Naba karima Aulalhida

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Santri Perdana-#2 Takdir Kasim

SANTRI PERDANA

Kasim menatap langit, seraya memohon kepada tuhan, meminta agar dijaga dan diistiqamahkan, walupun tetap dalam hatinya masih belum menerima sepenuhnya. Gedung-gedung pesantren itu menjadi saksi dirinya ingin berubah.

“Aku tidak akan mengecewakan mama, sukses dan tidak akan menjadi seperti ayah, aku aka lebih giat dalam belajar tunggu aku akan menjemputmu, Mama” meyakinkan hatinya .

Dia menyebarkan pandangan, takjub akan keindahan alam sekelilingnya. Hamparan sawah dan gunung-gunung yang mengelilinginya seakan jadi inti pengelihatannya.

“Indah sekali pemandangannya, rupanya tak buruk juga, mungkin aku akan betah tinggal di sini” ujarnya sambil melihat kanan kirinya

“Kasim ayo sini!, kita makan dulu”

“Ya bi.” Suaranya mulai terasa ringan

Mereka berdua makan bersama, sebagai tanda perpisahan keduanya.

“Nah sekarang kamu udah sah jadi santri, tinggal sekarang kamu sungguh-sunguh, biar nanti mama kamu bangga” tegas bibi pada Kasim.

“Siap bi, doakan saja, semoga Kasim betah disini dan dapet ilmu yang manfaat”

“Nah sekarang bibi mau pulang, jaga diri patuh sama ustadz-ustadzmu, satu lagi ini bekal buat kamu”sambil menyodorkan uang.

“terima kasih bi, hati-hati di jalan”

“Assalamualaikum”

“waalaikumsalam” sambil berjalan, keduanya melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan keduanya.

Kasim seorang anak urakan yang sebatang kara,kini ia menjadi seorang santri yang siap hijrah dari masa lalunya.

Hari pertama di pesantren.

“untuk santri baru semunya kumpul!” dengan nada yang keras seorang ustadz memanggil.

Mendengar suara itu sesegera Kasim berlari menuju aula santri di selatan Masjid.

“Assalamualaikum Wr. Wb., selamat datang anak-anak calon santri yang bapak banggakan, pada kesempatan ini, Alhamdulillah kita bisa bertemu, untuk membahas seputar pesantren ini, semoga kalian betah disini meskipun perdana masuk pesantren”

Perkataan ustadz semakin membuat jantung Kasim terpacu. Kasim sangat gugup untuk bertingkah sampai-sampai keringat dingin ia teteskan.

“ini guruku ya?”tanya Kasim pada seorang kakak kelas di sampingnya.

“Ia dek, namanya ustadz Ridwan, orangnya baiiik banget deh, pokoknya beliau guru favorit santri banget” dengan wajah yang serius, ia menjawab pertanyaan kasim.

“Oh..., kalu boleh tahu nama kakak siapa ya?”

“Saya?, nama saya Zaid, kalau kamu siapa? Tanyanya dengan wajah penasaran.

“Nama saya Kasim, saya dari Jakarta” timpal Kasim pada Zaid.

“Oh, ya udah nanti kita bicara lagi setelah selesai pengarahan dari pak ustadz ya”

“Iya kak, ditunggu”

Sampai habis ustadz menjelaskan seluk beluk pesantrennya, Kasim masih tetap gugup, hingga dia ditemui seseorang yang ia kenal dari kecil.

“Assalamualaikum, Kasim”

“Waalaikumsalam, kamu..., Kamu kan, Deni kok kamu disini?” dengan muka yang heran namun senang kasim berbicara dengannya.

“Aku udah 3 tahun disini, habis SD aku langsung pesantren. Kamu masuk pesantren juga?” dia bertanya seperti terheran-heran melihat Kasim ada di pesantren.

