Nasywan Aqila Auliarai

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

0002

0002

Aku benci masuk ke dalam hutan, karena apa?

Monster ada dimana-mana, lumut, tumbuhan-tumbuhan yang menjijikan, udara lembab yang terasa aneh, dan yang paling parah adalah semut.

Fakta, aku membenci semut, itu mengingatkanku atas kejadian 3 tahun yang lalu, dimana pertama kalinya aku digigit oleh sesuatu, dan sesuatu itu adalah semut dan itu pun bukan semut biasa tapi Extreme Ameisen. Salah satu spesies yang baru muncul karena fenomena ajaib aurora. Gigitan yang luar biasanya itu bahkan bisa membelah beton dengan mudah, atau memenyokkan baja.

Waktu pertama kali melihat hewan tersebut aku berpikir bahwa makhluk ini tidak berbahaya, malakah aku kasihan karena makhluk ini sangat kecil dan sering terinjak manusia walaupun seringnya nggak sengaja, aku pun tanpa panjang pikir langsung ingin memegangnya setelah itu....apa kalian bisa tebak apa yang terjadi?! Yaitu berupa diam di rumah sakit selama seminggu sambil menangis tersedu-sedu menahan rasa sakit yang melanda diriku.

Dan sekarang aku masuk di mana tempat hewan-hewan atau para monster tinggal, dan berkembang biak. Sudah lebih dari tiga jam kami berjalan menuju utara dengan sedikit melenceng ke arah barat laut, dan untungnya belum terjadi apa-apa.

Pepohonan yang lebat menjulang tinggi di kanan dan kiri. Pohon ek, pohon cemara, dan lain-lainnya yang sangat beragam, sungguh sangat hijau hutan ini, tidak seperti sektor perkotaan yang sudah berkurang pepohonannya, digantikan dengan layar-layar hologram yang menampilkan berbagai macam hal.

Udara lembab nan sejuk keluar masuk paru-paruku dengan bebas dan luwes. Meski pun begitu, sesekali semak belukar membuatku sangat tidak nyaman dan mengganggu. Tak apa, yang penting belum ketemu hewan yang mematikan. Kalau sudah bertemu bisa gawat, aku menembus hutan ini hanya dengan baju kaos sehelai berwarna biru dilapisi dengan jaket abu-abu gelap, aku tidak menggunakan zirah ringan yang ketahanannya lebih dipercaya untuk bertarung. Jadi kalau sudah bertemu yang aneh-aneh pasti sudah gawat.

“Etherias, bersiaplah, rawa racun sudah dekat, tutup hidungmu. Hirup udaranya seminimal mungkin, jangan sampai kau terlalu banyak menghirupnya,” ujar kakakku sambil terus berjalan, aku hanya mengangguk nurut dengan yang kakakku katakan.

Beberapa menit kemudian aku mencium bau yang aneh, bau yang sepertinya bukan bau hutan yang indah dan asri ini. Aku pun melihat lebih jauh ke depan, ada beberapa pohon yang sepertinya kering dan mati, tapi masih berdiri kokoh di sana.

“Ether, sudah dimulai...” ujar kakakku sambil menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan-lahan, dengan bergegas aku pun langsung mengikuti instruksi kakakku barusan.

Tak terasa kami pun sudah sampai dipohon-pohon yang kering, pohon yang kulihat dari jauh barusan. Ternyata bukan hanya satu, tapi banyak, banyak pohon yang terlihat mengenaskan dan mengerikan, kering tanpa daun sama sekali, seperti mati. Tak hanya itu, tanahnya kering dan juga tandus. Aku mulai keheranan dengan keadaan sekitar yang kian lama kian memburuk.

Dan tak jauh dari pohon-pohon yang kering tersebut, ada sebuah rawa yang kelihatannya aneh dan menjijikan. Semakin lama kami semakin dekat dengan rawa tersebut. Terlihatlah, air rawanya berwarna hijau lumut serta mengeluarkan asap terlihat menjijikan ketika jarak kami tinggal lima meter. Gemeletuk gelembung pecah di permukaan rawa pun terlihat jelas. Bau yang tak lazim untuk dicium pun terindra jelas.

“Kak bagaimana cara melewati rawa yang menjijikan ini?” tanyaku pada kakakku sambil mencelupkan sebuah ranting ke dalam rawa tersebut.

Cheesh... Suara ranting hangus dilahap air rawa tersebut. Aku pun menyeritkan alis, heran melihat kejadian yang baru saja aku lihat. Ranting kecil tersebut hangus ditelan oleh air rawa yang terlihat mengerikan dan berbahaya.

“Ini adalah hasil pembuangan limbah yang sembarangan, sangat berbahaya. Seingat kakak, harusnya batang pohon kering yang ada disini tahan dengan air rawa ini,” jawab kakakku ragu-ragu.

“Benarkah?” tanyaku ragu dengan penjelasan yang barusan.

“Entah, setidaknya kita mencoba dulu,” ujar kakakku sambil mendekati sebuah batang pohon yang dekat dari tempat kami berdiri.

Dengan sekuat tenaga ia menendang pohon tersebut hingga melayang terapung-apung di atas rawa tersebut. Benar apa yang kakak katakan, batangnya tidak hangus. Namun sayangngnya batangnya sudah jauh dari gapaianku.

“Kak berhasil, apa yang akan kita lakukan?” tanyaku lagi dengan pikiran yang pendek.

“Tentu saja membuat perahu bodoh!” ujar kakakku sambil menebangi pohon kering lainnya. Aku pun mendekati kakakku yang tengah menebang pohon yang lain dengan mudah.

“Ether cari....”

“Cari apa kak?” tanyaku bingung karena kakak mendadak berhenti bicara.

