Rachel Belva A.

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Dua Sisi

Dua Sisi

Oleh Rachel Belva Antyestivalda

SMA Al Muslim XI IPA 2

Malam itu, pertama kalinya aku menyaksikan pemandangan yang membuat ruangan ini dipenuhi dengan rasa hampa. Isak tangis yang ikut membaur membuatku terdiam hanya bisa menundukan kepala, mempersilahkan alam yang ikut serta membawa suasana dingin yang menyeruak.

Malam ini, bu Tini guru yang dikenal dengan tegasnya, sikapnya yang sangat disiplin, sekarang hanya bisa pasrah dengan keadaan. Kehilangan sosok satu-satunya keluarga yang sangat berharga membuatnya kehilangan tujuan dari harapan dan usahanya.

Terlihat secarik kertas yang di genggamannya bertuliskan, "Untukku mama itu sosok mama yang paling hebat, untuk yang lain mama merupakan sosok guru yang hebat." Begitulah akhir dimana semuanya hanya terlihat dari satu sisinya saja.

Dimana rasa bersalah paling nyata terletak pada setiap mata yang memandang, sekarang kembali dimana semuanya hanya terlihat pada satu sisi saja.

Pagi itu seperti biasa, kelas sangat ricuh karena lagi dan lagi bu Tini selaku wali kelas kemungkinan datang terlambat. Karena sedari tadi suasana kelas tampak sangat ramai, aku lebih memilih membungkam diri dengan earphone yang sudah siap di telinga.

Selang beberapa menit, suasana kelas menjadi sunyi. Aku yang kemudian melepas earphone mendengar suara langkah kaki yang menuju ke arah kelas disusul dengan suara pintu terbuka terdengar sangat nyaring di kelas.

"Assalamu'alaikum anak-anak, maaf ibu telat lagi," sapa bu Tini dengan nafas yang tidak beraturan. Ia kemudian berjalan ke arah tempat duduknya lalu duduk dengan merapihkan bajunya yang sedikit kusut.

Akhir-akhir ini entah kenapa bu Tini jadi sering sekali telat, padahal sebelumnya bu Tini sangat disiplin soal waktu. Seisi sekolah bahkan Bertanya-tanya kenapa akhir-akhir ini bu Tini sangat berbeda, apa mungkin ada keperluan khusus atau semacamnya? Tidak ada yang tahu.

"Bu, kali ini free class kan bu? Jangan tugas terus dong bu panas otak saya." Ujar salah satu temanku, dia Farid.

Mendengar perkataan Farid sontak membuat bu Tini menatap tajam ke semua murid sambil berkata, "Apa tugas yang minggu lalu sudah beres?"

Pertanyaan itu spontan membuat seisi kelas hening, pasalnya tugas yang dikasih bu Tini kemarin sangat susah dan mungkin hanya sebagian orang saja yang mengerjakan karena soalnya pun sangat banyak.

"Ibu rasa pasti banyak yang belum mengerjakan, ibu bilang juga apa kalo ada tugas itu langsung dikerjakan, kemarin pas ibu tanya tentang materi yang ibu kasih apa sudah mengerti atau belum kalian jawab sudah ngerti," kata bu Tini yang lagi lagi membuat seisi kelas termenung.

"Gimana kalian bisa naik kelas kalau kalian saja tidak disiplin dalam mengerjakan tugas?" tambah bu Tini.

Davi, teman sekelasku langsung membalas perkataan bu Tini yang menurutku itu akan memperkeruh suasana, ia berkata. "Ibu aja ga disiplin, ibu ini contoh buat kita."

Perkataan dari Davi membuat bu Tini terdiam sebentar, tatapannya terlihat pilu mengisyaratkan ia tidak mampu membantah perkataan Davi. Aku yang melihatnya pun merasa tidak enak, karena tugasku sebagai ketua kelas untuk mengontrol teman-temanku akhirnya aku mengangkat tangan untuk menjelaskan terkait tugas yang kemarin.

"Bu, maaf sebelumnya terkait tugas yang kemarin ada beberapa soal yang juga ga ada jawabannya bu di pilihan gandanya dan ada soal yang perhitungannya rumit menurut saya soalnya ibu kan menjelaskan caranya hanya beberapa saja dan belum sepenuhnya clear terkait materi itu." Jelasku panjang lebar yang langsung diberi sahutan oleh bu Tini dengan tenang, suasananya juga jadi terkontrol kembali.

