Najma Hafizha Fathoni

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
BAB 3, KENAPA?

BAB 3, KENAPA?

BAB 3, KENAPA?

Tania sekarang sudah sepuluh tahun. begitu juga dengan sahabatnya, Sabrina. Tania sudah dewasa, untuk mengerti kenapa selama ini dia tidak diperbolehkan berteman oleh mama dan papanya. Lebih dewasa untuk mengerti seberapa kejam aturan yang telah dibuat oleh papa dan mamanya. Dia sudah mengerti. Mengerti bukan karena dia sadar kalau yang dilakukannya salah. Tapi mengerti bahwa Tania benar benar dimanja oleh orang tuanya. Tania sudah besar ma.. jangan perlakukan Tania seperti anak kecil yang lemah lagi. Apa mama memang manganggap Tania lemah? Demikian pertanyaan yang tak pernah dijawab oleh papa dan mamanya.

Sabrina dan Tania sudah menjadi sahabat selama empat tahun terakhir. Masa masa susah dan senang sudah dilewati oleh Tania dan Sabrina bersama-sama. Walaupun persahabatan itu dilarang oleh orang tua mereka masing masing. Persahabatan mereka terjalin kuat selama empat tahun. Namun empat tahun terakhir pula mereka hanya bisa bertemu di sekolah. Mengingat mereka tidak akan memberitahukan ini kepada orang tua mereka.

“apa?!” tanya Tania tidak percaya. Suaranya bergetar. Tanpa dia sadari, matanya sudah berair. Mama dan papa Tania melotot marah, menatap dengan tatapan tajam. Putrinya, bocah berumur 10 tahun yang pemikirannya lebih dewasa daripada orang tuanya sendiri.

“Mama sudah membongkar handphone mu! Sudah mengecek chat yang ada di email mu! Kau melanggar aturan, Tania!” kata mama Tania galak. Tania menahan air matanya tumpah. “Kenapa kau berteman dengan Sabrina?!” tanya mama Tania lebih galak.

“aku tidak hanya berteman dengannya! Aku bersahabat dengannya! Lantas kenapa?!!” kata Tania membantah. Air matanya benar benar menetes saat itu.

“kau tau kan kalau orang tuanya adalah saingan terberat mama dan papamu?!” kata papa Tania terlihat lebih galak. Mungkin karena papa Tania adalah pria. Terlihat lebih tegas dibandingkan wanita. Kaki Tania bergetar lemah. Tidak sudi mendengar kata kata itu. “Tania, JAWAB!” kata papa Tania membentak Tania. Wajah Tania berubah. Wajah sendu, bercampur kecewa. Tania meneteskan air mata lagi setelah papa Tania membentaknya. “JAWAB, TANIA!” kata papa Tania lagi. “Iya aku tau, papa!” kata Tania kepada papanya. Menatap papa lamat-lamat. Matanya berkaca-kaca. Tersendat. “lantas apa hubungannya dengan persahabatan kami? Apa? JAWAB, PA! APA HUBUNGANNYA?!” kini Tania yang membentak papanya sendiri. Meneteskan air mata untuk kesekian kalinya. Wajah papa Tania sedikit melunak. Terdiam. Begitu juga dengan mama Tania.

“apa? Kenapa papa tidak menjawab?! Jawab, pa! jawab!” Tania terisak. Berusaha mengatur nafasnya yang tersengal.

“tentu ada jawabannya! Kau masih kecil dan kau belum mengerti!” kata mama Tania tegas. Tania menyeka air mata. Tersengal, dadanya sesak.

“aku sudah besar, ma. Mama dan papa yang bilang itu, iya kan? Kenapa sih mama dan papa membuat peraturan ini. Peraturan yang membuatku terpuruk. Dan aku akan dipindahkan sekolah hanya karena bersahabat dengan Sabrina? Yang orang tua nya saingan terberat mama?” itu benar. Tania akan dipindahkan sekolah. Demi tidak berteman oleh Sabrina. Suara Tania bergetar. Kakinya bergetar lemah.

“lantas itu kan musuh mama dan papa. Bukan musuhku! Aku tidak memedulikan perusahaan mama dan papa. Aku tidak peduli. Bukan uang yang kuinginkan. Tapi dunia persahabatan. Hanya itu ma. Kenapa mama melarangku? Kenapa papa melarangku? Aku hanya dapat bertemu Sabrina di sekolah. Hanya delapan jam selama sehari. Hanya 40 jam dalam seminggu. Apa mama tidak pernah merasakan betapa indahnya dunia persahabatan? Persahabatan yang sesungguhnya. Bukan yang seperti mama!” kata Tania menyeka ingus.