“Nunduk!” perintah kakakku sambil menarik diriku ke bawah.

“Aah!” teriakku kaget, sesuatu terkibas kencang di atas kepalaku.

“Awas!” teriak kakakku lagi sambil menarik tubuhku dengan sangat kencang, sampai-sampai aku terlempar ke belakang kakakku. Dengan segera kakakku pun langsung mencabut pedangnya dari punggung.

“Ugh, ada a-apa?!” ucapku sambil mengadah melihat sesuatu yang cukup besar di hadapanku. Aku pun menganga melihat makhluk tersebut.

= # =

“Ugh, sialan... Dia sadar rupanya!” ujarku sambil mencabut pedangku.

“Ether! Sembunyi!” perintahku sambil berdiri menghadangnya.

Terlihat dengan jelas di depan kami berdua ada seekor monster yang sangat mengerikan, Chimera. Kepalanya 2 berbentuk ular, badannya yang berkaki 4 dan ramping mirip badan seekor kadal, serta ekornya yang agak aneh dan mengeluarkan listrik, mirip ekor belut listrik. Besarnya pun tak tanggung-tanggung, dua kali lipat lebih besar dibandingkan diriku.

Desisan ular tersebut terdengar sangat jelas ditelingaku, empat matanya yang menyeramkan menatapku dengan rasa haus darah. Aku pun menelan ludah khawatir.

“Baiklah mari kita lihat apa yang kau punya! 「 Water strike 」!” ucapku sambil menebaskan pedangku ke arahnya.

Namun, ekornya pun menepis seranganku dan langsung mengembalikan seranganku dengan listriknya yang mematikan. Listrik itu sampai kepadaku lebih cepat dari pada dugaanku.

BZZZZT!!! “Arggh!” teriakku menahan sakit yang melanda diriku.

Petir bervolt-volt itu sukses membuatku tersetrum, namun itu tak menghentikanku. Dengan kaki yang kuat aku berdiri menghadangnya untuk kedua kalinya.

Cih… aku lengah… Gumamku kesal karena kelengahan yang tidak biasanya dariku.

“Sssstt! BZZZZTTTTTT!” tak membuang-buang waktu sang monster melanjutkan serangannya dengan mengarahkan 2 kepalanya ke arahku yang terbalut oleh ribuan volt listrik.

“Maaf, tapi kali ini kau takkan menahan diri, 「Wind Cutter」!” tak mau mengulangi kesalahan pertamaku, aku pun langsung menebasnya dengan elemen angin.

Sring… Dalam sekejap 2 kepala ular tersebut putus oleh tebasanku. Darah segar berhamburan dari sana.

“Ether, kau tidak apa-apa?” tanyaku memastikan keselamatannya.

“Haha? Emm… Ya, kak!” jawabnya dengan nada sedikit ketakutan karena pertama kali melihat bahaya yang nyata di depannya.

Ether, masih belum terbiasa... Itulan menurut pikiranku melihat Ether yang masih kaku menghadapi situasi seperti ini.

= # =

Tadi sungguh sangat menakutkan, aku tahu bahwa masuk ke hutan ini akan berbahaya. Namun, sepertinya pikiranku masih terlalu lembek.

Tadi, saat monster berkepala 2 muncul aku hanya bisa diam saja melihat kakakku bertarung. Aku belum pernah benar-benar bertarung. Apalagi sampai membunuh.

Yosh! Aku gak boleh kalah! Gumamku di dalam hati dengan semangat berusaha menghapus pikiran negatif yang ada di dalam kepalaku.

“Ether! Itu tepiannya sudah terlihat,” tepat saat sedang memikirkan aneh-aneh, kakakku memberitahu bahwa kami telah melewati rawa mini ini.

= # =

Setelah berjalan agak jauh dari rawa yang menjijikan itu, kami pun terus melanjutkan perjalanan kami hingga tiba disebuah tempat yang kelihatannya lebih asing dan aneh. Tanah yang kami pijak keras, namun ada sebuah saluran-saluran dan aliran-aliran merah yang mencurigakan.

“Etherias, siap siaga,” komando kakakku.

Aku mengangguk pelan tanda paham. Sesekali aku menengok ke belakang, dan aku melihat seperti ada sesuatu yang bergerak, bayang-bayang yang aneh dan menjengkelkan. Semakin dalam aku membelah hutan kering ini, aku semakin merasa bahwa pohon ini hidup, aneh.

Terkadang batang pohonnya terlalu rendah, atau terasa memanjang sendiri dan yang lainnya. Kakakku hanya diam sambil menenteng pedangnya yang sudah berlumuran darah biawak menjijikan.

Semakin lama aku semakin kesal dengan ranting-ranting yang menghalangi jalanku, seakan-akan ranting pohon tersebut hendak menangkapku.

Yang membuatku semakin kesal adalah runcingnya ranting-ranting yang membuat pipi kananku tergores.

TRAAAKH… “Menyebalkan!” ujarku kesal sambil memotong salah satu ranting yang agak panjang, kurang lebih panjangnya 1,4 meter.

“Etherias apa yang kau lakukan?” ujar kakakku melotot melihat apa yang aku lakukan.

“Hanya memotong ranting yang menyebalkan,” spontanku menjawab dengan polos sambil menenteng ranting yang kupotong barusan.

“Kau memaggil sesuatu yang tak perlu dipanggil,” timpalnya dengan nada malas lalu memasang kuda-kuda bersiap.

“Hah? Apa?” tanyaku panik sambil menodong ranting tebal tersebut ke arah belakangku.

Seketika pepohonan yang seakan-akan mati itu terbakar di pucuknya, seperti obor yang baru saja menyala. Yang awalnya tidak ada apa-apa muncul sebuah goresan yang di atas goresan tersebut ada sesuatu yang mengalir, getah pohon berwarna merah itulah kesimpulanku.

