Qanita Afia Sajidah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Bagian Satu: Pertanyaan-pertanyaan

BAGIAN SATU

PERTANYAAN-PERTANYAAN

Malam menyambut, menampakkan rembulan cantik dengan sinar lembut menyinari sebagian permukaan Bumi. Angin malam berhembus menenangkan ditambah dengan kegiatan hewan nokturnal. Malam ini malam yang cukup damai. Namun, tidak berlaku bagi Raveena Meghana yang tengah tertidur di kamarnya. Sedari tadi keningnya mengerut, membolak-balikkan posisi tidurnya demi menenangkan dirinya yang gelisah tanpa alasan. Terkadang menggerutu samar atas perasaan mengganjal itu.

Akhirnya, Raveena mendudukkan tubuhnya ketika terbangun dari tidurnya. Tangannya meraih jam digital yang ia letakkan di atas nakas, mengamati dengan jelas dari gelapnya kamar, benda berbentuk persegi panjang itu menunjukkan pukul 23.00 malam. Helaan napas keluar dari mulut Raveena, lagi-lagi ia terbangun tanpa alasan yang jelas di malam hari. Ia menempatkan telapak tangannya ke dadanya, merasakan detak jantung yang normal dari sana.

Tidak ada masalah pada dirinya, hanya saja ada yang mengganjal, entah dari mana. Mungkin hanya perasaanku saja, batinnya. Kemudian kembali merebahkan tubuh di atas kasur, menutup keduanya erat-erat hingga keningnya ikut mengerut.

Menunggu sekian lama untuk mendapatkan ketenangnya, namun tak kunjung datang. Lagi, helaan napas keluar dari mulutnya untuk kedua kalinya. Kini, ia memutuskan untuk duduk di pinggir kasur sambil menatap kedua kakinya yang ia ayunkan pelan. Dalam dirinya, ada yang ingin ia selesaikan walau ia tidak tahu yang ia ingin selesaikan.

“Apa yang sebenarnya aku ingin cari?” Bisik Raveena pada dirinya.

“Apa yang sebenarnya aku ingin jawab?”

Gumaman itu terputar dalam pikiran Raveena pada malam hari. Sampai akhirnya ia menemukan apa yang ingin ia jawab, apa jati dirinya?

Raveena berjalan menuju meja belajarnya, menyalakan lampu tidur yang kemudian ia turunkan intesitas cahayanya agar tidak mengundang perhatian ibunya. Tangannya memilah buku yang ingin ia ambil dan buka, pergerakkannya terhenti saat melihat buku dengan sampul cokelat.

Buku catatan miliknya.

Dibukanya perlahan-lahan sembari mengamati satu per satu halaman yang sudah terisi oleh tulisan. Tulisan yang pernah ia tulis saat merasa hampa. Raveena meraih pena dari tempat pensilnya, kemudian menorehkan kata per kata dengan hati-hati serta mengamati kerapian dari tulisannya.

Apa jati diriku ini?

Apa arti dari eksistensiku?

Dimana tempatku berada?

Begitu kira-kira yang ia tuliskan di atas kertas berukuran A5. Pertanyaan-pertanyaan remeh yang ia tuliskan adalah hal yang terus mengusik pikirannya. Hal yang mungkin sering dipertanyakan oleh remaja yang memasuki masa pubernya. “Bagaimana aku menjawabnya?” Raveena bertanya pada dirinya sendiri.

***

Pagi, pukul 08.00

Malam berganti pagi, Mentari menggantikan takhta Rembulan. Selama ini yang terpikir dalam pikiran Raveena hanyalah ke-empat hal tersebut, berputar seperti kaset rusak, mengusik ketenangannya kala bersantai. Remaja perempuan itu tergolong dalam orang yang biasa-biasa saja, bahkan tampak seperti orang tanpa bakat.

Hari ini, hari Sabtu, waktu untuk masuk sekolah sudah dekat, sebab minggu ini adalah minggu terakhir libur tahun ajaran baru. Yang artinya, Raveena akan masuk SMA setelah libur ini berakhir. Keseharian baru dan kemampuan adaptasi akan menyapa dalam semester pertama di SMA yang ia daftarkan. Raveena, ia sedang duduk berhadapan dengan kanvas kosong, menatap kosong benda tersebut sambil menompang dagunya. Keseharian membosankan ini terus ia jalani, hidup tanpa alur yang menarik.

