Shofiyah Syifa Mujahidah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Gedung Ilmu Itu Terlahap || MY SMILE AT SCHOOL

Gedung Ilmu Itu Terlahap

Kriingg… bel pergantian jam pembelajaran berbunyi. Ustadz Darwis menutup pelajaran fikih, lalu disusul dengan pelajaran tematik oleh wali kelas masing-masing. Wali kelas di kelas Mutiara bernama ustadzah Mawar. Di pelajaran tematik ini, mereka tidak belajar, hanya membahas dan berdiskusi untuk cooking day yang akan dilaksanakan besok.

“Anak-anak, hari ini kita tidak belajar ya. Kita akan membahas untuk cooking day besok. Nah, semuanya, bereskan buku kalian dan susun mejanya ke tepi kelas. Kita berdiskusi di lantai saja,” ucap ustadzah Mawar.

Semua murid antusias, berteriak senang.

***

“Assalamu’alaikum! Muti pulang!” ucap Mutiara sambil membuka pintu rumah. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu melepas sepatunya.

“Bunda! Bunda di mana?”

“Wa’alaikumussalam, Bunda di dapur, Mut!” sahut bunda.

Mutiara bergegas menuju dapur. Sesampainya di dapur, ia melihat bunda sedang menyiapkan makanan untuk makan malam. Bunda sedang memotong sayur kala itu. Mutiara menuju kamar, lalu mengganti bajunya. Ia sekarang memakai kaus yang tadi pagi ia pakai. Mutiara bergegas menuju dapur, memberikan kabar gembira (menurutnya) kepada bunda. Ia juga membawa secarik kertas kecil.

Mutiara duduk di samping bunda, lalu melipat tangannya di meja.

“Bun, besok kelas Muti ada pelaksanaan cooking day! Rencananya kami bakalan buat nasi goreng hijau lengkap pakai sayur-sayurannya, minumannya es jeruk biji selasih. Hmm, nyummy…!!”

“Muti kebagian tugas bawa bawang-bawangan, cabai hijau, kecap ikan, dan kelengkapan pribadi seperti sendok, piring plastik, dan gelas plastik. Nanti setiap anak juga harus bawa nasi minimal satu kotak bekal nasinya. Oh ya, satu lagi, Muti disuruh bawa mangkuk besar buat naruh nasi gorengnya nanti,” Mutiara menjelaskan.

“Semua bahan yang Muti bilang tadi kita punya enggak?”

“Kamu cari aja sendiri, Bunda masih masak. Bu Wanti pesen ayam geprek buat besok, mendadak, banyak lagi. Jadi kamu siapin sendiri perlengkapannya nggak apa-apa kan?”

"Nggak apa-apa kok Bun, tapi besok sarapannya harus ayam geprek juga ya. Hehe..."

“Iya-iya. Udah sono cepetan beresin semua perlengkapan buat besok!”

“Siap boss!!”

Mutiara mencari bawang-bawangan di kulkas. Ternyata kertas kecil yang dibawa Mutiara tadi berisi catatan benda yang harus dibawanya. Berikut isi daftar benda untuk cooking day besok.

-40 siung bawang putih

-12 cabai rawit hijau

-Kecap ikan

-Piring plastik

-Kotak bekal (untuk nasi)

-Sendok

-Mangkuk besar

-Gelas plastik/botol minum

***

Paginya, Mutiara bangun dari pukul 4 subuh. Ternyata Bunda sudah bangun juga dan sedang menonton televisi di ruang keluarga yang berada di depan kamar Mutiara.

“Pagi Bunda,” sapa Mutiara sambil menguap. Ia sebenarnya masih mengantuk, tapi pagi ini dia harus mengecek semua perlengkapan untuk cooking day hari ini.

Bunda terlihat kaget, menoleh ke samping. “Huh, bikin kaget Bunda aja. Pagi, tumben kamu bangun awal.”

Mutiara berjalan terhuyung-huyung karena menahan kantuk yang amat teramat. Ia mendekati bunda, tiduran di sofa yang berada di samping sofa yang bunda duduki.

“Iya, Muti mau ngecek perlengkapan hari ini. Hoamm,” Mutiara menguap lagi.

“Ya udah cuci muka dulu sana, atau mandi dulu sekalian, biar seger.” Mutiara hanya mengangguk.

Ia berjalan menuju kamar mandi, mengambil handuk dari jemuran handuk yang terletak di samping kamar mandi, lalu bergegas mandi.

Supaya tidak kaget dengan air yang lumayan dingin itu, ia berwudhu dahulu, lalu memercikkan air ke badannya. “Hii, dinginnn,” ujarnya.

Sesudah mandi, karena merasa lebih semangat, Mutiara membereskan dan mengecek perlengkapannya dengan hati riang. Ia membayangkan betapa serunya memasak bersama teman sekelasnya. Juga menikmati masakan yang mereka buat sendiri. Hmm, amboi, pasti lezat.

Dan saat itu, Mutiara sama sekali tidak menyangka sesuatu akan terjadi. Sesuatu yang amat ia benci dalam hidupnya.

Mutiara melihat jam dinding. Masih pukul 6.55. Karena masih punya banyak waktu sebelum berangkat ke sekolah, Mutiara memutuskan untuk sarapan. Menu sarapan kali ini nasi putih, ayam geprek, susu, selada, timun, dan sambal terasi. Hmm, nyummy!

Mutiara melahap sarapannya dengan semangat.

***

Seperti biasa, Mutiara berangkat ke sekolah dengan menaiki sepeda. Ia berangkat lebih awal dari biasanya, pukul 6.15. Seragam hari selasa SDIT Malang Pagi adalah seragam berwarna putih berjas biru muda.