Tiba-tiba saja pohon tersebut seperti membuka mata dan mulutnya, terlihatlah matanya yang berwarna merah dan mulutnya yang bolong berwarna merah pula. Itu bukan hanya satu, tapi hampir semuanya!

“Kau telah memanggil ‘Fire Tree’, monster pohon yang hidup dan menjengkelkan,” jelas kakakku sambil bersiap-siap.

“Eh, memangnya kenapa?” tanyaku lugu.

“Andai saja kau tidak mematahkan batangnya, kita pasti bisa lewat dengan tenang” jawab kakakku sambil mengeluarkan sesuatu dari ransel kecilnya.

“Eh~? Terus sekarang bagaimana?” tanyaku panik seakan akan aku berdosa besar.

“Terpaksa, karena sudah terlanjur. Gunakan belati ini, kita akan keluar dengan nekat!” perintahnya sambil memberikan belati dari ranselnya, aku pun membuang ranting yang sedari tadi aku pegang, dan menerima belati yang kakak berikan.

Mencabut belatinya lalu memakainya, seperti menggunakan pedang namun terbalik.

“Kau sudah siap?” tanya kakakku sambil memulai mengambil ancang-ancang untuk berlari.

“Yap, ini kesalahanku akan aku buat mereka diam kembali,” ujarku sambil mencoba mengambil ancang-ancang juga.

“Lari!” pekik kakakku menebas ranting pohon yang nyaris menyentuhnya.

Aku tak mau tertinggal sendiri, aku pun langsung berlari di belakang kakakku sambil memotong-motong ranting yang hendak menyentuhku. Beberapa kali kakakku memotong batang utamanya sekaligus dalam sekali tebas.

Tiba-tiba aku tersandung oleh akar pohon dan jatuh di sana, dengan cepat salah satu ranting Fire Tree mengunci salah satu kakiku lalu menggantungku.

Aku tak mau membuat susah kakakku, maka aku pun memotong ranting tersebut. Aku terjatuh dengan kepala duluan, dan aku pun kembali berlari menjauh dari sana sambil terus memotong-motong ranting yang menghalangiku.

“Ayo Etherias, tinggal sedikit lagi!” teriak kakaku menyemangati diriku.

“Baiklah! Ayo!” balasku dengan berapi-api sambil terus berlari seraya memotong-motong ranting yang berusaha menjebakku.

Tiba-tiba kakakku berhenti, dan aku pun berhenti pula di sebelahnya.

“Ada apa kak?” tanyaku keheranan melihat kakakku berhenti berlari, padahal di belakangku sudah banyak yang mulai menerkam kami dengan ranting-rantingnya yang panjang.

“Ini sih mudah, kenapa tidak kepikiran dari tadi...” ucapnya mengacuhkan pertanyaaku.

“Hah? Apa?”

「Open the Gate: Tsunami Strike」! rapal kakakku sambil menancapkan pedangnya ke tanah.

Seketika dari segaris pedang kakakku muncratlah air yang tingginya kurang lebih mencapai 8 meter, dan tiba-tiba air tersebut seakan akan terbalah dua, membuat Tsunami ke kanan dan ke kiri kami, menyapu bersih para monster pohon yang menjengkelkan ini.

“Ayo lari!!!” perintah kakakku setelah mencabut pedangnya dari tanah, aku pun langsung mengikutinya berlari keluar dari hutan menjengkelkan ini.

Kekonyolan pun terjadi. sebuah batu yang menyebalkan menghadang kakiku, DUK... aku pun terjatuh tersungkur di atas tanah. Belati yang ku pegang terjatuh ke tanah karena aku kurang kuat menggenggamnya.

“Aaakhhh!!!” teriakku mengerang kesakitan, karena kakiku dililit dahan pohon kering dengan lilitan yang sangat kuat, seakan-akan ikatan tersebut mengunci diriku secara total. Aku pun berusaha melepaskan lilitan tersebut dengan tanganku, namun sayangnya itu tidak bisa.

Keadaan semakin memburuk, tangan kananku pun langsung dililit secara total. Aku seakan-akan merasakan kematian di depanku, urat nadiku serasa mau putus. Tanganku mulai merasa mati rasa, aku pun semakin panik, saking paniknya suaraku tak mau keluar dari tenggorokanku.

Gawat! Aku bisa mati!! Teriak hatiku sambil terus mencoba melepaskan lilitan yang membelenggu tangan dan kakiku.

DRAAP... DRAAP... Suara langkah semakin lama semakin terdengar.

Kakak? Itukah kau?! Gumam hatiku mencoba lebih tenang. Aku pun menutup mata, berharap agar kematian itu menjauh dari diriku, berharap bahwa kehidupan masih berpihak padaku.

SRIIINK! TRAAKH! SRIIINK! TRAAKH! SRIIINK! TRAAKH! Suara pedang membelah dahan pohon terdengar ditelingaku. Telapak tanganku mulai merasakan aliran darah yang seakan-akan baru kembali. Kakiku juga demikian, semua rasa sakit itu seakan-akan sudah dicabut.

Aku pun membuka mata lagi, ternyata semua ranting tersebut berhasil disingkirkan. Aku pun mencoba duduk, tubuhku lemas.

“Ayo lari!” teriak kakakku sambil meninggalkanku yang tengah terduduk.

Aku pun melihat ke hadapanku, sebuah ranting pohon tengah mengambil belati yang baru saja aku jatuhkan. Aku pun menyeritkan dahi, menelan ludah khawatir. Diangkatnya belati tersebut, rantingnya semakin panjang, mendekati diriku.

