak terus-terusan mengurung diri di dalam kamar. Bahkan Mutiara sampai tidak mau makan, tidak mau keluar kamar, dan enggan membersihkan kamar. Lihatlah, kamarnya sekarang sudah seperti kapal pecah. Baju-baju berantakan di lemarinya. Sprei-nya selalu tidak rapi. Bunda bahkan sampai harus membereskan kamar itu di malam hari ketika Mutiara sudah tidur. Itu pun kalau pintunya tidak dikunci.

Setiap kali jam makan, Bunda juga harus mengantarkan makanan ke kamar Mutiara. Ia hanya diam. Makanan itu sama sekali tidak disentuhnya, bahkan sampai jam makan berikutnya. Ia hanya terpaksa makan sedikit ketika bunda memaksanya dan menungguinya sampai mau makan. Itu pun hanya 4-7 suap.

“Kenyang, Bunda,” keluhnya.

Apalagi saat itu, Ayah belum pulang dari luar kota. Kabarnya, Ayah akan pulang 2 minggu lagi. Wah, Bunda semakin pusing menghadapi Mutiara. Kalau Ayah ada di rumah kan, bisa membantu Bunda untuk mengurus Mutiara.

***

“Mutiara, ini aku Nisywa, buka pintunya dong,” kata Nisywa yang berada di depan pintu kamar Mutiara.

Ia sengaja datang ke rumah Mutiara, setelah tadi malam mendengar cerita Mamanya bahwa Bundanya Mutiara menelpon, menceritakan kondisi Mutiara dan meminta Nisywa untuk membujuknya. Nisywa setuju, dan memutuskan siang ini ke rumah Mutiara.

Hening, tidak ada tanggapan dari Mutiara. Nisywa gelisah, meremas-remas tangannya. Bunda berdiri tidak jauh dari kamar Mutiara, memantau. Nisywa melirik Bunda, meminta pendapat.

Bunda mengisyaratkan untuk mengetuk pintu lagi.

Nisywa menghela napas, mengetuk pintu untuk kedua kalinya.

Tidak ada jawaban lagi. Nisywa mengetuknya sekali lagi.

“Mut, buka pintunya dong. Aku mau cerita banyak nih. Atau aku pulang aja?” pancing Nisywa.

“Ya bentar!” terdengar suara Mutiara dari dalam kamar. Suaranya serak, seperti habis menangis.

Nisywa mengacungkan jempol ke arah Bunda. Beres! Bunda menghela napas lega.

Pintu kamar terbuka. Mutiara mengintip, jilbab yang dikenakannya tampak miring. “Umm, boleh aku masuk?” tanya Nisywa sedikit canggung. Mutiara tidak menjawab, ia hanya membuka pintu lebih lebar. Nisywa masuk, Mutiara langsung mengunci pintu kamarnya.

Nisywa duduk di tepi kasur Mutiara. Ia tidak terlalu terkejut dengan kondisi kamar Mutiara yang berantakan, karena kemarin Bunda sudah menceritakannya.

Mutiara menghempaskan dirinya ke kasur. Membelakangi Nisywa. Nisywa berbalik badan, menatap sahabatnya yang selama ini tidak pernah sesedih itu.

Hening beberapa saat. Mutiara tetap tiduran membelakangi Nisywa, tampak dirinya yang sibuk menghapus air mata di pipinya. Nisywa bingung ingin memulai dari mana.

Akhirnya setelah 5 menit saling diam, Nisywa berkata pelan. “Mut, kamu tahu kabar terbaru tentang sekolah—“

“Jangan bicarakan sekolah kita.”

Nisywa menelan ludah. Ia tidak menyangka Mutiara berkata sedingin itu.

“Eh—maksudku.. maksudku… emm..,” Nisywa bingung berkata apa.

Mutiara berbalik badan, menatap Nisywa. Lalu mendengus.

Nisywa semakin gelisah. Ia menghembuskan napas, menenangkan dirinya.

“Mut, kamu tahu nggak, aku rindu sama kamu,” kata Nisywa akhirnya. Ia menatap Mutiara, mereka saling tatap-menatap. “Aku rindu melihatmu ceria. Aku rindu kita bermain sepeda, berangkat sekolah bareng. Kamu tahu, pasal sekolah lama kita—kamu jangan memotong dulu.”

Mutiara langsung menutup mulut.

“Dengarkan aku cerita dulu. Seminggu setelah sekolah kita kebakaran, siaran televisi selalu tentang berita sekolah. Di sana dibahas mengapa bisa muncul api di kawasan sekolah kita. Lalu diadakan sumbangan dana untuk Ibu Kantin dan beberapa guru yang ternyata terluka parah. Ternyata penyebabnya karena gas kantin bocor. Ibu Kantin tidak tahu itu, lalu beliau menghidupkan kompor dan api besar langsung muncul. Untung saja Ibu Kantin masih bisa diselamatkan, namun kaki beliau terkena api, dan harus diamputasi,” Nisywa menelan ludah. Ia paling tidak suka cerita mengerikan seperti itu, namun ia harus memberitahukannya ke Mutiara. Apalagi selama seminggu ini Mutiara tidak melihat berita, pasti tidak tahu kabar terbaru dan yang sebenarnya.

“Ustadzah Mawar, Ustadz Salman, dan Ustadz Darwis juga terluka. Karena sesaat sebelum kejadian, beliau bertiga sedang membeli sarapan di Kantin.”