“kenapa, pa? Kenapa? Kenapa mama dan papa membuat aturan sekejam itu?” kata Tania dengan suara bergetar.

“mama dan papa tidak peduli dengan urusan persahabatan kalian! Intinya kau harus mentaati aturan itu! Kau harus tetap pindah sekolah!” Papa berkata tegas. Mendengar kata tidak peduli, hati Tania bagai diremuk remuk. Dibanting hingga menjadi pecah berkeping-keping. Belum pernah merasakan sakit hati yang paling berat. Bagaimana tidak? Sabrina adalah orang paling berharga di hidupnya. Sahabat pertama Tania. Tapi apa? Orang tuanya tidak peka. Tanpa segan-segan, Tania membanting foto mama Tania dengan teman-temannya yang norak, namun amat disayangi oleh mamanya. Mama Tania menutup mulutnya, terkejut. Begitu juga dengan foto papa Tania. Foto dengan teman-teman kantornya sedang reuni. Papa Tania terkejut. Menatap tidak percaya.

Perasaan ini.. entah apa yang dirasakan Tania. Ingin marah, tapi dia tidak dipercaya. Ingin berteriak, tapi dia terlalu lemah saat ini, bahkan untuk berteriak. Dia hanya bisa menangis.

“ini yang papa dan mama lakukan kepada Tania! Kepada hati Tania” kata Tania menunjuk nunjuk bingkai foto yang pecah menjadi beberapa bagian. Lantas berlari ke kamarnya. Membanting pintu sekeras yang dia bisa, sehingga pintu itu berdebam. Tidak peduli pintunya akan rusak. Lantas menangis di ranjangnya. Tania menutup wajahnya dengan bantal. Menangis terisak. Namun tidak ada yang peduli dengan isakannya itu. Kecuali kak Hana.

“Tania.. kau belum makan sejak siang tadi. Ayo, makan dulu oke?” kata kak Hana menenangkan Tania yang masih menangis dengan sisa air matanya. Namun tidak sesedih tadi. Sekarang sudah pukul delapan lewat lima belas menit, malam. Mama dan papa Tania mulai khawatir dengan Tania yang masih belum keluar sejak siang. Namun, Tania sudah terlanjur marah dan kecewa terhadap orang tuanya sendiri. Karena Ada yang pecah, namun bukan kaca. Dan ada yang sakit, namun tidak berdarah. Sampai sini sudah paham?

Satu minggu kemudian, Tania pindah sekolah. Ke sekolah yang tak kalah besar dibanding sekolah lamanya. Namun tetap saja berbeda karena tidak ada Sabrina di sisinya. Sikap Tania banyak yang berubah. Dari Tania yang cerewet, dan humoris, sekarang telah berubah menjadi Tania yang benar benar pendiam. Tidak bicara jika tidak ditanya. Gadis berumur sepuluh tahun berwajah sendu. Dan yang paling menyakitkan.. dia berpisah tanpa mengucapkan selamat tinggal kepada Sabrina. Perpisahan yang benar benar menyakitkan.

Keesokan harinya, masuk notifikasi chat dari Sabrina. Namun Tania tidak pernah menyentuh handphonenya lagi akhir akhir ini. Setiap kali mengingat Sabrina, pasti Tania merasakan itu lagi. Merasakan sakit yang tidak berdarah pada hatinya.

Sabrina bestiee Tania: “Tania.. kok kamu hari hari ini gak pernah online sih?kamu

sakit ya?kalau sakit.. maaf ya, aku gak bisa jenguk kamu..

nanti orang tuamu tau kalau kita sahabatan”

Mama Tania yang membacanya, memutuskan untuk me-replay chat dari Sabrina.

Tania bestiee Sabrina: “maaf. Tania sudah pindah sekolah di ibukota”

Hanya itu yang dijawab oleh mama Tania. Sedangkan di sisi Sabrina… Sabrina sign out. Meneteskan air mata. Aku tau kau tidak menginginkan ini, Tania. Bukan kau yang memutuskannya. Tapi.. kenapa? Kenapa persahabatan kita terlalu… canggung di mata orang tua kita? Aku.. akan selalu menunggu, dan mencarimu, Tania! Aku bersungguh-sungguh. Gumam Sabrina. Sabrina menyeka air matanya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post