Bagaikan meriam yang ditembakkan, belati tersebut menghujam diriku dengan sangat cepat.

Aku belum mau mati!!! Teriakku dalam hati seraya menutup mata kembali.

JLEB... belati tersebut menancap di tanah, aku bisa merasakan dinginnya besi belati tersebut, tapi anehnya aku sama sekali tak merasakan sakit sama sekali.

Aneh... aku sama sekali tidak sakit, tapi hawa-hawa belatinya terasa sangat pekat... Ujar hatiku sambil mencoba membuka mataku kembali.

Ternyata... Ternyata... Ternyata belatinya menancap pada kakiku! Tapi rasa sakit sama sekali tidak terasa. Setelah aku menghembuskan nafas berat aku kembali merasakan dimana belati itu menusuk kakiku, dan ternyata belati tersebut menancap diantara jempol kaki kananku dan jari telunjuk. Hoki!

“Bodoh! Apa yang kamu lakukan?! Kenapa lama sekali!” teriak kakakku sambil berlari ke arahku.

Dengan cepat ia memotong dahan tersebut lalu mencabut belati tersebut dengan pedangnya hingga setengah melayang. Dengan tenaganya yang kuat ia memukul belati tersebut sampai terhempas ke arah pohon yang baru saja nyaris membunuhku. Seperti sedang bermain baseball atau kasti.

Dan ‘DUAAAR...’ pohon tersebut pun meletus tanpa sisa.

“Ayo lari!” teriak kakakku sambil menarik tubuhku yang masih terasa lemas. Entah itu teriakan ke berapa untuk menyuruhku berlari.

= # =

“Kak... Yang barusan itu apa?” tanyaku setelah tiba dihutan yang pemandangannya normal kembali.

“Itu adalah Fire of Tree, monster rank 2 yang cukup mematikan, tapi itu bukan apa-apa buat kakak,” jawabnya santai.

Walaupun sedikit curiga aku tetap saja melanjutkan jalanku mengikuti kakak.

= # =

Dua jam pun berlalu lagi dengan senggang, namun kami terkadang mengobrol santai. Ataupun mencoba sesuatu yang belum pernah kucoba sebelumnya.

“Kak, kita sekarang sedang menuju ke mana dulu?” tanyaku lugu.

“Sebelum ke Kota Guardian di Marz Empire kakak disuruh ayah untuk pergi ke kantornya yang ada di kota telantar di Mythoforest ini, dulu ayah pernah berpesan jika terjadi apa-apa kita harus pergi kesana, sepertinya ayah telah menaruh beberapa perlengkapan modern untuk keadaan seperti ini.”

Sepercik harapan pun tumbuh di dasar hatiku, aku pun mengkhayal mungkin sekarang ayah sedang menunggu kami sambil bersantai dengan meminum teh lemon kesukaannya.

“Tapi kenapa kita harus melewati hutan ini?, apakah tidak ada jalan lain selain hutan?” ucapku dengan khawatir, walaupun sedang senang aku masih khawatir akan digigit oleh musuh bebuyutanku itu.

“Perjalanan melalui jalur melewati Mythoforest ini, merupakan jalur tercepat untuk bisa sampai kesana, kakak tahu kamu takut semut tapi tenang kalau ada makhluk apapun yang berusaha menggigitmu pasti kakak akan langsung menendang mereka ke langit,” jawab kakakku sambil sedikit tertawa melihatku yang sangat gelisah.

Kami pun mengobrol santai sambil terus berjalan melewati hutan ini, walaupun kakak terlihat senang tapi sebenarnya sekarang ia sedang siaga I, penuh waspada, bersiap untuk segala hal yang terjadi, sudah 3 jam kami memasuki hutan mythoforest ini tapi ajaibnya tidak ada satupun monster yang menyerang kami selama sehari ini entah merupakan keberuntungan atau sebuah tanda bahwa hal buruk akan terjadi.

“Ether... Berhenti,” cegah kakakku tiba-tiba.

“Ngg… Ada apa kak...?” tanyaku lugu seraya menghentikan langkah kakiku lalu berbalik badan.

“Ada yang janggal, kenapa belum ada monster lagi setelah kita melawati rawa beracun itu?” kata kakakku dengan wajah heran.

“Kalau begitu bagus dong,” kataku sambil tersenyum simpul.

“Aneh lho... Kalau nggak ada monsternya nggak seru,” balas kakaku dengan nada yang meremehkan.

Ya… Katakan sesukamulah, apa sih serunya melihat kematian di depan mata? Gumamku dalam hati dengan kesal.

“Apa yang kakak akan lakukan?” tanyaku pelan melihat kakakku melakukan kuda-kuda siaga, monster kah? Pikirku heran.

“Hanya akan men-scan tempat ini,” ucap kakakku dengan santai dan tenang.

「Wind Radar」 Tambahnya dengan tenang juga.

Tiba-tiba dari sekitar tubuh kakak berhembuslah angin sejuk.

“Sepertinya kita dapat tamu tak diundang,” ucap kakakku tiba-tiba dengan nada yang serius.

“Ma-maksudnya?”tanyaku bingung dengan keadaan.

“Siapa pun yang ada di sana... Keluarlah! Keberadaan kalian sudah tak bisa disembunyikan!” pekik kakakku ke bayang-bayang hutan.

Hah...’kalian’?! Teriak hatiku pelan dengan agak kaget, aku pun mundur ke belakang kakakku mencari tempat berlindung yang aman.

Awalnya tidak ada yang tejadi tapi kemudian muncullah dari bayang-bayang tiga orang memakai baju zirah hitam mengkilap, salah satu dari mereka langsung mencabut pedangnya dan langsung berlari dengan sangat cepat ke arah kami.