“Sudahlah, nanti saja ku gambar,” Pada akhirnya, ia mengemasi peralatan lukis dengan cekatan. Meletakkannya kembali pada tempatnya dengan susunan semula. Sebut saja, ia perfeksionis juga cukup disiplin untuk semua hal, berkat didikan sang ayah yang cukup tegas. Pertanyaan yang semalam menghantui pikirannya itu kembali muncul ke permukaan tanpa izin, membuatnya terdiam di depan cermin. Raveena menolehkan kepalanya ke cermin, melayangkan tatapan sinis dan tidak suka kepada bayangan figurnya yang terpantul jelas.

“Bahkan, aku tidak punya hal yang menjadi ciri khasku. Sebenarnya apa kelebihanku? Kenapa aku tidak seperti yang lain?”

“Hampir semua orang terlihat menarik, kenapa aku tidak?”

Pertanyaan itu ia lemparkan kepada dirinya di permukaan cermin, sosok yang sedari tadi meniru gerakan Raveena yang asli. Kemudian ia mendekat ke arah cermin, menyentuh permukaan cermin dengan hati-hati, mengusapnya lembut. Kini, tatapannya melembut, menghembuskan napas pelan.

“Dari pertanyaan itu, ayo cari tahu bersama, diriku yang lain,” ucapnya sambil mengulas senyum tipis ke arah cermin.

Perlahan langkah Raveena menjauhi cermin yang dipajang di sudut kamar. Yang ia harus lakukan pertama-tama, mencari jati dirinya terlebih dahulu. Harus ku mulai dari mana? Pikirnya.

Raveena merebahkan diri di atas kasur sambil mengaktifkan ponsel milikinya, berusaha mengusir kebosanan yang tengah mengerayapi tubuhnya. Ponselnya menampilkan gambar layar ponsel, segera Raveena mengusap layar ponsel dan mengetikkan PIN dengan cepat. Jajaran aplikasi dan sosial media disusun rapi ke dalam beberapa folder dengan judul tersendiri. Aplikasi pengirim pesan singkat ia buka, menampilkan pesan yang ia kirimkan ke sejumlah orang terdekat, keluarga, teman atau pun grup kelas.

Tidak ada pesan terbaru yang ia dapatkan.

Hanya tampilan pesan yang telah ia terima dalam waktu lalu. Raveena memejamkan mata sambil mengatur napasnya. Kenapa hampa sekali rasanya? Kenapa sepi sekali? Rasanya sepi, seperti tersedot ke lubang hitam tanpa tujuan jelas, batinnya. Matanya kembali terbuka setelah menetralisirkan pikirannya. Menatap sendu ke telapak tangan, seolah di dalamnya terdapat hal yang begitu berharga. Hal yang benar-benar ia jaga.

“Raveena!”

“Tolong ke bawah!”

Pekikkan sang ibu menggema hingga masuk ke kamar Raveena. Tatapan dan pikirannya dibuyarkan dengan mudah oleh sang ibu yang memanggil. Buru-buru, ia bangkit dari posisinya, menuruni tangga tergesa-gesa. “Kenapa, bu?” Tanya Raveena memastikan untuk apa sang ibu memanggilnya turun ke lantai bawah. “Besok ibu akan berkunjung ke rumah saudara ibu, kamu ikut, ya? Sama kakak juga, kok,” Ajak sang ibu, Obelia Natya.

Figur Raveena hanya bisa diam sambil berdiri canggung disalah satu anak tangga. Maniknya menatap figur sang ibu yang tengah sibuk dengan laptop miliknya, tampaknya sedang merekap nilai dari setiap mahasiswa yang ia ajar.

“Jangan diam saja, dong. Jadi gimana, kamu mau ikut ‘kan?” Obelia kembali bertanya kepada anak bungsunya mengenai ajakan pergi ke rumah saudara mereka. Sebenarnya, Raveena ingin sekali menolak—malah dalam batinnya ia berkali-kali meneriakkan kata “Tidak mau!”—tapi, berhubung ia jarang mengunjungi sanak saudaranya itu, ia akhirnya menolak, walau dengan berat hati ia menerima. “Iya, aku mau ikut, kok. Memangnya kapan?” Raveena balik bertanya kepada sang ibu.

“Hari Minggu besok,” Obelia menjawab tanpa menatap Raveena, anaknya. Jawaban itu hanya direspon dengan anggukan singkat oleh Raveena. Kemudian, Raveena membalikkan tubuhnya dan menempatkan kaki kanannya ke anak tangga di atasnya, hendak kembali ke kamar untuk segera lepas dari suasana canggung ini. Obelia, yang menyadari pergerakkan sang anak, Raveena, sesegera mungkin memanggilnya lagi untuk mendekat ke arahnya duduk.

“Raveena, ke sini sebentar, dong.”

