Shofiyah Syifa Mujahidah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
CERPEN IV: Pahlawan Bumi

CERPEN IV: Pahlawan Bumi

Pahlawan Bumi

Oleh: Shofiyah Syifa Mujahidah

Aku, dik Faleeha, dan kedua orangtuaku sedang dalam perjalanan menuju ke kolam renang. Sudah lama kami tidak berenang, semenjak covid ini. Dulu, aku terus membujuk ayah dan bunda agar diperbolehkan berenang. Akhirnya, setelah sekian lama aku membujuk, ternyata diperbolehkan juga.

“Yah, berapa jauh lagi?” tanya dik Faleeha yang sudah mulai bosan.

“Sebentar lagi kita nyampe, Adik Sayang,” jawab ayah. Ayah melirik dik Faleeha yang duduk di sampingku.

Tampaknya, dik Faleeha juga sudah rindu untuk menceburkan diri ke dalam kolam renang, berkenalan dengan teman baru, dan menaiki wahana di kolam renang. Aku juga rindu itu. Entah sudah berapa bulan aku tidak dapat menikmati air kolam yang dingin ketika menyentuh kulitku.

“Kita sudah sampai!” ayah berseru ketika kami baru saja melewati plang kolam renang.

Seperti yang sudah kuduga, dik Faleeha melonjak-lonjak bahagia, lalu cepat-sepat menyandang tas renselnya. Aku pun tak mau kalah. Aku mengambil tasku, memakai kacamata renangku, dan tidak lupa membawa tas snack yang dibawa dari rumah.

Aku membuka jendela mobil. Hmm, dari sini, sudah tercium aroma kaporit kolam renang dan sorak-sorai pengunjungnya. Aku semakin tak sabar untuk segera menceburkan diri ke kolam renang.

“Nah, ayo turun!” ucap ayah. Dengan tergesa-gesa, kami segera turun dari mobil.

“Bundaa, ayo, beli tiketnya!” rengek dik Faleeha sambil menarik-narik ujung baju bunda.

Bunda menggeleng-gelengkan kepala. “Ya Allah Dik, sabar dikit dong, Bunda baru turun nih. Tas baju Ayah juga masih di dalam,” ujar bunda.

Ayah datang dari balik mobil ke arah bunda. “Sudah Bun, biar Ayah yang bawa barang-barangnya. Bunda beli tiket duluan gih sana.”

“Hmm, okelah,” sahut bunda.

“Yee …” sorak dik Faleeha. Lalu, dik Faleeha menarik-narik ujung bajuku.

“Ayo, Bang Ubay, kita berenang!” katanya. Aku mengangguk dan kami pun mengikuti bunda ke tempat kasir.

“Berapa orang, Bu?” tanya mbak kasir itu.

“Satu dewasa dua anak-anak,” jawab bunda.

“Oke, silakan masuk,” kata mbak kasir.

Mbak kasir itu pun membukakan pagar pendek yang tadinya menghalangi jalan kami. Dann aku pun semakin tak sabar untuk segera berenang!

“Kita di situ, yuk!” kata bunda sambil menunjuk kesalah satu gazebo yang berbentuk jamur.

“Okee!” sahut aku dan dik Faleeha bersamaan.

Kami pun segera meletakkan barang-barang kami, lalu meminum air putih secukupnya. Setelah melakukan pemanasan singkat, tanpa babibu, kami langsung menyebur. Aku memilih berenang ke tempat dalam. Sedangkan dik Faleeha bersama bunda di tempat dangkal.

Sebelum itu, bunda harus menunggu ayah datang agar bisa menjaga barang-barang mereka. Oleh karena itu, dik Faleeha hanya bermain di sekitar gazebo sembari menunggu bunda agar tidak hilang.

***

Lama kelamaan, aku bosan bermain di tempat dalam. Aku mencoba mendekati bunda dan dik Faleeha. Tentu aku tahu di mana mereka, sebab aku yakin, dik Faleeha tidak berani jauh-jauh berenang dari sekitar gazebo kami.

“Bun, itu Bang Ubay!” seru dik Faleeha. “Bang, sini yok, main sama Adik,” lanjutnya.

“Ya, Dik. Eh, Bun, di mana Ayah?” tanyaku karena tidak menemui ayah di tempat gazebo kami.

“Ayah ke kamar mandi buat ganti baju. Gantian sama Bunda buat nemenin dik Faleeha berenang,” jelas bunda. Aku mengangguk-angguk.

Sambil menunggu ayah, bunda menjaga gazebo, dan aku menemani dik Faleeha berenang.

“Nah, itu Ayah,” kata bunda. “Dik, kamu berenangnya sama Ayah, ya!”

Dik Faleeha mengangguk. Tiba-tiba, ada angin kencang datang. Dik Faleeha memeluk erat pingggangku.

“Ahh, gapapa kok Dik, itu cuma angin biasa, gak membahayakan kok,” ujar ayah menenangkan dik Faleeha.

“Iya Dik. Eh, lihat. Banyak daun-daun dari pohon itu yang berguguran. Kita ambil, yuk!” ajakku. Dik Faleeha lantas tersenyum dan mengangguk.

Kami pun mengambil dedaunan yang jatuh ke kolam renang dan menaruhnya di pinggr kolam.

“Taruh di sini, Bang, Yah,” kata dik Faleeha sembari menyodorkan sebuah plastik.

“Sipp.”

Ketika sedang asyik memunguti daun-daun yang berjatuhan, dik Faleeha tiba-tiba berkata. “Aha! Kita seperti pahlawan Bumi ya, Yah. Kita menyelamatkan bumi dari sampah-sampah. Yaa, walau kita cuma mengutip dedaunan yang berjatuhan ini, tapi kita tetap seperti pahlawan bumi yang hebat! Kita memang harus menjaga kebersihan, ‘kan? Supaya Bumi tetap sehat.”

Aku ternganga mendengarnya. Apalagi ayah. Bagaimana tidak? Seorang anak perempuan yang baru berusia kurang dari 7 tahun sudah mengerti pentingnya menjaga kebersihan. Lalu, ayah tersenyum sambil mencipratkan air ke wajah dik Faleeha.

“Anak Ayah pintar. Iya juga ya, pokoknya, setiap kita habis pulang dari kolam renang, kita harus mengutip sampah-sampah yang kita temui. Kita harus menjaga Bumi agar tetap bersih. Setuju?” ujar ayah.

“Setuju!!”

Dan semenjak saat itu, kami pun selalu membawa oleh-oleh sampah ketika sepulang dari kolam renang. Kami berharap, semua orang akan sadar bahwa menjaga kebersihan itu sangat penting. Oh ya, kami sekeluarga juga punya motto, yaitu, “Dimulai dari diri kita, keluarga kita, tetangga kita, lalu orang-orang yang kita kenal sampai orang-orang yang tidak kita kenal.”

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post