TRAANGGG! Tanpa kusadari sebilah pedang sudah berada di depan wajahku yang sedang ditahan lajunya oleh pedang kakakku, kejadian tersebut terlalu cepat untuk bisa dilihat dengan mataku yang masih bocah, sungguh pergerakan yang sangat cepat untuk bisa kulihat.

“Sebaiknya kamu lawan seseorang yang lebih seimbang daripada adikku yang masih bocah ingusan ini,” ucap kakakku sambil menahan pedang musuh.

「Tsunami Blast」!tanpa banyak basa-basi kakakku pun langsung mengeluarkan sihir ledakan air yang membuat musuh terpaksa harus bertahan atau menghindar seketika itu juga ia langsung membawaku bagaikan barang menjauhi mereka.

“「Superior Speed」” secara bersamaan juga ia mengucapkan mantra pemercepat tubuh.

“Kakak nggak bisa bertarung sambil melindungimu yang bagaikan tikus berada di perkelahian kucing ini,” ucap kakakku, sambil berlari membawaku.

“Jadi aku harus gimana kak, mereka bertiga kita cuma berdua, terlebih lagi salah satu dari mereka cepat, aku gak mungkin bisa lari dari mereka,” ucapku dengan panik serta khawatir.

“kamu gak usah lari, kakak punya cara yang lebih hebat dan alternatif,” jawabnya dengan nada yang begitu optimis dan tenang tak seperti diriku.

“Gimana kak ?! Umm… Sebaiknya cepat,” ucapku sambil melihat bahwa musuh sudah pulih dari keterkejutannya dan sedang berlari mengejar kami.

「Canon Blaster」!Kakakku pun mengeluarkan sihir anginnya sambil memegang bokongku, dan aku pun melesat ke langit

“Dasar Kakak Sialaaan!” teriakku seraya melesat ke langit nan biru.

Sebelum aku terbang terlalu jauh ke langit aku sempat mendengar kakak berteriak. “Setelah kamu mendarat! Jalanlah ke arah matahari! Kalau sudah melihat bangunan-banguan berhentilah dulu! Aku janji, pasti akan dataaang!!!”

Dan tanpa kusadari sekarang aku telah berada di atas awan, dan sekarang dalam proses jatuh.

“Ya tuhan, aku masih mau hidup… Masih sayang nyawa… masih belum mau mati!” ucapku dengan sangat cepat dalam keadaan ingin jatuh ke tanah.

Dan kemudian jarak antara tanah denganku tinggal seperti 30 meter lagi, saat itu aku sudah mengeluarkan air mata dan celanaku sedikit basah, dan pada saat itu aku mengucapkan kata-kata yang tidak jelas. Ini jelas lebih mengerikan dibanding roller coaster.

Saat jarak antara diriku dengan tanah tinggal satu meter lagi tiba-tiba muncul lingkaran sihir yang mengeluarkan angin yang menghentikan tubrukan antara diriku dengan tanah yang keras.

Dan aku pun mendarat dengan mulus di permukaan bumi. Jantungku berdetak kencang seakan-akan baru selamat dari kematian.

Aku pun merasa lega karena ternyata sihir kakak telah melindungiku dari tubrukan tersebut, tetapi aku merasa kesal karena kakak walaupun mempunyai wajah polos serta watados (wajah tanpa dosa), ternyata dibalik itu semua ia sungguh sangat kejam dan tak tahu sopan santun.

“Awas aja kalau nanti aku ketemu kakak nanti aku akan menjitaknya seratus kali,” ucapku geram.

Setelah membersihkan pakaianku yang kotor karena tanah aku pun teringat kata-kata kakak sebelum aku sempat melesat ke langit bahwa aku harus pergi ke arah matahari.

Dan aku pun pergi ke barat karena sekarang sudah hampir jam 2 siang, dan itu hanya menurut perkiraanku. Tapi aku sangat kesal selain karena aku baru saja dilemparkan ke langit itu juga karena jalan yang kulewati itu becek. Dan aku khawatir apa yang mungkin terjadi kepada kakakku, semoga tidak mati karena lawan kakak terlihat sangat tangguh, walaupun salah satu bagian hatiku berharap kakakku mati secara sadis. Tapi di belahan hati yang lain aku berharap bahwa akulah yang nantinya membunuh kakakku.

Yap, silakan saling berperang wahai tiga kubu hati… gumamku pasrah.

= # =

Sebagai kakak aku merasa mendapat tanggung jawab yang besar saat aku mendapat kabar bahwa ayah sedang terkepung bersama bawahannya di labotarium pusat, pesan terakhir yang diberikan oleh ayahku adalah untuk pergi ke gedung tertinggi di kota terlantar yang berada di Mythoforest, dan untuk harus melindungi adik kecilku yang masih berumur 13 tahun.

Ia hanya seorang anak yang masih tidak tahu apapun.

Yup, apapun tentangnya.

Saat melawan tiga orang pasukan elite M.Z aku merasa bersalah meninggalkannya sendirian ia sudah cukup merasakan kehilangan dan kesendirian, tapi saat merasakan mana musuh yang cukup kuat aku merasa harus menjauhinya dalam keadaan pertempuran tersebut.

Setelah aku meluncurkan adikku ke langit aku langsung membalikkan tubuh ke belakang dan menghadang musuhku. Ternyata musuhku sudah nyaris menyentuh punggungku. Tapi sayang, ia kurang cepat satu detik untuk melukaiku.

TRANK! TRANK! Suara nyaring pedang yang saling beradu terdengar menggema di hutan yang sepi dan sunyi ini.

“「Lighning Chain」” rapal musuh sembari mengibaskan pedangnya, dan seketika di tangannya keluarlah lingkaran sihir yang mengeluarkan rantai petir yang mencoba mengunci semua gerakanku.

