Jasmine Sonia Failasufa

gadis remaja yang sedang menempuh pendidikan di sekolah tinggi ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Harus kuat, ya!
Semoga menghibur :)

Harus kuat, ya!

```

Aku selalu teringat dengan sesosok mama yang sudah tiada 2 tahun lalu. Tepatnya saat aku baru saja menaiki kelas 2 SMA, satu tahun yang lalu. Itu bukan perkara hal yang mudah untuk hidup sebagai pengganti mama di keluargaku.

Ayahku seorang pengangguran. Dia terlalu malas untuk bekerja mencari uang. Terkadang aku berselisih paham dengan ayah yang selalu mennyuruhku untuk bekerja dan tidak sekolah. Tentu saja aku menolak ucapannya. Mama selalu mengajarkanku bahwa dunia pendidikan adalah hal yang penting dari apapun. Tanpa uang, jika kita punya pendidikan itu akan membuat masa depan kita bagus dan terjamin. Lagipula, bekerja adalah tugas seorang ayah.

Selama menjadi pelajar tingkat atas itu, aku sering diam-diam bekerja sambilan. Memenuhi standar kehidupan satu-satunya adikku yang masih duduk di kelas 2 SMP karena ayah pengangguran, aku harus mempertahankan posisi nama baikku.

Tapi aku juga tahu, tidak selamanya kebohongan itu berbuah manis. Apapun alasan yang digunakan untuk menutupi kebohongan, suatu saat juga akan terkuak dengan seiringnya waktu.

```

"Mila, ini uang untuk SPP kamu.. dan ini uang untuk uang sakumu selama seminggu dulu ya, seminggu kedepannya Kakak akan berikan lagi," ucapku memberikan selembar uang berwarna merah itu dalam satuan rupiah.

"Tidak usah, Kak.. Mila nggak apa-apa kok sebulan hanya punya uang saku sepuluh ribu.. lagipula, bagaimana dengan pendaftaran, Kakak? Bukankah, Kakak akan ingin kuliah?" tanya Mila dengan polosnya.

Aku menatap gadis yang mulai beranjak dewasa itu. Rambutnya yang lurus persis dengan mama, membuatku mengingat mama dengan sisi kedewasaannya.

"Tidak apa, nanti Kakak coba cari pekerjaan lain," ucapku.

"Sudahlah, Kak.. Kakak jangan terlalu mencari pekerjaan.. Kakak akan lulus sekolah, Mila nggak mau pihak sekolah mengetahui Kakak bekerja dan akan dikeluarkan.. padahal bentar lagi Kakak akan lulus," jawab Mila yang membuatku iba mengingat peraturan sekolah yang ketat itu.

Aku tersenyum. "Tidak apa.. percayalah dengan, Kakak!"

"Cih! Dasar anak bandel! Dibilangin nggak usah sekolah kenapa masih aja ngebantah?! Kerja ya kerja! Nggak usah sekolah sekalian!" bentak ayah tiba-tiba yang kali itu membuatku merasa lelah untuk menjawab ocehan ayah yang memuakkan.

Ayah berjalan menuju dapur seolah tidak memerhatikan kami lagi.

"Sudah, Kak.. ayah memang seperti itu, sudah lupakan..," ucap Mila yang membuatku seketika meredakan kekesalan.