Baru beberapa anak tangga yang Raveena pijak, ia kembali memutar tubuhnya untuk menghadap kepada Obelia. “Kenapa, bu?” Perempuan itu mengulang pertanyaan yang sama seperti pada awal sang ibu menawarkan ajakan untuk berkunjung ke rumah sanak saudara. Nada monoton yang membuat pendengarnya terkadang risih karena respon yang diberikan terlalu datar.

Obelia menepuk tempat duduk yang kosong di sebelahnya, menginstruksikan kepada Raveena untuk duduk ditempat yang ia maksudkan. Raveena yang paham dengan maksud sang ibu duduk dikursi kosong itu, patuh terhadap Obelia, terkadang membuatnya terlihat seperti seekor anjing yang amat patuh terhadap segala perintah sang majikan. Terlalu mudah diperdaya dan diikat oleh segala peraturan yang telah ditetapkan oleh kedua orangtuanya. Berbeda dengan sang kakak, Dharmandra Haidar, yang berkemauan kuat, terutama dengan apa yang ia inginkan misalnya, tentang impiannya.

Pada dasarnya, keluarga ini sudah menetapkan cita-cita sang anak berdasarkan keinginan mereka. Yang membuat sang anak harus menjalan alur kehidupan yang telah ditetapkan oleh kedua orangtua. Alur yang membosankan dan monoton, hanya membuat sang anak semakin minder dan tidak bisa mengenal dirinya sendiri menggunakan cara yang mereka inginkan. Dalam hati Raveena muak dan mengutuk peraturan tersebut berkali-kali dengan segala kata yang ia tahu.

“Kamu kelihatan ada masalah, ada apa?”

Obelia menggengam lengan kiri Raveena dengan lembut, afeksi penuh kasih ditujukkan Obelia untuk anak gadisnya ini. “Enggak, enggak ada masalah,” Raveena menggelengkan kepala, sebagai bukti ia tidak memiliki masalah akhir-akhir ini. Walau faktanya, isi kepala berpusing pertanyaan-pertanyaan yang semenjak malam kemarin terus berputar seperti radio rusak.

Kata-kata yang semakin lama semakin membuat penasaran akan jawaban sebenarnya. “Cuman… Akhir-akhir kepikiran aja,” Ucap Raveena dengan nada pelan serta datar. Seperti tidak tertarik mengatakan apa perasaan yang ia rasakan saat ini. “Kepikiran apa?” Sang ibu bertanya mengenai kelanjutan pembicaraan Raveena. “Jati diriku itu apa?” Mendengar hal tersebut keluar dari mulut Raveena, lantas kening Obelia mengerut, menatap layar laptop dengan tatapan aneh dan sulit dideskripsikan. Seolah Obelia tengah menatap seekor kecoa di sudut ruangan.

“Kamu tidak perlu memikirkan pertanyaan remeh dan tidak berguna seperti itu, kamu hanya perlu memikirkan sekolahmu. Masuk sekolah sudah dekat ‘kan? Jadi kamu harus fokus ke hal itu, mengerti, Raveena?”

Jujur, Raveena merasa semakin rendah diri. Pertanyaan yang selama ini dipertanyakan hanya bisa diremehkan oleh sang ibu. Genggaman tangan Obelia yang masih berada pada lengan kiri Raveena telah pudar, tangan Obelia telah melepaskan afeksi berharga tersebut. Apa karena pertanyaan itu? Hanya karena itu, ya? pikir Raveena. Secuil kekecewaan mengelus ke dalam hatinya, namun, semakin lama semakin menyebar, menyelimuti hatinya.

"Iya, bu."

Jawaban yang disertai anggukan terpaksa Raveena tunjukkan, membuatnya terlihat patuh akan ucapan sang ibu. "Baguslah, sekarang pergi ke kamarmu, oke? Belajarlah, ini untuk persiapan masuk sekolah hari Senin besok," titah Obelia dengan menatap Raveena lamat-lamat, kemudian menghela napas. Tangan Obelia kini mematikan laptop di depannya, telah selesai merekap nilai setiap mahasiswanya. Pandangannya kini beralih kepada Raveena, pandangan yang lembut namun tajam dalam waktu bersamaan.

"Ibu menyuruhmu begini juga untukmu."

"Kalau kamu belajar dan masuk jurusan IPA, kamu bisa jadi apa yang ibu dan ayah cita-citakan."

Dan bukan yang aku cita-citakan, begitu? sindir Raveena ketus.

"Jadi dokter, guru, dosen atau perawat, itu bisa menjamin masa depanmu. Selain dari pekerjaan itu, meragukan. Masa depanmu belum tentu terjamin dengan perkerjaan selain itu. Jadi, ibu sudah menentukan cita-citamu dari awal, untuk masa depanmu. Sekali lagi, kamu mengerti 'kan?"