“Iya. Ceritanya panjang nanti kita ngobrol lagi, sekarang bantu ke kamar Al- Mizan

Aku mau nyimpen dulu barang-barangku!” tegasnya pada Deni.

“Oh, kebetulan aku rais[1] kamarnya, santai aja, ayo!”

“Wah, hebat kamu Den, baru tiga tahun udah jadi rais aja, ya udah ayo jalan”

Mereka berjalan sambill melihat sekeliling dengan penuh rasa takub melihat ribuan orang lalu lalang membawa tentengan mereka masing-masing. Sesampainya mereka di kamarnya, terlihat beberapa santri baru berderetan, mengisi formulir kamarnya.

“Den, kamu lapar gak?, aku ada nasi kita makan berdua” dengan nada candaan Kasim melontarkan pertanyaan yang sudah pasti jawabannya, karena Deni kelelahan.

“Ee..., tahu banget sih kamu aku lapar, pasti kamu liat wajahku ya?” dengan nada malu yang mengiya-kan jawaban tersebut. Akhirnya mereka makan, diantara makanya Deni memberi tahu Kasim sesuatu yang special.

“Sim, ini ni yang gak bakalan ada di orang biasa, ini santri punya!” dia berbicara seperti menggurui Kasim sambil bercanda.

“Apaan tu?”

“Ini di sebut Makluman Santri.pertama, biasanya seorang santri dengan gaya hidup salaf suka makan bareng, karena mabar itu bisa membuat kita cepat Kenyang. Sesuai yang diajarkan oleh Rasulallah SAW.”

“Oh., pantesan, santri pada barbar”

“eits.., bukan barbar, tapi kebersamaan” sanggahnya pada ucapan Kasim

“Lanjut kedua, Santri harus selalu bersikap hormat dan khidmat pada siapapun yang memberi ilmu, makanya kalo Yai[2] lewat, itu orang pada nunduk” tegasnya dengan muka yang agak serius.

“Kirain mau dimarahi” ucapnya tersendat sambil sedikit tertawa.

“Ah... Kamu nanti juga tahu sendiri”

Tak terasa bulir nasi dihadapannya raib. Mereka segera merapikan barang bawaan Kasim.

Cianjur, 17 Oktober 2017

Bismillahirahmanirahim, hari pertama di pesantren, semoga saja ini adalah awal yang baik, demi meraih kesuksesan untuk Mama, tunggu aku Ma.

Pelajaran pertama : ‘Makluman Santri’

1. Makan bareng seperti yang dilakukan Rasulallah SAW

2. Hormat dan khidmat pada guru/ustadz contonya pas kyai lewat kita harus nunduk.

Mungkin hari ini banyak pelajaran yang didapat tapi, hanya dua dulu aja yang diingat.

Ponpes Al-Qalbu

Kasim Atthayev

Diary itu ia tulis sebagai tanda siap untuk belajar dengan sungguh-sungguh di pesantren.

“Hey kamu Kasim ya?”

“Eh, Kak Zaid, sini ka kita ngobrol sambil ngemil,ngemil.?” Sapanya pada Zaid.

“Iya deh,” lagi-lagi tidak diacuhkan jika senior ditawari sesuatu untuk maksud tertentu.

“Kamu udah ngapain?” tanyanya pada Kasim

“Oh, ini kak habis beres-beres barang sekalian nyatet diary”

“Lah..., kirain habis ngapain. Kalo udah beres-beres biasanya santri-santri disini suka ngapalin Nadzom[3]an kitab atau baca qur’an,Sim.” Ucapanya memacu penasaran Kasim.

“Emang harus gitu kak?”tanyanya tak mengerti.

“Enggak sih, tapi itu sebagian daripada untuk memudahkan kita belajar, semisal kalo emang ada kitab yang harus dihafal, biasanya kita ngapalin Nazham. Terus kalo baca qur’an itu agar otak dan hati kita di bukakan dalam menyerap ilmu” tegasnya sambil menikmati camlan yang dihidangkan Kasim.