Seragam itu adalah seragam kesukaan Mutiara. Biasanya ketika memakai seragam itu, Mutiara terlihat senang dan sangat bersemangat. Namun entah kenapa, semenjak dari rumah tadi ia merasakan suatu firasat aneh. Ia merasa seperti ada yang mengikutinya dari belakang, lalu muncul pikiran yang berhubungan dengan sekolahnya.

Srek…

Mutiara menoleh ke belakang. Tidak ada siapa pun di sana. Ia menelan ludah, mengayuh sepedanya lebih kencang.

Mutiara tidak berpapasan dengan Nisywa ketika melewati perempatan. Ia maklum, karena ini masih terlalu pagi. Tapi ia merasa takut, karena tidak ada yang menemaninya ke sekolah, apalagi dengan pikiran buruk yang terus menghantuinya. Mutiara meneruskan perjalanan sambil membaca ayat kursi.

***

Mutiara sampai di sekolah. Sekolahnya itu penuh dengan orang-orang warga sekitar. Ada banyak ember, air-air memenuhi ember, namun tetap tidak bisa menghilangkan sang Jago Merah. Mutiara tidak ingin lagi melihat kobaran api yang terus melahap gedung ilmunya itu. Asap-asap berkeliaran di pekarangan sekolah.

Mutiara berteriak, menangis sekencang-kencangnya. Ia tidak ingin gedung ilmunya kesakitan, terbakar oleh api. Muka putihnya digantikan oleh warna merah. Hidungnya lebih memerah dari mukanya. Pipinya menjadi korban pecahnya bedungan air matanya. Mutiara menggeleng-gelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang terjadi di hadapannya.

Semua murid yang sudah datang digiring menjauhi gedung sekolah. Warga-warga berteriak, bapak-bapak dengan gesit terus menyiramkan air ke gedung sekolah. Beberapa murid terkejut melihat sekolahnya yang habis terbakar. Ada sebagian yang menangis, sebagian menatap kosong, memeluk orangtuanya, dan sebagian lagi menggelengkan kepalanya.

Lamat-lamat, Mutiara mendengar percakapan orangtua murid dengan seorang warga yang tinggal di daerah tempat sekolahnya.

“Tadi pukul 6 tepat, ketika saya mau menjemur pakaian, saya tidak sengaja melihat asap hitam pekat dari sekolah ini. Awalnya saya cuek saja, kemungkinan itu cuma asap bakar sampah. Tapi beberapa menit kemudian, saya mencium aroma tidak enak. Lalu saya dan suami bergegas menuju asap ini berada, dan ternyata gedung sekolah ini terbakar.”

“Katanya sih ketika PLN benerin tiang listrik, lalu tiba-tiba muncul api yang langsung menjalar ke sekolah.”

“Gas di kantin sekolah meledak. Bu Kantin terluka parah, sedang dilarikan ke rumah sakit. Guru-guru juga banyak yang terluka.”

Dan berbagai percakapan lainnya. Mutiara langsung menulikan telinga, enggan mendengar cerita-cerita mengerikan itu.

Ia masih menangis. Cita-cita lamanya telah pudar. Lulus dari sekolah ini dengan nilai terbaik. Kalau gedungnya sudah habis terbakar, apa yang mau diharapkan agar cita-citanya tercapai? Menunggu gedung ini dibangun ulang? Itu kan membutuhkan waktu yang lama…

Tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya pelan. Mutiara menoleh.

Nisywa.

Ia terlihat sedang berusaha menghapus air matanya. Namun, air mata itu tidak bisa dihentikan. Nisywa menghentikan gerakan tangannya, menatap Mutiara sambil tersenyum. Senyuman yang dipaksakan.

“Mutiara…” ujar Nisywa. Suaranya serak. “Sabar ya,” lanjutnya. Air matanya semakin deras mengalir, membuat Nisywa harus berkali-kali mengusap wajahnya menggunakan jilbab birunya.

Mutiara menggeleng. Sabar? Sabar melihat kondisi sekolah yang terbakar? Mutiara semakin menangis. Mereka berdua berpelukan, pelukan saling menguatkan. Beberapa warga yang melihat kedua gadis kecil itu lantas ikut-ikutan menyeka air matanya. Terharu. Sedih.

Ngungg… ngungg… wiuungg… wiuungg…

Terdengar suara sirine mobil pemadam kebakaran. Pak satpam menyuruh orang-orang segera menepi, memberikan jalan untuk mobil pemadam kebakaran. Mutiara melepas pelukannya, menuntun sepedanya menepi hingga menyentuh pagar rumah warga. Nisywa pun memarkirkan sepedanya di dekat sepeda Mutiara.

Sekolah kebanggaan Mutiara, kini hanya tinggal nama.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Huhuhu.. Sedih bgt, sampai aku mau gementeran pas bacanyaaa.. Tapi pokoknya keren banget! Lanjut teh!

21 Dec
Balas

Setiap ceritanya teteh pasti bagus. Dapet ide dari mana sih, teh?

21 Dec

Hehehe makasih.. alhamdulillah kalau pada suka. Dapat ide dari mana? Hmm, entah ya, sebenarnya kepengen buat cerita ini dari duluu banget. Pas masih tahun 2020. Lupa sih, dari mana dapat ide ini. Yg pasti, kalau mau dapat ide, dapat inspirasi, sering2 aja baca buku.

21 Dec

Iya teh. Ohhh.. kalau aku baru pengen buat cerita pas baru gabung disini. Ok ok

21 Dec



search

New Post