"Untuk soal yang seperti itu dibiarkan saja ya, nanti juga akan kita bahas sama-sama dan untuk yang belum mengerjakan tugas akan dapat hukuman, mendengarnya, seisi kelas hanya bisa pasrah. "Hukumannya, bantu pak Tarno piket hari ini karena tadi malam hujan, lantai koridor bawah jadi kotor." lanjut bu Tini.

"Iya bu..." Jawab seisi kelas dengan serempak.

Kemudian semuanya bergegas menyelesaikan apa yang dikatakan bu Tini tadi, ada yang membantu pak Tarno di bawah, ada juga yang mengumpulkan tugas nya.

Tak terasa, hari Senin berlalu dengan cepat. Tibalah bel terakhir yang menandakan bahwa seluruh kegiatan di kelas sudah selesai, semua murid langsung berhamburan keluar dari kelas untuk pulang. Berbeda denganku, aku yang keluar kelas untuk memberikan buku absensi ke bu Tini di kantor guru, seperti biasa aku minta Tania untuk menemaniku ke kantor guru.

Sesampainya di kantor guru aku melihat suasana di dalam sebelum nantinya mengetuk pintu, aku sedikit terkejut melihat bu Tini yang menundukan kepalanya di hadapannya ada bu Ciani selalu kepala sekolah di sekolahku. Sepertinya suasananya akan cukup canggung kalau aku masuk kesana, tetapi kalu buku absensi ini tidak dikasih sekarang akan ada banyak pertanyaan dari bu Tini besok kepadaku.

"Tan, gimana ya ga enak nih kalo gue ngasih buku absen sekarang coba liat suasana kelas gimana"

Tania yang mendengar perkataanku langsung mengintip dari jendela juga, kemudian ia kembali menatapku dengan tatapan meyakinkan.

"Udah gapapa, masuk langsung taruh buku absen di meja bu Tini habis itu langsung keluar gue tungguin lo disini lo masuk cepet" ujar Tania, aku mengangguk mengerti.

"Cepetan ya Riana, gue udah dijemput mama gue soalnya," tambah Tania.

Dengan hati-hati, aku mengetuk pintu lalu membukanya dengan pelan tidak lupa dengan kata permisi.

Seluruh guru di ruangan spontan menoleh ke arahku, begitu juga dengan bu Tini dan bu Ciani. Dengan sigap aku bergegas ke meja bu Tini lalu menaruh buku absensi di mejanya.

"Maaf bu saya mau mengembalikan buku absennya, saya permisi dulu bu terima kasih."

Aku berlalu keluar dari kantor guru karena suasana di dalam pun tidak bersahabat, rasanya benar-benar dingin. Selepas itu aku langsung bergegas memesan gojek dan menyuruh Tania untuk duluan pulang.

Rasanya hari ini benar-benar sangat berbeda dengan sebelumnya, kejadian-kejadian hari ini pun sama sekali tidak terduga. Pertama kalinya bu Tini terlihat marah tadi di kelas, dan aku harap kejadian itu tidak terulang lagi.

Keesokan harinya, seperti biasa aku bergegas ke sekolah, kembali menjalani aktifkan seperti biasa di kelas yaitu belajar.

Suasana kelas tampak seperti biasanya, dimulai dengan ricuh sampai datanglah kakak kelas yang membuat seisi kelas terdiam sebentar. Kakak kelas itu melangkah ke depan kelas lalu mengambil kertas di dalam sakunya, ia kemudian merapihkan kertas itu yang tadinya dia lipat.

"Ehem, Assalamu'alaikum Warohmatulohi Wabarakatuh, disini saya ingin menyampaikan dan meminta doa sebanyak-banyaknya untuk anak dari wali kelas kalian bu Tini yang kini sudah mengidap kanker stadium akhir..." Sontak perkataan kakak kelas itu membuat seisi kelas menatapnya kaget dan diserbu dengan pikirannya masing-masing tentang sikap bu Tini akhir-akhir ini.

"Minta doanya ya, oh iya kakak juga mohon dengan sangat untuk perwakilan dari kalian menjenguk anak bu Tini nanti selepas pulang sekolah, untuk kesehatan anak bu Tini mari kita berdoa, berdoa dimulai."

Seisi kelas tampak sangat khusyuk berdoa mengharapkan semoga anak bu Tini diberikan kesembuhan dan bu Tini diberikan ketabahan hati karena bu Tini hanya tinggal berdua dengan anaknya saja, dan pasti bu Tini sangat kesusahan untuk membagi waktu.