“Oh..., gitu ya kak, kalo gitu saya coba, makasih kak udah dijelasin” sembari tersenyum Kasim mencium tangan Zaid.

“Eits, don’t kiss my hand[4], ana belum pantas” sambil mengelakan tangannya dari ‘ sun tangan[5]’ Kasim.

“Ya udah kak, kalo belum boleh nanti aja ya. Maaf kak aku izin ke belakang dulu ya.”

“OK yo wis lah, aku juga sama masih ada urusan”

“Assalamualaikum!”

“Waalaikumsalam!”

Pertemuan Kasim dengan Zaid membuat Kasim, menambahkan kembali diarynya, dia menuliskan apa yang zaid sampaikan tadi dengan diresapi.

Tambahan, sebagai santri aku harus rajin menghapal terutama membaca Al qur’an agar otak dan hatiku terbuka bagi ilmu yang akan masuk pada diriku, tentunya itu adalah salah satu usaha dengan berinteraksi dengan tuhan kita supaya mudah untuk merayu keinginan kita.

Kasim menghabiskan hari pertama itu dengan penuh rasa penasaran dan ketidak puasan akan pesantren yang ia tempati sekarang. Terkadang ia masih memikirkan orangtuanya. Akan tetapi Kasim sangat bertekad untuk tidak berhenti dari pesantrennya.

“Aku harus menjadi kebanggaan orangtuaku, aku bisa bertahan disini sampai akhir.” Hatinya meyakinkannya agar lebih percaya diri.

Begitulah hari pertama Kasim di pesantrennya banyak sekali ilmu yang ia dapat, dan untuk nanti diamalkan.

“Pesantren adalah Miniatur Kehidupan di dunia nyata”

[1] Bahasa arab untuk pemimpin atau ketua

[2] Panggilan kecil untuk Kyai (Guru)

[3] Singkatnya adalah syair atau puisi.

[4] “Jangan cium tanganku.”

[5] Cium tangan sebagai rasa hormat.

SANTRI PERDANA

Kasim menatap langit, seraya memohon kepada tuhan, meminta agar dijaga dan diistiqamahkan, walupun tetap dalam hatinya masih belum menerima sepenuhnya. Gedung-gedung pesantren itu menjadi saksi dirinya ingin berubah.

“Aku tidak akan mengecewakan mama, sukses dan tidak akan menjadi seperti ayah, aku aka lebih giat dalam belajar tunggu aku akan menjemputmu, Mama” meyakinkan hatinya .

Dia menyebarkan pandangan, takjub akan keindahan alam sekelilingnya. Hamparan sawah dan gunung-gunung yang mengelilinginya seakan jadi inti pengelihatannya.

“Indah sekali pemandangannya, rupanya tak buruk juga, mungkin aku akan betah tinggal di sini” ujarnya sambil melihat kanan kirinya

“Kasim ayo sini!, kita makan dulu”

“Ya bi.” Suaranya mulai terasa ringan

Mereka berdua makan bersama, sebagai tanda perpisahan keduanya.

“Nah sekarang kamu udah sah jadi santri, tinggal sekarang kamu sungguh-sunguh, biar nanti mama kamu bangga” tegas bibi pada Kasim.

“Siap bi, doakan saja, semoga Kasim betah disini dan dapet ilmu yang manfaat”

“Nah sekarang bibi mau pulang, jaga diri patuh sama ustadz-ustadzmu, satu lagi ini bekal buat kamu”sambil menyodorkan uang.

“terima kasih bi, hati-hati di jalan”

“Assalamualaikum”

“waalaikumsalam” sambil berjalan, keduanya melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan keduanya.

Kasim seorang anak urakan yang sebatang kara,kini ia menjadi seorang santri yang siap hijrah dari masa lalunya.

Hari pertama di pesantren.

“untuk santri baru semunya kumpul!” dengan nada yang keras seorang ustadz memanggil.