Kali ini hanya direspon anggukan oleh Raveena. Tenggorokan Raveena sedikit sakit sebab menahan banyak kata-kata yang ia ingin lemparkan. Kenapa dia harus ditekan begini? Kenapa harus terkekang dalam sangkar begini? Jeritan itu tak henti-hentinya bersuara dibatin Raveena.

"Aku akan ke kamar dulu," Pamit Raveena. Tubuhnya mengubah posisi dari duduk ke berdiri lesu, berjalan santai menuju tangga. Mungkin bagi Obelia, ia terlihat baik-baik saja dan menerima apa yang ia katakan dengan baik lalu segera melakukannya untuk menunjukkan ia bisa berguna bagi Obelia.

Tidak, itu salah besar.

Putri bungsunya itu ke depannya hanya bisa membangkang perintah, sebisa mungkin mencari cara melepas jeratan dari keluarga ini. Itu pun ia lakukan untuk menjawab pertanyaannya yang selalu terngiang-ngiang di kepalanya: apa jati diriku?

Beberapa anak tangga dipijak Raveena pelan-pelan tanpa menghasilkan sedikit pun suara. Hingga anak tangga terakhir yang berada di puncaknya ia pijak, Raveena berjalan dengan tergesa-gesa menuju kamarnya di ujung lantai.

Kamar yang menghadap langsung jalan di luar rumah, kamar dengan pencahayaan paling terang diantara kamar lain. Tempat itu cukup strategis jika dilihat-lihat. Telapak tangan Raveena menempel pada kenop pintu, belum berinisiatif membuka pintu kamarnya. Manik cokelat terangnya itu masih fokus menatap ke bawah, menatap kedua kakinya yang dibalut dengan kaus kaki putih. Sekilas tidak ada yang menarik, namun Raveena tersedot ke dalam warna putih itu, warna paling bersih.

Tergambar jelas oleh otaknya, gambaran dirinya di atas warna putih itu. Berkhayal ini dan itu, angan yang terlukis cantik di atas putih. "Kakimu itu kenapa sampai ditatap lamat-lamat begitu?" Suara Dharmandra, kakak pertama Raveena, membuyarkan seluruh khayalan Raveena yang tertuang. Spontan, kepala Raveena menoleh menghadap figur sang kakak yang menatapnya penasaran.

"Cuman melamun," Raveena menjawab singkat.

"Cuman melamun atau lagi nahan nangis?" Selidik Dharmandra.

"Aku gak cengeng, ya."

"Halah, beneran? Biasanya juga nangis sesegukan."

Tatapan Raveena beralih ke sampingnya, menggulirkan bola matanya lantaran sebal dengan sang kakak. "Enggak, bercanda kok. Semuanya berhak nangis sekali pun orang itu sudah dewasa," Dharmandra menarik ucapannya kemudian mengibaskan tangannya untuk menciptakan gestur menyakinkan sang adik. Raveena hanya membalas ucapan Dharmandra dengan 'hm' yang terlalu singkat, lalu memutar kenop setelah sekian lama hanya menempelkan telapak tangannya dibenda bulat itu.

Tubuhnya memasuki kamar perlahan, membuat figurnya tampak tertelan oleh sebuah lubang. Ia menutup pintu tanpa suara dan mengganjal pintu menggunakan bata yang dibalut lakban hitam sebagai pengganti dari kunci pintu.

Sebenarnya, pintu kamarnya itu memiliki kunci hanya saja kunci itu tidak digunakan sebab ditahan oleh sang ibu dengan alasan mempermudahnya mengecek keadaan anak-anaknya. Sebagai gantinya, Raveena mengambil sebuah bata untuk pengganjal yang ia ambil dari garasi di belakang rumah, kemudian membalut bata tersebut menggunakan lakban hitam supaya debu dan sepihan dari bata tidak berceceran.

Terdengar licik memang, tapi hal itu ia lakukan demi mencegah orang rumah sembarangan masuk disaat privasi mungkin saat ganti baju misalnya. Raveena menatap tumpukan buku modul yang disusun rapi olehnya, buku yang hanya berisi tulisan-tulisan menyebutkan dan memusingkan juga rumus-rumus rumit tentu menjamin orang dengan otak standar merasa pusing dan muak.

Dengan amat terpaksa, Raveena membuka lembaran kertas dari buku tersebut, melihat detail setiap kata dan memperhatikannya baik-baik. Tangannya bergerak menggoreskan tinta hitam ke atas kertas kosong, membuat coretan berisi angka acak, mengkalkulasikan secermat mungkin supaya hasil yang didapat cocok dengan kunci jawaban. Berkali-kali ia menghembuskan napas dan menggerutu sebal dengan latihan yang tidak ada habisnya ini. Menurutnya percuma mengerjakan semua soal di buku modul, toh, ia tidak memiliki bakat dalam pelajaran sejenis ini.