“「Sky Jump!」 「Herkules Strength!」” namun itu semua sudah aku duga, dengan cepat aku melompat ke langit dengan dibantu oleh sihir anginku, seraya merapal penguat tubuh.

Secara tiba-tiba munculah lingkaran sihir. Aku pun langsung tersentak melihat hal itu.

“「Thunder Blast!」” seru orang yang sama yang berada di bawah. Seketika lingkaran sihir itu mengeluarkan petir yang mengincarku untuk disambar.

Aku pun tersenyum tipis seraya berkata, “「Wind Shield」” sambil menebas ke arah petir itu datang. Dan saat kedua sihir itu bertemu maka terjadilah ledakan kecil, dan aku terpelanting lima langkah di udara.

Seketika munculah lagi lingkaran sihir pengganggu dengan ukuran dua kali lipat lebih besar dari tubuhku. Dari sana munculah burung bersayap enam seraya mengeluarkan suaranya yang bising. Tanpa basa-basi, ia langsung menyerangku tanpa ampun dengan kedua cakarnya yang amat tajam.

“Ini sih sudah cukup untukmu makhluk rendahan「Wind Slash」” ucapku dengan santai namun disertai perasaan kesal di hati, seraya memotong badannya dari atas hingga terbelah dua.

Aku pun jatuh ke tanah, lalu mendarat dengan mulus. Tanpa jeda aku merasakan ada hawa-hawa pembunuh yang mendekat.

“「Electric Shock!」 「lightning」!” si `petir’ pun mengeluarkan sihir petirnya sambil menebaskan kedua pedangnya itu dengan buas ke arahku.

Dengan refleksku yang sangat cepat, aku pun dapat menghindari serangan buasnya hanya dengan menunduk dan bergeser selangkah ke depan. Namun seketika itu juga ia terpaku, seperti batu, seperti robot yang mother boat-nya rusak atau tak berfungsi, layaknya manusia yang sedang memikirkan langkah selanjutnya, diam membentuk kuda-kuda bertahan yang tidak sempurna.

Melihat tersebut aku langsung berdiri dan mundur beberapa langkah sambil memperhatikan keadaan sekitar seraya membentuk pertahanan kuda-kuda sempurna.

Menurut analisis cepatku, mereka memang merupakan prajurit yang elite dan juga merupakan tim yang saling melengkapi, orang yang dari tadi menyerangku ternyata merupakan orang pengendali petir, sedangkan yang ada di belakangnya merupakan necromancer yang dari tadi memanggil dan membuat monster yang kabar baiknya merupakan monster yang cukup kuat dan menurutku ia pun dapat mengeluarkan sihir air jarak jauh.

Ada juga yang paling belakang, sekarang ia sedang berkomat-kamit dengan tidak jelas. Dan aku harap ia tidak sedang melafalkan mantra berbahaya, dan biasanya mantra tingkat tinggi harus melafalkan mantra yang lumayan panjang.

Tanpa basa-basi aku berlari ke arah si ‘petir’ dan langsung menyabetkan pedangku ke arahnya dari sebelah kanan.

TRAANK! TRAANK! TRAANK! Tak kusangka ia bisa menagkis seranganku yang lumayan cepat.

Hmmm…boleh juga ya…

Akan kutunjukkan keganasan dan hasil latihanku selama ini... Gumamku dengan semangat yang membara seraya menyerang si ’petir’ tanpa memberi celah agar ia bisa menyerangku.

Akhirnya aku punya lawan yang sepantaran dan layak aku lawan... Gumamku sambil meluncurkan serangan bertubi-tubi ke arahnya, tanpa henti aku menyabetnya dari segala arah.

Aku terus menderaskan serangan hingga membuat musuh tak punya celah untuk melawan balik, seranganku membuat si petir kesusahan dan sampai-sampai seranganku itu cukup membuat musuh kewalahan.

Serangan terus kulancarkan, sampai-sampai membuat cukup membuat celah yang bisa aku manfaatkan untuk serangan peng-akhiran.

Bodoh... yang paling penting tidak dilindungi... Gumamku kecut.

Ya, sudah aku akan bermain-main denganmu dulu deh... Lanjut hatiku lagi dengan nada yang semangat.

Celah terbesarnya terletak dibagian jantungnya, sedari tadi aku melihat bagian dadanya tidak dilindungi sama sekali.

Aku sengaja tidak langsung menyerang ke daerah tersebut karena aku ingin menikmati pertarungan sengit ini, Aku melihat ia dengan rasa sedikit iba, tapi ya… Bodo amat, aku harus tetap membunuhnya, takkan ku berikan celah sedikit pun baginya.

Pedang berdentingan saling menghantam, kedua pedang tersebut tak mau ada yang mengalah hingga salah seorang dari mereka kalah, suara sayup-sayup terdengar tak bersahabat denganku.

Aku seperti mendengar suara, “Para bawahan seraaaang!” Aku sedikit terganggu, sesaat aku mengalihkan pandangan ke belakang dan ternyata…

Banyak sekali serangga monster yang hendak menyerangku, semua sudah diposisi siap menyerang.

Aku nyaris terkena sabetan dari si ‘petir’ tapi untung perisai air gelembungku terbentuk cepat dan langsung melindungi diriku.

Hmm.. semakin menarik saja. Gumamku sambil menebaskan pedangku yang terhunus.

Aku mengelak ke arah kanan, aku merasa kesal karena monster-monster menghalangiku fokus untuk melawan si ‘petir’.

Sepertinya aku harus menghabiskan serangga kecil ini dulu Gumamku dalam hati.

Dalam momentum yang tepat aku mengeluarkan sihir airku demi menyeimbangkan pertarungan. Walaupun masih terbilang gampang musuhnya.