Mendengar suara itu sesegera Kasim berlari menuju aula santri di selatan Masjid.

“Assalamualaikum Wr. Wb., selamat datang anak-anak calon santri yang bapak banggakan, pada kesempatan ini, Alhamdulillah kita bisa bertemu, untuk membahas seputar pesantren ini, semoga kalian betah disini meskipun perdana masuk pesantren”

Perkataan ustadz semakin membuat jantung Kasim terpacu. Kasim sangat gugup untuk bertingkah sampai-sampai keringat dingin ia teteskan.

“ini guruku ya?”tanya Kasim pada seorang kakak kelas di sampingnya.

“Ia dek, namanya ustadz Ridwan, orangnya baiiik banget deh, pokoknya beliau guru favorit santri banget” dengan wajah yang serius, ia menjawab pertanyaan kasim.

“Oh..., kalu boleh tahu nama kakak siapa ya?”

“Saya?, nama saya Zaid, kalau kamu siapa? Tanyanya dengan wajah penasaran.

“Nama saya Kasim, saya dari Jakarta” timpal Kasim pada Zaid.

“Oh, ya udah nanti kita bicara lagi setelah selesai pengarahan dari pak ustadz ya”

“Iya kak, ditunggu”

Sampai habis ustadz menjelaskan seluk beluk pesantrennya, Kasim masih tetap gugup, hingga dia ditemui seseorang yang ia kenal dari kecil.

“Assalamualaikum, Kasim”

“Waalaikumsalam, kamu..., Kamu kan, Deni kok kamu disini?” dengan muka yang heran namun senang kasim berbicara dengannya.

“Aku udah 3 tahun disini, habis SD aku langsung pesantren. Kamu masuk pesantren juga?” dia bertanya seperti terheran-heran melihat Kasim ada di pesantren.

“Iya. Ceritanya panjang nanti kita ngobrol lagi, sekarang bantu ke kamar Al- Mizan

Aku mau nyimpen dulu barang-barangku!” tegasnya pada Deni.

“Oh, kebetulan aku rais[1] kamarnya, santai aja, ayo!”

“Wah, hebat kamu Den, baru tiga tahun udah jadi rais aja, ya udah ayo jalan”

Mereka berjalan sambill melihat sekeliling dengan penuh rasa takub melihat ribuan orang lalu lalang membawa tentengan mereka masing-masing. Sesampainya mereka di kamarnya, terlihat beberapa santri baru berderetan, mengisi formulir kamarnya.

“Den, kamu lapar gak?, aku ada nasi kita makan berdua” dengan nada candaan Kasim melontarkan pertanyaan yang sudah pasti jawabannya, karena Deni kelelahan.

“Ee..., tahu banget sih kamu aku lapar, pasti kamu liat wajahku ya?” dengan nada malu yang mengiya-kan jawaban tersebut. Akhirnya mereka makan, diantara makanya Deni memberi tahu Kasim sesuatu yang special.

“Sim, ini ni yang gak bakalan ada di orang biasa, ini santri punya!” dia berbicara seperti menggurui Kasim sambil bercanda.

“Apaan tu?”

“Ini di sebut Makluman Santri.pertama, biasanya seorang santri dengan gaya hidup salaf suka makan bareng, karena mabar itu bisa membuat kita cepat Kenyang. Sesuai yang diajarkan oleh Rasulallah SAW.”

“Oh., pantesan, santri pada barbar”

“eits.., bukan barbar, tapi kebersamaan” sanggahnya pada ucapan Kasim

“Lanjut kedua, Santri harus selalu bersikap hormat dan khidmat pada siapapun yang memberi ilmu, makanya kalo Yai[2] lewat, itu orang pada nunduk” tegasnya dengan muka yang agak serius.

“Kirain mau dimarahi” ucapnya tersendat sambil sedikit tertawa.