Apa daya, semua ini tuntutan, maka ia diwajibkan melakukannya.

Tanpa sadar, ia telah menghabiskan banyak waktu untuk bergelut dengan sejumlah pertanyaan sulit itu. Hingga ia menolehkan kepala ke arah belakang, mengecek jalannya waktu dan berapa jam yang ia habiskan hanya untuk tenggelam dalam buku modul membosankan miliknya. Benda bulat itu menggerakkan jarum-jarumnya secara otomatis. Bergerak sedikit demi sedikit, menunjukkan waktu sekarang secara akurat.

Pukul 11.48

Raveena meregangkan kedua tangannya yang saling mengait jari-jarinya, meluruskannya ke atas kepala, membusungkan dadanya dan kembali ke posisi semula. Bunyi peralatan makan yang ditata saling membentur, menciptakan bunyi nyaring, suara yang memekik tersebut menggema sampai ke kamar Raveena. Mengerti dengan suara tersebut, Raveena bangkit dari duduknya dan keluar kamar. Perlahan menginjakkan kaki di atas lantai linoleum kemudian menginjak anak tangga dengan cepat.

Tujuannya kini menuju ruang makan yang letaknya berada di dekat dapur. Ruangan kecil itu bisa memuat sekitar 5-7 orang, ruangan yang didominasi oleh marmer mengkilap yang cantik. Ada konter berbentuk L dengan perlengkapan lumayan lengkap juga terawat. Sayang sekali ruangan indah seperti ini jarang digunakan oleh keluarga sang pemilik rumah, lantaran sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Bukannya ada Raveena yang bisa dipekerjakan untuk memasak makan siang dan makan malam?

Terakhir kali ia memasak makanan, api tiba-tiba menyala galak dan tinggi, hampir menyentuh lemari penyimpan bumbu masakan yang berada di atasnya. Semenjak insiden mendebarkan di dapur itu, Raveena tidak pernah lagi menggunakan dapur, walau ada pengawas seperti Dharmandra atau Obelia, sang ibu. Ia juga trauma menyalakan kompor karena insiden konyol yang ia perbuat.

Dalam ruangan itu, sudah ada sang ibu, Obelia, dengan tangan penuh piring kosong dan Dharmandra yang sedang duduk santai sambil menompang dagu. Tanpa bersalah, Dharmandra hanya memperhatikan kesibukan sang ibu yang mempersiapkan makan siang mereka. “Raveena, sana bantu ibu,” Suruh Dharmandra, menggerakkan dagunya untuk menginstrusikan Raveena yang baru saja datang ke ruang makan.

“Mana yang bisa ku bantu, bu?”

Raveena berjalan menghampiri figur sang ibu yang tengah memindahkan masakan ke piring kosong. “Tolong ambilkan sendok dan piring saja, terus tolong pindahkan panci ke wastafel, ya,” titah Obelia tanpa melepas fokus dari masakan yang sedang ia tata di atas meja makan. Kepala Raveena mengangguk singkat, paham dengan apa yang diperintahkan kepadanya, langkah kakinya kini menuju tempat penggorengan berada, memindahkan panci ke wastafel sesuai instruksi dan kembali ke meja makan dengan membawa seperangkat alat makan. “Ini,” Raveena menyerahkan beberapa sendok yang diminta.

“Raveena sudah belajarnya tadi?”

Obelia membuka suaranya bersamaan dengan makan siang dimulai. Perempuan yang dimaksud lagi-lagi menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan dari sang ibu. “Memangnya kapan Raveena masuk sekolah?” Tanya Dharmandra sambil menyendokkan sayur ke atas piringnya hati-hati.

“Senin besok,” Jawab Raveena sembari menunggu sang kakak menyelesaikan kegiatannya.

“Udah masuk SMA, ya berarti? Cepet juga, lho.”

Setelah komentar itu keluar dari mulut Dharmandra, tidak ada yang membuka suaranya lagi. Masing-masing hanya fokus pada piringnya atau mengaduk makanan hingga tak lagi berbentuk sempurna. Atmosfer canggung bercampur dengan ketidaknyamanan, menyelimuti ruangan bernama dapur itu, membuatnya semakin kental dan berat.

“Kakak besok ikut ke rumah saudara, ya?”