“Kamu tahu? Kita tidak mungkin sekolah di sekolah lama kita lagi. Api baru bisa dipadamkan pukul 9, dan saat itu gedung sudah habis terbakar. Kamu pasti belum melihat whatsapp, bukan? Aku lihat, kamu dari hari Selasa minggu kemarin belum buka whatsapp. Di grup, teman-teman semuanya sedih. Tapi mereka tidak ada yang sepertimu, sedihnya sampai mengurung diri di kamar,” Nisywa terkikik pelan. “Mereka juga sudah ada yang sekolah di tempat lain. Aku di sekolahkan Papa dan Mama di SD Terampil Islami. Semua teman kita sudah punya sekolah baru sekarang, Mut. Termasuk aku. Kamu kapan?”

Nisywa menatap Mutiara. Lewat tatapannya, Nisywa sangat mengharapkan agar Mutiara tidak terlalu meratap.

Mutiara menatap Nisywa juga, lantas membalikkan badannya membelakangi Nisywa lagi. Nisywa menghela napas. Ia ikut tiduran di samping Mutiara, kepalanya disandarkan di dipan kasur.

“Kasihan Bundamu, Mut. Beliau khawatir dengan kondisimu. Sampai beliau menelfon Mamaku tadi malam, memintaku membujukmu. Kamu nggak kasihan sama Bundamu?” Nisywa bertanya.

Mutiara tidak menjawab.

“Hhh… kamu mengingatkanku Rezky. Aku ingat banget, dulu, di awal-awal kepergian Rezky, sikap aku itu kayak kamu. Murung, sedih, mengurung diri di kamar, nggak semangat sekolah. Tapi untung ada kamu, aku jadi bisa mengikhlaskan kepergia Rezky. Eh, sekarang, malah kamu yang ‘meniru’ aku. Hehehe…”

“Mut! Ihh, aku dicuekin,” ujar Nisywa kesal. Ia menepuk badan Mutiara pelan.

“Nggak seru ah, aku udah capek-capek ke sini buat bicara sama kamu, malah nggak kamu tanggapi. Kalau gitu aku pulang aja ya? Dari pada didiemin di sini,” pancing Nisywa. Ia melirik Mutiara yang sama sekali tidak merespon.

“Oke, aku pulang,” kata Nisywa, bangkit dari posisi tidurannya. “Satu yang kamu harus tahu, Mut. Hargai perasaan Bundamu. Kasihan beliau udah masakin makanan buatmu, tapi nggak kamu sentuh,” Nisywa menunjuk nampan makanan yang masih utuh isinya di meja belajar Mutiara.

Sesudah itu, ia berjalan keluar kamar. Nisywa sengaja memancing Mutiara. Sepertinya cukup bujukannya hari ini. Nisywa bertekad, besok ia akan datang lagi dengan membawa donat paha ayam kesukaan Mutiara, sambil membujuknya lagi agar tidak meratap.

Sementara di kamar Mutiara, ia membalikkan badan begitu mendengar pintunya ditutup. Ia menatap pintu itu, lalu menitikkan air mata lagi.

Aku nggak tahu harus bicara apa, Nisy, lirih Mutiara. Aku seperti orang bodoh, tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

Nisywa berjalan menuju meja makan. Di sana, Bunda sedang makan siang.

“Bagaimana, Nisy?” tanya Bunda begitu melihat Nisywa.

“Dia nggak bilang apa-apa Tante. Nisywa cuma bilang ‘Hargai perasaan Bundamu. Kasihan beliau udah masakin makanan buatmu, tapi nggak kamu sentuh.’ Hehehe…”

Bunda mengangguk. “Eh, kamu udah makan belum? Makan dulu sini, pasti tadi waktu ngebujuk mengeluarkan energi yang banyak. Anak itu keras kepala semenjak sekolahnya kebakaran. Tante aja setiap kali ngebujuk dia, sesudahnya pasti langsung makan sepiring penuh. Hihihi…” Bunda terkikik.

Nisywa menggeleng sopan. “Nisywa makan di rumah aja, Tan.”

“Yahh… makan dulu lah di sini,” bujuk Bunda. Akhirnya Nisywa menyetujuinya. Ia menarik kursi dan mulai melahap makanan bersama bunda. Selama makan, Bunda menceritakan kondisi Mutiara selama seminggu ini dengan versi lebih lengkap.

***

Semenjak saat itu, Nisywa rutin mengunjungi Mutiara dengan membawa makanan-makanan yang disukainya. Mereka bercerita, makan kue bersama, dan menonton bersama di kamar Mutiara.

Mutiara pun perlahan mulai menyadari, sikapnya yang terlalu meratapi.

***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

keren teh, lanjut yaa.. semangat!!

12 Jan
Balas

Okee... makasihh. Semangat juga buat Ruqoyyah ^^

12 Jan

iya kak.. makasih jugaa

13 Jan

Teh, follback ya...

14 Jan

Ceritanya bagus kak! lanjutin yaa

12 Jan
Balas

Terima kasihh... Okey siap! ^^

12 Jan

Eh kakak unfollow aku ya?

12 Jan

Kapan? Ehh, ohh iya kemarin udh di unfollow. Tapi udah difollow lagi kok. Mangat ya...

12 Jan

okee, makasih kak shofiyah

12 Jan

Yep, sama-sama.

12 Jan

Bagus

11 Jan
Balas

Syukron jazakillah ^^

11 Jan



search

New Post