「Tsunami Blast」!ucapku sambil menancapkan pedangku ke tanah, seketika itu juga lingkaran sihir terbentuk di bawah kakiku. Lalu keluarlah air setinggi 2 meter yang mengelilingiku.

Seketika meledaklah air dari sekitar tubuhku dan menyapu bersih semua monster yang berada dalam radius 20 meter dariku beserta mementalkan si ‘petir’ dan si ‘necromancer’.

Tapi aku belum selesai, aku melanjutkan seranganku kepada orang yang dari tadi kerjaannya hanya berkomat-kamit saja, aku merasa bahwa arti kata diam sama dengan berbahaya.

「Dragon Breath」,ucapku menyerang si komat-kamit namun secara bersamaan lafalan mantranya selesai.

Menjadi badai api yang menghanguskan musuhku! Mantra pemanggil 「Phoenix」 datanglah...” Kemudian tanpa diduga orang tersebut memanggil sang burung api legendaris, dan seperti para pembaca duga sihir anginku dihempaskan dengan begitu mudah oleh burung api tersebut.

Wah ini bisa berbahaya... Gumamku dengan nada khawatir.

Spontan aku langsung menjauhinya.

Saat aku mundur ke belakang, “「Lightning」” aku disambut hangat oleh sabetan petir yang begitu cepat.

Kabar baiknya aku dapat menghindar dari sabetan petir, refleksku serta kewaspadaanku pun terhadap musuh ikut bertambah. Aku meloncat setinggi-tinggi mungkin dengan sihir angin yang kupunya.

Semakin lama semakin menarik saja ya…

Pertempuran ini bakalan sengit... kata hatiku dengan riang disertai wajahku yang dihiasi senyum tipis dan sinis.

Saat di atas langit dibantu oleh sihir anginku, aku menghitung jumlah musuh yang terlihat.

Hmmmm… Tak sebanyak yang dulu ya… baiklah mari berpesta darah. Senyumku pun semakin tipis setelah aku bergumam riang serta senang.

“Ayo kita serang bersama!”

“Phoenix serang dia dengan semburan apimu!” kata sikomat- kamit gak jelas, dengan tenang.

“「Acid Liquid」!Kata si necromancer dengan nada kasar.

「Thousand Vold Electric」!” pekik si ‘petir’

Ketiga serangan penghancur tersebut meluncur deras ke arahku. Aku sih santai santai saja. Keep calm... And just kiding...

「Water Dragon Ruin」x3 !teriakku sambil menerkam semua serangan yang datang kepadaku dengan pedang kuacungkan ke semua serangan tersebut. Dengan mata tertutup, aku meluncur ke bawah dangan ganas menghindari benturan ke empat sihir tersebut.

DUAAR! Suara ledakan di langit terdengar meriah layaknya suara tepuk tangan yang bergema. Pedangku tertancap di tanah dengan tangan masih menggenggam gagangnya.

Aku harus mulai serius nih...

Kalau mereka punya burung api legendaris, maka aku punya hewan laut legendaris… Gumamku sambil mencabut pedangku dari tanah.

Pedang teracung ke langit, fokusku tertuju pada pedang tersebut, aku mulai mengeluarkan mana dengan skala yang lumayan besar.

Tiga Kristal yang berada di batang silang pedangku (cek anatomi pedang) bersinar terang, secara perlahan tapi pasti, cahaya biru terang menghiasi seluruh bagian pedangku bahkan sampai kepergelangan tanganku.

Hmm... sudah waktunya...

Ya… memang sudah waktunya...

Lepaslah...

Aku melompat ke atas dengan angin sebagai pendorongku, aku menghunuskan pedangku yang bercahaya itu ke arah semua lawanku. Dan seketika seluruh medanku yang beradius 100 meter langsung bercahaya biru terang.

“ini kesempatan bagus ayo kita habisi saja diaaa!” teriak salah seorang dari mereka.

“ayo serang!!!” sahut yang lain, tapi aku tidak peduli,aku hanya menanggapinya dengan senyum yang sinis.

Seraya berkata dengan santai, “matilah….” Seketika sinar itu seakan-akan meledak seraya menghancurkan segala yang diliputi cahaya tersebut.

= # =

Sudah sekitar 30 menit aku berjalan ke arah barat, aku terus berjalan dan terus berjalan hingga aku melihat bangunan-bangunan, bangunan-bangunan tersebut terlihat lebih tua daripada seharusnya.

Di perpustakaan kota aku sempat membaca bahwa kota-kota terlantar itu merupakan kota-kota yang ditelantarkan oleh manusia karena fenomena The Great Aurora bertahun-tahun silam karena fenomena itu telah mengubah wilayah, kehidupan dan berbagai hal.

Yang pada akhirnya membuat kota itu tidak layak dihuni manusia, aku berharap bahwa kota itu ditelantarkan bukan karena monster tapi karena hal lain.

Aku pun berhenti di depan gerbang masuk ke dalam kota tersebut sesuai pesan kakakku. Aku pun duduk di sebuah rerumputan yang empuk sambil berharap bahwa kakakku akan bertemu denganku di situ dan jika lebih baik aku akan bertemu dengan ayah juga.

Tanpa kusadari mataku tertutup kemudian aku jatuh tertidur pergi ke dunia mimpi, di sana aku bermimpi bahwa semuanya baik-baik saja ayah dan kakakku masih ada begitu pula dengan Reyzora, tapi mimipi itu sangat cepat dan tak terasa. Dan tiba-tiba aku merasa sudah mati, lalu dibangunkan oleh seseorang dari dunia luar.

“Etherias cepat bangun masa cuma nunggu 30 menit aja sampai ketiduran sih, yuk kita masuk,” ucap kakakku.