Tawaran itu kembali dilemparkan hanya saja orang yang dituju berbeda dengan sebelumnya, nada persuasif yang lembut mengundang jawaban memuaskan itu diperdengarkan. Sambil mengunyah makanannya, Dharmandra akhirnya mengiyakan ajakannya, walau dengan berat hati, sama seperti Raveena. Pada dasarnya, Raveena dan Dharmandra itu tidak jauh berbeda. Mulai dari pemikiran dan kelakuan.

“Raveena, kalau sudah masuk sekolah, ingat-”

“-jadi nomor satu,” Potong Raveena.

Entah mengapa, makanan yang mereka—Raveena dan Dharmandra—jadi begitu memuakkan. Seolah lambung mereka menolak masakan enak tersebut. Teringat jelas perkataan yang tadi dilontarkan oleh Obelia dalam benak Dharmandra, perkataan yang pernah juga diucapkan kepadanya, Dharmandra.

Ingatan pahit dan tidak mengenakkan terkorek dalam ingatan, mencelis kalbunya, teringat tekanan yang pernah ia rasakan seperti Raveena saat ini. Manik cokelat milik Dharmandra melirik ke arah samping kanannya, melirik sang adik yang tengah makan dengan tenang. Laki-laki itu paham apa yang batin Raveena teriakkan berulang kali tanpa jenuh. Seolah mereka terhubung—tidak pada kenyataannya mereka memang terhubung—satu sama lain.

“Kakak juga janga lupa-”

“Aku sudah selesai makan, makasih atas makanannya,” Dharmandra memotong denga tidak sopannya.

Mengelap ujung bibrinya menggunakan selembar tisu bangkit dari tempat duduk. Ia tidak tahan berlama-lama di sana. Muak dengan topik yang diangkat. Memangnya tidak ada topik yang lebih menarik dari hal itu apa? Ketus Dharmandra dalam hati. Merutukinya sekasar mungkin sambil berjalan menuju tangga, kembali ke kamarnya. Dari dalam dapur, Raveena dan Obelia menatap punggung Dharmandra yang semakin menjauhi dapur. “Kakak kenapa?” Obelia bertanya kepada sang anaknya.

“Gak tahu,” Ia mengangkat kedua bahunya sebagai tanda.

“Setelah ini, bisa kamu tanya ke kakak, dia kenapa?”

“Iya, sebisa mungkin akan ku tanyakan ke kakak.”

Ia menyuapkan sesendok nasi beserta sayur terakhirnya ke dalam mulutnya, mengunyahnya secepat mungkin. Kemudian mendorong pelan piring kosong itu ke depannya beberapa sentimeter dari tempat semula. Rasa muak yang asalnya bukan dari makanan memenuhi kerongkongannya, menggantikan rasa kesukaan dari makanan yang beberapa menit lagi ia makan.

Rasanya makan siang kali ini begitu memuakkan, batin Raveena sambil pergi meninggalkan dapur.

***

Hari Minggu, pukul 11.00

Di siang hari yang terik ini, waktu yang cocok untuk menghabiskan waktu hanya dengan merebahkan diri di atas kasur sambil menikmati sejuknya aliran angin dari AC harus diganti dengan kegiatan berkunjung ke rumah saudara. 4 menit dihabiskan Raveena di depan cermin, membolak-balikkan tubuhnya, mengecek penampilannya sebelum turun ke lantai bawah.

Pintu kamar diketuk dari luar beberapa kali oleh seseorang. “Masuk saja,” Ucap Raveena sambil mengulurkan tangannya ke dalam lemari, memilah tas selempang yang akan dia gunakan. “Masih dandan?” Kepala Dharmandra melongo dari pintu, mengamati gerak-gerik sang adik yang masih berada di lemari. “Enggak, sebentar lagi selesai. Nah! Ayo ke bawah,” Ajak Raveena setelah berhasil menemukan tas selempangnya.

Dharmandra mengangguk, membuka pintu lebih lebar, mempersilakan sang adik keluar terlebih dahulu, barulah ia menutup pintu rapat-rapat. Keduanya menuruni anak tangga dengan terburu-buru, menyusul figur sang ibu yang menunggu mereka di dalam mobil. Langkah kaki Raveena menuju garasi melambat ketika sadar pakaiannya kembali berantakan. “Raveena, cepetan!” Pekik Dharmandra dari garasi. Begitu telinganya mendengar pekikan itu, ia tersadar dan menggerakkan tungkainya lebih cepat.

Tangan Raveena terulur, menyambut gagang mobil dan meneriknya kuat ke arahnya. Buru-buru ia mendudukkan tubuhnya di kursi penumpang, kemudian menutup pintu mobil dengan membantingnya keras-keras hingga menghasilkan suara detuman yang cukup keras. Setelah penumpang terakhir memasuki mobil, mesin dinyalakan, setelah cukup menunggu, Dharmandra selaku pengemudi melajukan mobil keluar garasi perlahan. Sambil sesekali menoleh ke belakang mobil, memastikan ia tidak menabrak sesuatu.