Entahlah, seorang gadis yang dulunya lugu, kini mampu meredakan amarahku.

```

Aku terdiam membeku ketika membaca surat pengeluaran siswa di kantor guru waktu jam istirahat itu.

"Kau sudah paham, Zaera Ananda?" ucap pak Kepala Sekolah padaku ketika aku meletakkan lembaran itu ke atas mejanya lagi.

Aku mengangguk. Menunduk sedalam mungkin.

"Wah.. kukira kamu adalah murid baik-baik yang dapat menjadi teladan adik kelasmu! Seorang wakil ketua osis! Murid cerdas! Tapi kenyataannya, kau melanggar aturan yang begitu penting dari sekolah ini.. sungguh kau murid rendah."

JLEB!

Ucapan itu membuatku merasa sakit hati. Aku tahu, aku tidak bisa menjadi teladan untuk adik kelas! Tapi, bukan berarti aku adalah murid rendahan!

"Jadi, sesuai sanksi yang tertulis pada peraturan. Kau harus dikeluarkan, maafkan saya, Zaera..," ucap pak Kepala Sekolah.

"Pak.. dengan segenap hati saya akan keluar dari sekolah ini.. tapi, bisakah saya diberi keringanan untuk di sini dulu sampai kelulusan sekolah? Dua bulan lagi saya akan ujian dan itu tidak akan memakan waktu cukup lama sampai saya punya ijazah kelulusan SMA," ucapku memohon.

Kepala Sekolah memutar bola matanya seolah sedang berpikir dengan keputusannya.

"Saya tahu dengan kondisi ekonomi kamu, Zaera.. apalagi saya teringat dengan almarhum Ibu Amanda. Bukankah kamu mendapatkan beasiswa untuk sekolah di sini?"

"Iya, Pak.. jujur kondisi ekonomi saya begitu tidak stabil setelah mama meninggal. Saya bekerja sampingan untuk menghidupi biaya kehidupan adik saya sehari-hari. Ayah saya seorang pengangguran, saya dan ayah selalu bertengkar setiap hari hanya gara-gara kondisi ekonomi kami. Ayah saya selalu menyuruh saya bekerja dan jangan mencari pendidikan, begitu juga dengan adik saya. Tapi saya selalu mengingat pesan mama yang selalu menyuruh kami untuk terus di dunia pendidikan. Jadi, tolonglah saya sampai mendapat ijazah SMA untuk masa depan saya dan adik saya, Pak!"

Hanya detikan jam yang terdengar di ruangan itu.

Kepala Sekolah menghisap rokoknya dan menghembuskannya. "Baiklah, Zaera.. karena saya sudah mengetahui kondisi ekonomimu seperti itu yang membuatmu terpaksa untuk bekerja. Saya perbolehkan kamu untuk bekerja dan bersekolah di sini asal dengan syarat.. kamu harus menjadi lulusan terbaik di kabupaten tahun ini, bagaimana?" usul Kepala Sekolah yang membuat senyum mengembang pada raut wajahku.

"Saya usahakan yang terbaik, Pak!" jawabku bersemangat yang membuat bapak Kepala Sekolah itu menaikkan kumis tebalnya karena tersenyum juga.

"Baiklah, silahkan kembali ke kelas," suruhnya yang membuatku mengangguk dan melangkahkan kaki dengan perasaan yang begitu tak bisa kutebak sendiri. Terlalu senang dan bahagia.

```

"Wah.. selamat ya, Kak!" ucap Mila yang begitu senang dengan kejadian bersama Kepala Sekolah yang kuceritakan padanya.

"Syukurlah, dengan begini kita akan sangat terbantu," jawabku.

Mila tertawa kecil. Ah, tawa itu lagi-lagi mengingatkanku dengan Mama.

"Ayah kemana, Mila?" tanyaku di sela tawanya.

Mila berhenti tertawa dan seolah mencoba berpikir kembali ke mana ayah pergi. "Ah, iya! Pergi dengan om-om tadi! Nggak tahu siapa," jawab Mila dengan menjetikkan jarinya karena teringat.

"Om-om? Siapa?"

"Nggak tahu, nggak pernah ngelihat ju-"

Belum sempat Mila menyelesaikan kalimatnya, suara pintu terbuka dan kalimat aku pulang dari ayah terdengar dari depan.

"Ayah udah pulang, makan dulu yuk!" tanggap Mila seketika yang mendapati ayah dengan senyum bungahnya.

"Ah, nanti dulu ayah makannya! Kalian bersiap-siaplah! Segera masukkan segala pakaian dan barang-barang penting kalian untuk dibawa pergi!" ucap ayah seketika dengan perasaan senangnya yang terlihat dari raut wajahnya, yang membuatku dan Mila hanya saling bertatapan bimbang.

"Maksud, Ayah?" tanyaku mencoba mencerna kalimat ayah.

"Ayah bertemu dengan seorang pria yang kaya raya yang mau mengadopsi kalian! Dengan begini ayah tidak akan susah-susah mengurusi kalian!" ucap ayah yang masih dengan perasaan bahagianya.

Aku terkejut. Begitu juga Mila yang tampak terkejut dari raut wajahnya.