“Ah... Kamu nanti juga tahu sendiri”

Tak terasa bulir nasi dihadapannya raib. Mereka segera merapikan barang bawaan Kasim.

Cianjur, 17 Oktober 2017

Bismillahirahmanirahim, hari pertama di pesantren, semoga saja ini adalah awal yang baik, demi meraih kesuksesan untuk Mama, tunggu aku Ma.

Pelajaran pertama : ‘Makluman Santri’

1. Makan bareng seperti yang dilakukan Rasulallah SAW

2. Hormat dan khidmat pada guru/ustadz contonya pas kyai lewat kita harus nunduk.

Mungkin hari ini banyak pelajaran yang didapat tapi, hanya dua dulu aja yang diingat.

Ponpes Al-Qalbu

Kasim Atthayev

Diary itu ia tulis sebagai tanda siap untuk belajar dengan sungguh-sungguh di pesantren.

“Hey kamu Kasim ya?”

“Eh, Kak Zaid, sini ka kita ngobrol sambil ngemil,ngemil.?” Sapanya pada Zaid.

“Iya deh,” lagi-lagi tidak diacuhkan jika senior ditawari sesuatu untuk maksud tertentu.

“Kamu udah ngapain?” tanyanya pada Kasim

“Oh, ini kak habis beres-beres barang sekalian nyatet diary”

“Lah..., kirain habis ngapain. Kalo udah beres-beres biasanya santri-santri disini suka ngapalin Nadzom[3]an kitab atau baca qur’an,Sim.” Ucapanya memacu penasaran Kasim.

“Emang harus gitu kak?”tanyanya tak mengerti.

“Enggak sih, tapi itu sebagian daripada untuk memudahkan kita belajar, semisal kalo emang ada kitab yang harus dihafal, biasanya kita ngapalin Nazham. Terus kalo baca qur’an itu agar otak dan hati kita di bukakan dalam menyerap ilmu” tegasnya sambil menikmati camlan yang dihidangkan Kasim.

“Oh..., gitu ya kak, kalo gitu saya coba, makasih kak udah dijelasin” sembari tersenyum Kasim mencium tangan Zaid.

“Eits, don’t kiss my hand[4], ana belum pantas” sambil mengelakan tangannya dari ‘ sun tangan[5]’ Kasim.

“Ya udah kak, kalo belum boleh nanti aja ya. Maaf kak aku izin ke belakang dulu ya.”

“OK yo wis lah, aku juga sama masih ada urusan”

“Assalamualaikum!”

“Waalaikumsalam!”

Pertemuan Kasim dengan Zaid membuat Kasim, menambahkan kembali diarynya, dia menuliskan apa yang zaid sampaikan tadi dengan diresapi.

Tambahan, sebagai santri aku harus rajin menghapal terutama membaca Al qur’an agar otak dan hatiku terbuka bagi ilmu yang akan masuk pada diriku, tentunya itu adalah salah satu usaha dengan berinteraksi dengan tuhan kita supaya mudah untuk merayu keinginan kita.

Kasim menghabiskan hari pertama itu dengan penuh rasa penasaran dan ketidak puasan akan pesantren yang ia tempati sekarang. Terkadang ia masih memikirkan orangtuanya. Akan tetapi Kasim sangat bertekad untuk tidak berhenti dari pesantrennya.

“Aku harus menjadi kebanggaan orangtuaku, aku bisa bertahan disini sampai akhir.” Hatinya meyakinkannya agar lebih percaya diri.

Begitulah hari pertama Kasim di pesantrennya banyak sekali ilmu yang ia dapat, dan untuk nanti diamalkan.

“Pesantren adalah Miniatur Kehidupan di dunia nyata”

[1] Bahasa arab untuk pemimpin atau ketua

[2] Panggilan kecil untuk Kyai (Guru)

[3] Singkatnya adalah syair atau puisi.

[4] “Jangan cium tanganku.”

[5] Cium tangan sebagai rasa hormat.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post