Mobil melaju dengan kecepatan rata-rata di jalan, terkadang menaikkan kecepatan kemudian menurunkannya dengan terampil. Radio mobil dinyalakan demi mengusir keheningan dalam mobil, radio musik yang memperdengrkan berbagai lagu dari berbagai penjuru dunia. Karena Raveena duduk di kursi belakang, ia hanya bisa menghabiskan waktu melihat pemandangan selama perjalanan menuju rumah saudara masih berlangsung.

Jarak yang ditempuh cukup jauh. Dengan begitu, waktu yang dihabiskan cukup banyak.

Pikiran Raveena lagi-lagi mengangkat pertanyaan remehnya ke permukaan, mengingatkan Raveena tentang jawaban apa yang ia cari selama ini. Jika pertanyaan yang kemarin muncul perihal jati diri, maka kali ini yang teringat adalah dimana tempat ia berada? Dimana tempat hatinya berlabuh jauh? Bersamaaan dengan itu, perasaan sendu juga sepi merayapi hati Raveena. Kenapa akhir-akhir ini perasaanku jadi tidak stabil begini? Rutuknya. Helaan napas berat dihembuskannya, mengusap wajahnya lembut.

Mobil berhenti ketika lampu rambu lalu lintas mengubah warnanya menjadi merah. Ragam kendaraan bermotor berjejer rapi di belakang garis putih, memberhentikan kendaraan mereka.

Angka pada lampu rambu lalu lintas berubah sedikit demi sedikit seiring berjalannya waktu. Dharmandra sedikit tidak sabar dengan hitungan pada pewaktu mendecakkan mulutnya berkali-kali dan mengetuk-ngetuk stir. “Sabar sedikit, hitungannya akan berhenti sedikit lagi kalau kakak bersabar,” Ucap ibu, berusaha memadamkan ketidaksabaran sang sulung. Bukannya membaik, Dharmandra semakin mendecakkan lidahnya, barulah ia membalas ucapan ibu dengan ‘hm’ saja.

Lampu lalu lintas kini mengubah warnanya menjadi hijau diserati bunyi penanda. Sadar dengan perubahan warna lampu lalu lintas, Dharmandra segera melajukan mobilnya, melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti. Radio mobil yang tadinya memperdengarkan lagu kini berubah menjadi acara podcast dengan topik yang melankonis.

“Ya, kembali lagi dengan kami!”

“Kali ini tajuk yang akan kami bawakan adalah ‘Tempat Berlabuh’.”

Baru saja sang pembawa acara hendak membawakan tajuk podcast kali ini, suaranya terputus secara tiba-tiba. Pelakunya tak lain adalah Obelia, sang ibu, entah apa alasannya mematikkan radio di saat podcast itu muncul. “Tampaknya kalian tidak perlu mendengarkan hal tak berguna seperti ini,” Obelia memberi alasan. Raveena hanya terdiam, ia juga memberi balasan, matanya bergulir melirik ke arah spion yang dipasang di tengah kursi pengemudi dan kursi penumpang yang berada di depan.

Raveena bersitatap dengan Dharmandra lewat spion tersebut. Menampakkan pandangan lelah dari keduanya. Seolah berbicara lewat tatapan, cukup lama mereka saling bertatapan.

“Apa kau tidak merasa sebal dengan ibu?” Tatapan Dharmandra berbicara demikian.

“Lumayan, kakak bagaimana?” Balas Raveena dengan tatapannya.

“Tentu saja. Aku tidak mengerti pemikiran ibu, sampai-sampai apa yang kita sukai atau pikiran kita selalu dianggap remeh.” Komentar Dharmandra agak ketus.

“Sudahlah. Lagian, kakak kemudikan mobil dengan benar! Kakak mau kita kecelakaan hah?!” Final Raveena juga mengingatkan sang kakak supaya fokus mengemudi.

Setelah perjalanan panjang dan hening, akhirnya mereka bisa sampai ke tempat tujuan yang dimaksud. Mobil yang dikendarai oleh Dharmandra berhenti tepat di depan gerbang sebuah rumah. Bangunan minimalis namun berkesan mewah berdiri kokoh disebidang tanah yang cukup luas. Cukup dilihat dari depannya, pastinya para pengunjung sudah sadar dengan keadaan ekonomi sang pemiliki rumah, pastilah berada dikelas menengah-ke atas. Sekali lagi, Raveena menghembuskan napas berat sebelum keluar dari mobil. Pagar diketuk beberapa kali, hingga sang pemiliki rumah keluar untuk membukakan pagar bagi pendatang. “Akhirnya, ya, kalian datang juga. Dharmandra gak ikut?” Bibi Raveena—ia tak ingat siapa namanya, yang jelas, orang itu adalah bibi Raveena—menyapa mereka yan baru saja datang.