"Terima kasih ya atas doanya, kakak pamit dulu Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Selepas kakak kelas pergi, aku langsung mendiskusikan dengan anak-anak di kelas, siapa saja yang ikut menjenguk nanti. Karena aku selaku ketua kelas, aku juga harus ikut untuk mengontrol teman-temanku agar tidak terjadi kegaduhan disana, karena di rumah sakit cuma boleh beberapa orang saja yang menjenguk akhirnya aku memutuskan untuk memilih Tania, Davi dan Farid karena rumah mereka yang juga dekat denganku. Nantinya kita akan pergi setelah maghrib karena sore nanti akan ada tambahan bimbel di sekolah untuk hari ini.

Tak terasa, bimbel hari ini sudah selesai dan saatnya untuk pulang ke rumah masing-masing. Aku menyuruh Tania, Davi dan Farid untuk menunggu dulu, mendiskusikan kembali untuk nanti.

"Ini kan bendahara kelas tadi ngasih uang buat jenguk nanti, enaknya bu Tini dibeliin apa?" tanyaku.

"Beliin aja buah-buahan sini deh nanti biar gua yang beliin soalnya rumah gua kan deket toko buah nanti lo pada tinggal tunggu di depan komplek gua terus berangkat bareng," jawab Davi yang langsung diberikan anggukan oleh kami bertiga.

"Oke ya, ini jadinya habis maghrib kan? ga langsung habis ini," ucap Tania.

"Nanti habis maghrib aja, laper gua belum makan belum mandi juga," sahut Farid.

_ _ _

Di rumah, aku bersiap untuk ke rumah Davi karena waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam tepat aku langsung bergegas ke rumah Davi menggunakan motor.

Selepas sampai disana, terlihat semuanya sudah kumpul di depan komplek dan disusul kedatangan Davi yang membawa buah-buahan segar yang sudah dibungkus dengan sedemikian rupa.

"Nih udah siap, gas kesana langsung biar ga kemaleman," ucap Davi.

Kemudian kami berempat langsung bergegas ke rumah sakit Anggrek yang tadi sudah diberi tahu sebelumnya oleh kepala sekolah. Selang beberapa menit akhirnya kita berempat pun sampai. Aku membuka kembali pesan yang menunjukan ruangan anak bu Tini di rawat.

"Kamar Markisa nomor 26, berarti lantai dua ya langsung kesana yuk," ajak ku yang kemudian diberi anggukan oleh mereka bertiga.

Kami langsung bergegas kesana dan tak lupa izin dengan penjaga rumah sakit, izin menjenguk. Sesampainya di depan kamar bu Tini, aku langsung mengetuk pelan pintunya. Kemudian pintu itu terbuka, memperlihatkan sosok bu Tini yang berdiri tegap dengan tatapan tegasnya.

"Kesini buat jenguk anak saya?" tanyanya.

"I - iya bu, maaf bu mengganggu waktunya," jawab Tania.

"Silahkan masuk tapi jaga sikap kalian jangan berisik," bu Tini mempersilahkan kami untuk masuk dengan syarat jangan berisik. Kami berempat bergegas untuk masuk dengan pelan.

Terlihat disana anak bu Tini yang terkulai lemah, matanya menutup sepertinya sedang istirahat. Tubuhnya pun kurus ditambah kulitnya yang pucat. Bu Tini mempersilahkan kami untuk duduk seadanya di kursi, namun karena kursinya tidak cukup dan tidak sopan kalau membiarkan bu Tini berdiri akhirnya kami memutuskan untuk tetap berdiri.

"Kita berdiri aja bu, gapapa ibu duduk aja pasti capek kan bu?" tanyaku.

"Sudah gapapa kalau kalian mau duduk," jawab bu Tini.

"Gapapa bu ga usah kami berdiri aja," ujar Tania yang langsung diberi anggukan oleh bu Tini, akhirnya bu Tini duduk lalu membenarkan posisinya.

"Jadi ibu minta maaf sebelumnya kalau ibu sering terlambat dan kadang nggak masuk juga, karena jujur nak ibu bingung sama keadaan ibu sekarang. Ibu hampir susah bagi waktu karena kondisi anak ibu juga kritis kadang dari pihak rumah sakit menelpon ibu saat ibu mau berangkat ke sekolah untuk Ara menjalankan kemoterapi makanya ibu telat, ditambah lagi Ara keluarga ibu satu-satunya, ibu udah ga punya siapa-siapa lagi selain Ara," Ucap bu Tini panjang, kami semua hanya menunduk mendengarkan karena baru kali ini bu Tini mengungkapkan semua perasaannya tanpa kami minta, rupanya apa yang bu Tini alami selama ini tidaklah mudah. Menjadi guru sekaligus seorang ibu dan keluarga satu-satunya untuk anaknya.