"Adopsi?" tanya Mila tidak percaya.

"Iya, ayolah cepat masukkan barang-barang kalian dan pergi bersama orang kaya itu! Dia sedang menunggumu di mobil, dia nggak bisa ikut ke sini karena harus mengurusi surat adopsi!"

"Apa-apaan ini, Ayah! Kami tidak mau diadopsi!" bantahku dengan keras. Kali itu aku benar-benar membentak ayah karena sudah muak dengan ini semua.

"Kalian bodoh atau bagaimana, hah?! Kalian di adopsi akan membuat ayah kaya dan kalian hidup bahagia! Tidak usah kalian kerja-kerja segala yang membuat hidup kalian sendiri susah! Menyusahkan ayah saja!"

Aku semakin membantah. "Menyusahkan, Ayah?! Selama mama meninggal, aku yang mengurus Mila! Aku yang mencari uang untuk kehidupan keluarga kita! Aku yang berjuang agar tidak dikeluarkan dari sekolah karena bekerja! Dan sekarang?! Ayah yang mengatakan bahwa kami menyusahkan, Ayah?! Orang tua macam apa, Ayah ini?!" ucapku dengan cepat yang membuat Ayah mengkerutkan keningnya dan menyimpan segala amarahnya padaku.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Aku sedikit merintih. Itu pertama kalinya aku ditampar seperti ini. Tidak kusangka, air mata yang kusimpan sejak bertengkar dengan ayah karena akan mengadopsi kami sudah tumpah hanya karena tamparan ayah padaku.

"Jujur, ayah menyesal mempunyai anak sepertimu," ucap ayah tanpa ekspresi apapun. Datar dan tidak peduli seperti biasanya.

"Sudah, Kak.. lebih baik kita ikutin kemauan ayah, ayo kita kemasi barang-barang kita," ucap Mila dan menggandeng tanganku untuk segera melangkahkan kaki dari posisi itu.

Aku menatap Mila. Raut wajahnya yang sendu seolah mengatakan padaku untuk berhenti saja dengan pertengkaran ini. Aku melemas dan lebih memilih melangkahkan kaki mengikuti ucapan Mila. Mengemasi barang secepat mungkin ke dalam tas kresek maupun kardus kecil.

Tidak memakan waktu lama, sekitar 15 menit kami sudah selesai mengemasi barang kami secepat mungkin. "Kakak sudah selesai?" tanya Mila yang hanya kujawab dengan anggukan saja dan menutup tas yang sempat kulirik foto keluargaku di posisi paling atas, senyum mama.

Kami keluar kamar dan kudapati Ayah sedang menghitung uang banyak dari sebuah koper di kursi ruang tamu.

"Kami pamit, Ayah," ucap Mila yang hanya dijawab anggukan saja oleh Ayah.