“Lagi cari tampat parkir, nanti juga bakal nyusul, kok.”

“Raveena udah besar, ya sekarang!”

“Iya, bibi.”

Ia merendahkan pandangannya selagi membalas sapaan dari sang bibi, kemudian menjabat tangan sang bibi atas perintah sang ibu. Tak lama, Dharmandra tiba dengan buru-buru, pakaiannya yang semula tertata rapi, kini sudah berantakan. Napasnya memburu, tampaknya ia berlari dari tempat parkir menuju pagar rumah ini. Tangannya terulur, menyambut tangan sang bibi untuk berjabat tangan, sama halnya seperti yang dilakukan oleh Raveena. “Ayo, masuk dulu.” Sang bibi mempimpin jalan bagi mereka bertiga.

Sampai di ruang tamu, mereka dihadapi dengan beberapa anggota keluarga lainnya. Riuh menyambut kedatangan mereka, menyapa dan menanyakan kabar satu per satu, serta memberi pujian hangat. Mereka diperlakukan selayaknya tamu dengan amat baik. Diberi camilan juga minuman, diajak berbicara ini-itu oleh salah satu dari mereka.

Namun, Raveena merasa tidak nyaman, merasa kelelahan menyesuaikan tempo pembicaraan dan tarik-ulurnya.

Seharusnya ia senang, seharusnya ia nyaman, dan seharusnya ia merasa lega berkunjung kemari untuk melihat saudaranya setelah sekian lama tidak bertemu. Dan berujung duduk canggung di kursi ruang tamu. Tarik-ulur yang menurut Raveena ekstrem ini berlangsung cepat, bergulir ke sana kemari, yang awalnya ia menjadi pusat pembicaraan, sekarang berubah giliran.

Semakin ia merasa ini bukan tempat sesungguhnya untuknya, dan eksistensinya hanya berupa uap air.

Apa arti eksistensiku?

Dimana tempatku berada?

Ia mempertanyaankan hal itu sambil menatap kosong lantai.

Toples berisi kukis disodorkan oleh seseorang disampingnya, Dharmandra, sang kakak. “Daripada melamun begitu, lebih baik kau makan ini.” Ia memasukkan beberapa kukis ke dalam mulutnya sekaligus, mengunyahnya dengan berat. Tangan Raveena menerima tawaran sang kakak, mengambil beberapa kukis dan memasukkanya ke mulut untuk kemudian dikunyah dan ditelan. Rasa manis yang menguar dalam dinding mulut menjadi obat penenang bagi kerisauan Raveena. “Kak,” Panggil Raveena tanpa berhenti mengunyah. Panggilannya itu direspon Dharmandra dengan dagunya yang diangkat. “Kemarin pas lagi makan siang kenapa tiba-tiba sebal begitu?” Tanya Raveena. Tiba-tiba saja ia teringat permintaan sang ibu.

“Kau enggak sebal dengan pembicaraan ibu? Hanya itu-itu saja. Kau juga enggak merasa terkurung dengan perintahnya?”

“Iya, lumayan.”

“Ibu itu membuatmu merasa bingung dengan dirimu sendiri, apalagi jati diri, ya ‘kan?”

“Aku muak dengan itu, makanya lebih baik aku cepat-cepat pergi dari sana.”

“Lagian, memangnya mau sampai kapan kebingungan hebat tentang jati dirimu sendiri?”

Dia mengerti sampai ke sana? Batin Raveena.

Pukul 20.00

Malam menyambut mereka sudah selesai dari acara beberapa jam yang lalu. Menghabiskan waktu denga pertanyaan tempat berada dan eksistensi mereka, bergelut dengan batin. Raveena menatap kanvas kosong miliknya, yang waktu itu tidak sempat ia lukis apa pun.

Tiba-tiba saja, ia mendapat pencerahan untuk melukis. Kali ini lukisan yang akan ia kerjakan adalah The Starry Night karya Vincent Van Gogh yang terkenal itu. Pelukis yang juga memiliki pertanyaan, dimana tempatku berada? Raveena menggorekan pensil ke atas kanvas, menggambar sketsa. Sembari menggerakkan tangan dengan lihainya, ia terus berpikir dan menetapkan tekadnya.

Sudah ku putuskan, besok Senin adalah langkah awalku mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku, batinnya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bagus banget alurnya

22 Nov
Balas

Iya, mantap

24 Nov



search

New Post