"Ibu yang sabar ya insya Allah, Allah pun sudah memberikan skenario terbaik untuk ini, saya yakin anak ibu juga lagi berjuang ngelawan penyakitnya," ucapku menenangkan.

"Bu, maaf ya untuk kemarin saya ga sopan," Ucap Davi. Bu Tini membalasnya dengan anggukan dan senyum tipis.

"Ara ini udah jalanin kemoterapi berkali-kali tapi tetep saja hasilnya masih sama, biayanya pun sangat mahal untuk beberapa kali kemoterapi ditambah pekerjaan ibu hanya sebagai guru yang gajinya pun tidak seberapa dengan biaya operasinya tapi sebisa mungkin ibu lakukan yang terbaik untuk Ara."

Terlihat sorot mata bu Tini yang sendu saat menatap putrinya di ranjang, aku yang menatapnya pun terenyuh bukan hanya aku yang lainnya pun ikut tersihir dengan suasana saat ini. Bu Tini kembali bercakap-cakap tentang kondisi putrinya dan kami hanya bisa terdiam kemudian menenangkan bu Tini.

Sampai, suara gaduh dari ranjang putrinya menghentikan omongan bu Tini, tampaknya Ara terlihat sangat kesakitan. Dengan cepat bu Tini bangkit dan berlari menuju Ara lalu menggenggam tangan Ara.

"Ada apa nak?"

Ara hanya bisa menggeleng meringis kesakitan, terlihat dari raut wajahnya yang pucat dan cekung Ara mengisyaratkan untuk segera memanggil dokter, aku yang mengetahuinya langsung bergegas keluar mencari dokter.

Saat kembali bersama dengan dokter, terlihat kondisi Ara semakin kritis, dokter dan suster yang datang pun langsung menangani Ara dan menyuruh aku, Tania, Farid, Davi dan bu Tini untuk keluar.

Bu Tini beberapa kali mengucap doa dan tangannya yang gemetar pun sempat berdzikir, matanya masih kuat menahan agar tidak nangis karena dari sorot matanya terlihat sudah berkaca-kaca. Aku dan yang lainnya sebisa mungkin menenangkan bu Tini berharap Allah segera mungkin memberikan jalan keluarnya.

Suara pintu kemudian kembali terbuka, memperlihatkan seorang dokter yang rautnya mengisyaratkan maaf. Melihat raut wajah dokter bu Tini langsung berlari ke dalam dan menemukan anaknya sudah tidak lagi terlihat kesakitan. Suster yang disana terlihat satu persatu mencopot infusnya dan kemudian menutup seluruh tubuh Ara. Bu Tina spontan membuka kembali lalu menyuruh suster untuk menunggunya sebentar.

"Sebentar saja..." lirih bu Tini, kemudian ia mengecup kening Ara dengan sangat lama sampai akhirnya ia mengikhlaskan kepergian Ara. Suster memberikan secarik kertas untuk bu Tini katanya dari Ara. Di depannya ada tulisan, "Untukku mama itu sosok mama yang paling hebat, untuk yang lain mama merupakan sosok guru yang hebat."

Ya, memang benar bu Tini merupakan sosok mama untuk Ara dan guru untuk kita, bu Tini yang satu sisinya dikenal sebagai guru yang disiplin dan tegas di satu sisi lainnya dikenal sebagai sosok mama yang lembut, penyayang, bekerja keras untuk Ara. Menilai ataupun memandang bu Tini hanya dalam satu sisi saja hanya membuat kita terperangkap dalam satu titik dimana saat satu sisinya itu mendapat kesalahan maka sisi kebaikannya akan terlupakan. Dimana ilmu yang selama ini bu Tini ajarkan sangat bermanfaat, di samping sisi tegasnya juga bu Tini mempunyai sisi yang lembut. Sisi tegasnya agar kita bisa mengerti bahwa ketegasan dari bu Tini artinya karena bu Tini sayang dan agar muridnya tidak lembek dan juga bersikap tegas dalam menghadapi urusan apapun. Disini kita belajar bahwa kalau ingin menilai seseorang harusnya dilihat dari banyak sisi, dan memikirkan dulu sebelum berkata.

PROFIL PENULIS

Ciao para readers!

Nama saya Rachel Belva Antyestivalda kerap dipanggil Abel atau Rachel. Lahir di Bekasi tepatnya pada 13 Oktober 2004. Saya merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Hobi saya main game, nulis sajak, membaca wattpad. Saya termasuk kaum rebahan karena ya rebahan itu enak aja.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post