Aku menatap ayah pilu. Aku hanya berpikir. Apakah ayah sanggup untuk hidup sendirian jika hidup dengan kami saja selalu tidak sanggup? Ah, mungkin dengan begini ayah akan bahagia dengan pilihannya.

```

"Kakak, mikirin apa?" tanya Mila yang membuatku membuyarkan lamunanku di masa lalu.

Aku menatap lega gadis kecil dulu yang kini sudah kuliah di universitas ternama.

"Nyari jodoh buat kamu," jawabku asal-asalan.

"Ih, Kakak! Aku nanya beneran nih!" kesal Mila dengan melipat tangan di depan dadanya dan menatapku untuk mendapat jawaban yang diinginkan.

Aku yang sedang berdiri di balkon kamar melihat jalanan, segera mengubah posisi badan mengarah padanya.

"Kakak teringat dengan masa lalu kita dulu," jawabku.

"Ah..," respon Mila yang sepertinya juga teringat masa itu, "itu masa-masa paling sulit buat kita. Kakak yang harus bekerja dan ayah yang malah memilih orang lain untuk mengadopsi kita," sambung Mila dan menatap jalanan yang ramai dengan penjual kaki lima siang hari itu.

"Kita tidak tahu rencana Tuhan bagaimana, Tuhan selalu memberikan yang kebahagian setelah kesusahan. Siapa sangka yang mengadopsi kita ternyata saudara kembar mama, iya kan?"

"Ngomong apa nih?" tiba-tiba muncul suara dari ambang pintu yang membuatku dan Mila menoleh bersamaan.

"Eh, Bunda..," ucap Mila dengan tawa tercyduknya yang membuat bunda, ibu angkat kami, mengangkat satu alisnya keheranan.

"Besok kakakmu itu mau lamaran, harusnya kalian seneng-seneng dong!" usul bunda pada Mila dengan kedipan satu matanya padaku yang membuatku tersenyum malu.

"Iya nih, masa' kakak udah mau nikah sedangkan aku pacar aja belum punya!"

"Nggak boleh pacaran! Harus langsung lamaran kayak Kakak!" jawabku gemas sambil mencubit pipinya karena gemas. Padahal, gadis itu sudah kuliah. Tidak sama seperti dia masih duduk di kelas SD ataupun SMP dulu, sayangnya di mataku dia masih seorang gadis kecil yang sama untukku.

"Gimana kalau nanti sore kita kunjungi makam mama dan ayah kalian? Kita berdo'a dan minta restu buat Zaera yang akan lamaran," celetuk Bunda yang dijawab anggukan setuju sekali oleh Mila.

"Terus pulangnya makan-makan! Ngerayain kelulusan Kakak di universitas dengan lulusan terbaik tahun ini! Kakakku emang selalu meraih terbaik ya!" ucap Mila yang kemudian memelukku.

Bunda tersenyum melihatku. Aku mengangguk bahagia.

Itu sudah lama. Sangat lama. Beberapa tahun lalu, Mama yang selalu menguatkan aku dengan semua ucapannya di saat beliau sakit. Dan kehidupan bersama ayah yang membuatku kuat dalam batin dan fisik sebelum kami kehilangan beliau juga. Terima kasih. Batinku.

TAMAT.

Hai, Guys.. bertemu lagi nih sama cerpen si Jasmin.

"Kok, Kak Jasmin nulis cerpen terus sih.. kapan nulis blognya? Aku kangen nih sama pengalaman-pengalaman seru, Kakak!"

Wah.. oke-oke.. secepatnya akan kuingat-ingat kembali pengalaman-pengalaman seruku yang bahkan pernah bertanding adu panco dengan seorang superman. Hm.. aku nggak bisa janjiin kapan lo ya nulis selanjutnya, do'akan saja secepatnya ^_^

Oh ya, mau tahu aku? Bisa kunjungi akun instagramku kok!@minemine_19 atau @its.mineeee_19Kalian bisa berkomunikasi denganku di sana! Aku tunggu loh direct kalian! ^_^

Atau, kirim pesan lewat emailku:[email protected]

Semoga menghibur ya cerpen kali ini >_<

Salam Penulis,

Jasmine Sonia Failasufa

Muach :3

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeeeeennnnnn kok ayahnya bisa meninggal kak?

07 Feb
Balas

Cieeeee, kepo >~< Nggak-nggak, aku canda.. kalau masalah ayahnya bisa meninggal itu.. coba kamu tanya ke Zaera aja. Ups :'

08 Feb

astaga, disuruh nanya sama tokoh fiksi? aku mimpi ya?

08 Feb

Wkwkwkwkwk >v<

08 Feb

bagus bgtt kaaaaaaaaaaaaaak

08 Feb
Balas

Iya, makasih.. Do'akan kedepannya lebih bagus ^_^

08 Feb

bagus bgt kak.

08 Feb
Balas

Iya makasih, do'akan kedepannya lebih bagus ^_^

08 Feb

Itu fiksi kan?? Itu kk ngarang kan? wkwk, seru ihhh, oiya aku mo tnyy kk kls brp skrg?? Tinggalny dmn??

08 Feb
Balas

Iya, itu fiksi.. masak non fiksi? Non fiksi kan contohnya buku pelajaran >~< Iya kakak ngarang sendiri, nggak sebagus ekspetasi ya :( Do'akan kedepannya makin baik :) Makasih.. Boleh scroll di akunku, postingan pertamaku adalah profilku. Ups! Belum terlalu lama kok postingan profilku, jadi kalau mau cari.. tinggal scroll sampek 'mentok' di akunku. Ups >_<

08 Feb

wkwkwk, okedeh kak

09 Feb



search

New Post