Saat membuka mata aku melihat kakakku yang tak kehilangan satu pun bagian tubuhnya, aku merasa lega karena tidak terjadi apa-apa terhadap kakakku, walaupun dalam hatiku aku ingin mencabik-cabiknya hingga tak tersisa.

“Jadi bagaimana pertarungannya, kak?” tanyaku dengan polos sambil mengumpulkan arwah-arwah yang barusan tengah terpecah.

“Biasa, kakak hajar mereka walaupun ada satu yang berhasil kabur,” jawabnya santai.

Seketika mataku membelak tak percaya, aku memikirkan siksaan apa yang diberikan kakakku kepada lawannya, tapi otakku masih terlalu kecil untuk memperkirakannya. Psikopat… Pikirku singkat.

“Seperti kakak duga mereka memakai baju zirah yang terbuat dari Matilum,” ucap kakakku sambil terus berjalan di depanku.

“Apa itu Matilum kak? Setahuku itu cuma bebatuan mineral yang payah,”

“Jangan pernah meremahkan sesuatu Ether, Matilum adalah sebuah logam yang dapat membuat aura aneh yang membuat monster menjauh tapi jika monster yang kuat merasakan aura tersebut maka hal sebaliknya akan terjadi, monster tersebut akan datang kepada kita,” jelas kakakku

“Owh… Kalau cuma itu mendingan pake material yang lain aja,” kataku sambil mengucek-ngucek mataku yang habis tidur.

“Ya gitulah, lahi pula mau sampai kapan kau termenung disitu? Ayo jalan,” ucap kakakku sambil berjalan menuju pedalaman kota Terlantar lebih jauh lagi.

Aku pun bergerak secepat yang aku bisa untuk mengejar ketinggalanku dari kakakku, dan akhirnya kami pun memasuki kota terlantar tersebut.

Sunyi. Sepi. Dingin. Suram. Itulah kesan pertamaku masuk ke dalam kota Terlantar. Aku berpikir semoga saja tidak ada kejadian yang berbahaya di sini. Kabut tipis menyelimuti kota ini menjadikannya terlihat lebih horor dan menyeramkan.

“Kak, sekarang kita pergi kemana?” tanyaku sambil terus berjalan.

“Seingat kakak, kata ayah kita harus pergi puncak gedung tertinggi yang berada di jantung kota ini,” ucap kakakku sambil menunjuk dengan telunjuknya kerah sebuah bangunan yang sepertinya memang ada di tengah kota ini.

Seingat kakak… gerutuku dalam hati.

Bisa-bisanya dia ragu disaat seperti ini, apa benar dia lulus SMA diusia 13 tahun? Sambungku dalam hati yang semakin meragukan prestasi yang pernah kakakku raih.

Aku melihat ke arah telunjuk kakakku, di sana walaupun cukup samar aku melihat bangunan yang sangat tinggi jika diperkirakan olehku mungkin tingginya mencapai 100 meter. Aku hanya melongo heran, kalau listriknya mati, naiknya make apa? Tanyaku dalam hati.

“Sudahlah jangan banyak basa-basi lagi, kamu mau ketemu ayahkan?! Cepat gerak!” hardik kakakku, yang membuyarkan lamunanku.

Kami pun terus berjalan. Menyusuri jalanan kota tersebut. Mencoba menembus kepedalaman kota yang sudah bertahun-tahun ditinggalakan.

Kadang-kadang aku merasa seperti diawasi oleh sesuatu dan merasakan hawa-hawa busuk, aku pun memberi tahu kakakku.

“Kak, apa kau merasakan sesuatu?!” tanyaku dengan nada yang agak ragu-ragu.

“Iya, sejak masuk ke kota ini kakak tahu bahwa tidak mungkin tidak ada yang aneh disini,” jawab kakakku dengan tenang dan santai.

Kami pun melanjutkan perjalanan walaupun kali ini dengan kewaspadaan tingkat tinggi.

Selama perjalanan kami menemukan benda-benda yang menarik seperti kerangka manusia, kerangka manusia, dan kerangka manusia anehnya kerangka-kerangka itu selalu berada di tempat-tempat aneh dan dalam keadaan aneh seperti di atas tiang listrik, di atas gedung, dan yang paling aneh ada kerangka yang terbalut kabel. Belum lagi dengan pose-pose mereka yang cukup aneh dan memprihatinkan.

Aku bergidik ngeri melihat hal tersebut semoga saja apapun yang berada disini bukan makhluk hidup sejenis serangga khususnya semut raksasa, aku membayangkan aku mendapat benjol besar atau menjadi daging cincang karena digigit oleh semut raksasa, membayangkannya saja sudah mengerikan. Apalagi sampai terjadi.

Kami pun sampai ke depan gedung tersebut tepat ketika aku mulai memikirkan hal-hal negative dan aneh. Semakin lama semakin negatif dan aneh. Bagaimana tidak aneh? dari luar saja gedung ini terlihat sangat kucel, kotor, berantakan, lusuh dan hancur. Dari pintunya saja sudah tercium bau pertempuran yang akan meletus dalam beberapa detik lagi, aku pun menelan ludah bergidik ngeri melihat semua ini.

“nah, tunggu apalagi mari kita masuk.” Ucap kakakku dengan wajah semangat dan santai.

Yup, apakah tidak ada hal yang lebih baik daripada memasuki bangunan misterius di kota misterius dengan kemungkinan ada makhluk buas yang akan menjadikan kita daging cincangan. Aku semakin ngeri dan takut akan hal-hal yang terjadi selanjutnya.

~~~

terima kasih sudah membaca...

silakan untuk di berikan saran dan kritik

jangan lupa di follow ya...

klo mau di folback bilang aja

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post