Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 11 malam. Segera kuketik dengan cepat beberapa dokumen yang harus disetorkan besok. Ah, ini membuatku harus pulang larut.

“Sudah selesai belum?” tanya temanku sekaligus tetanggaku yang berada di sampingku. “Sebentar lagi. Kalau mau pulang dulu tidak apa-apa kok, aku bisa sendiri,” jawabku.

Namun, temanku itu menggelengkan kepalanya. “Sekalian tungguin kamu saja deh,” responnya.

Aku tersenyum. Memberikan kesan terima kasih padanya. Lantas, kembali mengetik untuk menyelesaikan dengan segera.

“Aku mau beli minum di kantin, kamu titip sesuatu?” tanyanya.

“Tidak usah, terima kasih,” jawabku.

Temanku itu hanya mangut-mangut, pertanda mengerti. Lantas, beranjak meninggalkanku. Kini, aku sendirian. Hanya ada suara jarum jam yang bergerak per detiknya. Ditambah, suara keyboard yang benar-benar menemaniku di kantor lantai 3 itu. Tidak lama, aku merasa hawa dingin mulai merasuki tubuhku. Membuat andrenalinku menegang tiba-tiba.

Grek! Suara kursi di depanku tiba-tiba saja bergerak. Aku menoleh dan menatap tajam kursi itu. Meyakinkan diri sendiri kalau tidak-akan-ada apa-apa di depanku. Kemudian, aku teringat segala bentuk cerita yang pernah aku dengar. Sendirian di kantor.

Kujauhkan pikiran burukku. Lantas, kembali menyelesaikan pekerjaanku. Namun, lagi-lagi kejadian aneh terjadi. Aku yang terdiam menatap layar komputer, tiba-tiba saja menjadi terkejut mendapati komputer yang mati secara tiba-tiba. Napasku menjadi berat seketika, jantungku kembali berdegup lebih cepat yang semakin memacu andrenalin, bahkan bulu kudukku kembali meremang.

Aku menunduk. Mencoba mengecek CPU komputer yang mungkin bermasalah. Namun, seketika mataku terpaku sejenak. Menatap sosok kaki yang berada di depanku. Segera aku bangkit, melihat siapa yang berdiri di depanku saat itu juga.

Kumohon! Jangan ‘itu’!

“Eh?” kagetku. Mendapati sosok temanku tadi yang kini sudah berada di depanku. Kuhela napasku. Syukurlah. Pikirku.

Temanku itu menatapku dengan tatapan kosongnya. Tanpa ekspresi dan suara. Lantas, berjalan menuju kursi di ruangnya, di sampingku. Aku tidak terlalu memerhatikan apa yang ia lakukan di ruangnya. Lagipula, pandanganku terhalang oleh papan yang menjadi batas. Seketika juga, komputer di depanku menyala kembali. Kucoba mencari file yang kukerjakan selama berjam-jam tadi, berharap tidak hilang dan harus kutulis ulang kembali. Lagi-lagi, aku bersyukur. Mendapati file itu tidak hilang maupun kurang sedikitpun. Segera kuselesaikan kembali dokumen itu. Yeah, setidaknya kurang satu lembar lagi.

Jam dinding menunjukkan pukul hampir tepat jam 12 malam. Segera kumatikan komputerku. Memasukkan barang-barangku ke dalam tas, kemudian menoleh pada temanku untuk mengajaknya pulang. Namun, pandanganku terpaku. Aku tidak menemukan sosok temanku itu pada ruangnya. Belum sempat aku menduga dia ke mana. Sosok temanku itu memasuki kantor kembali. Dengan senyumnya dan tangannya yang membawa dua minuman kaleng, seolah memberi tahu bahwa ia baru saja sampai.

“Sudah selesai?” tanyanya sembari berjalan mendekat padaku.

Aku masih terdiam. Terasa ada yang mengganjal pada pikiranku.

“Hei?” sapanya yang membuatku tersadar seketika.

“I-iya?”

“Sudah selesai?”

Aku mengangguk. “Kenapa kamu keluar lagi?”

Temanku itu mengerutkan keningnya. “Maksudnya?”

“Bukankah, kamu tadi sudah kembali ke sini sekitar jam 11 lebih?” tanyaku.

Namun, temanku itu menggeleng dengan raut wajah bingungnya. “Maaf aku baru sampai sekarang, soalnya my love menelponku saat di bawah. Karena aku tidak mau menganggumu di kantor, terpaksa aku kembali sekarang,” jawabnya.

Itu jelas. Jawaban yang begitu jelas bagiku. Kini, aku terdiam. Kembali berpikir, siapa yang berada di kantor bersamaku tadi.

:)