Jasmine Sonia Failasufa

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
25# Senja Milik Jie

25# Senja Milik Jie

Gadis itu diam membeku sejenak. Sosok hati berpintu dua kulkas itu seolah hancur oleh panasnya api. Menghasilkan puing-puing kehangatan yang mengalir pada perasaan gadis itu.

Alvan... memeluk gue?! Batin Rara tidak percaya.

~

“Ambil napas, hembuskan, dan berpikirlah yang positif, Ra,” ucap Alvan sembari melepaskan pelukannya.

Gimana gue bisa mikir positif kalo lo baru aja meluk gue, Al! Batin Rara dengan perasaan senangnya.

Gadis itu mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Membuat Alvan ikut mengangguk dan menggenggam tangan gadis itu.

Dingin! Batin Alvan.

Kemudian, mereka segera memasuki gedung itu. Menuju resepsionis untuk menanyakan ruang dengan pasien bernama Jie Gabriel.

“Kamar 30, Kak,” ucap resepsionis itu.

Rara mengangguk antusias. Lantas, segera menarik Alvan untuk mencari kamar itu.

“Ra.” Alvan berkata dengan menahan tarikan gadis itu yang begitu bersemangat-namun masih menampakkan kekhawatiran-untuk mencari kamar nomor 30.

“Apa?” tanya Rara.

Alvan melepaskan genggamannya, menunjuk ruangan di sampingnya. Menunjukkan nomor 30.

“Jie!” pekik Rara dan langsung memasuki ruangan itu.

Sosok yang berada di ruangan itu menatap Rara. Senyumnya mengembang ketika mengetahui gadis itu berada di dekatnya. Kemudian, menurunkan senyumnya. Mengingat, gadis itu pasti mengkhawatirkan sesuatu.

“Ra?” panggil Jie.

Gadis itu mengerutkan keningnya. Berjalan mendekati sosok yang terbaring di kasur Rumah Sakit itu. “Kenapa?” tanya Rara dengan suara seraknya, menandakan bahwa ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat itu juga.

I’m sorry,” ucap Jie tanpa menurunkan senyumnya.

No, gue yang minta maaf, Jie,” ucap Rara.

Jie menggeleng kecil. Kemudian, tertawa kecil. “Nggak ada sejarah mengatakan, bahwa cewek yang salah. Kebanyakan, yang salah itu cowok. Gue ngakuin itu,” jawab Jie.

“Bego!” umpat Rara lirih, “bukan waktunya ngomong aneh-aneh!” respon Rara.

Jie tertawa kecil. Gadis di depannya itu masih sama. Masih sama dengan yang ditemuinya dua tahun yang lalu. “Ra,” ucap Jie.

Gadis itu menatap manik berwarna hitam pekat itu. Pikirannya belum mengerti. Beberapa jam yang lalu, ia masih melihat sosok itu terlihat baik-baik saja. Namun kini, ia melihat sosok itu terbaring di ranjang Rumah Sakit.

“Bisa temenin gue buat ke belakang Rumah Sakit? Gue mau ngelihat senja sebelum gue berjuang di medan operasi,” pinta Jie.

Yes, I can,” jawab Rara, membuat sosok yang meminta hal itu tersenyum.

Kemudian, Jie mencoba mengangkat tubuhnya. Melepas dari lembutnya kasur di ranjang itu. Tidak lupa, tangan gadis itu merangkul pundaknya. Membantunya berjalan menuju halaman belakang Rumah Sakit itu.

“Di sini?” tanya Rara ketika Jie berhenti pada kursi di halaman belakang Rumah Sakit. Menghadap cahaya senja sore kali itu.

“Setidaknya, kita masih bisa melihat senja kali ini, bukan?” tanya Jie balik.

Rara mengangguk mengiyakan. Lantas, duduk di samping Jie yang sudah siap menunggu matahari terbenam.

“Jie, are you okey?” tanya Mrs. Igrie ketika mendapati sosok Jie dan gadis’nya berada di kursi halaman belakang Rumah Sakit.

Jie tersenyum. “Yes, Mom. I’m fine, nggak ada yang perlu dikhawatirin,” jawab Jie.

Helaan napas Mrs. Igrie terdengar. Sepertinya, ia merasa bimbang dengan keadaan anak semata wayangnya sekarang ini. “Ada yang perlu Mommy ambilkan untukmu, My Love?” tawar Mrs. Igrie.

No, Mom.. di sini udah ada Rara. Jie ingin dengan Rara.”

Okey,” respon Mrs. Igrie, lantas berjalan meninggalkan dua manusia itu.

Beberapa detik kemudian, mereka diam. Tidak ada yang membuka suara untuk mengawali pembicaraan mereka.

“Ra,” panggil Jie.

Gadis itu tidak membuka suaranya. Ia hanya menoleh, menatap sosok yang memanggilnya.

“Nggak usah tegang-tegang gitu, woy! Gue nggak mati secepat ini, Ra!” lanjut Jie dengan tawa kecilnya. Mendapati gadis di sampingnya sedikit mengerutkan keningnya ketika ia memanggilnya.

“Serius, Jie!” respon Rara.

“Apa?”

“Lo mau di operasi, tapi tingkah lo nggak nunjukin kalo lo takut dengan hal itu!”

Why? Nyawa ada di tangan Tuhan,” jawab Jie, “bukan di akhir hasil operasi,” lanjutnya.

“Iya gue tahu! Tapi nggak gitu jug-”

“Udah,” potong Jie sembari menggenggam tangan gadis itu, “gue bakal baik-baik aja. Kalo gue mati, lo harus datang ke pemakaman gue. Enaknya, dimakamkan di Inggris atau Indonesia? Kalo di Inggris, lo jadinya harus repot-repot datang ke sana. Ya udah, gue dimakamkan di Indonesia aja. Lo bisa tiap hari ngunjungi gu-”

Stop!” potong Rara sedikit memberontak.

Sosok itu terdiam. Menatap gadis itu yang pertama kali berteriak dengan rasa khawatir di depannya. Kemudian, ia tersenyum menatap gadis itu.

“Jangan lagi ngomong kayak gitu di depan gue! Gue nggak mau kehilangan lo! Jangan seolah-olah lo nggak ada harapan buat berhasil dalam operasi!” lanjut Rara.

Jie tidak menurunkan senyumnya. Lantas, mengelus puncak kepala gadis itu. Merapikan beberapa rambut yang tidak beraturan pada gadis itu.

Pasti teracak-acak ketika lo perjalanan ke sini, Ra. Batin Jie.

“Ra, thanks buat semua yang lo berikan ke gue selama dua tahun ini-”

“Gue nggak pernah ngasih apa-apa.”

No. Lo ngasih semua yang gue butuhin saat gue berada di Indonesia.”

“Nggak, Jie.”

“Iya, Ra..”

“Nggak. Yang ngasih apa-apa ke lo selama ini, pastinya orang tua lo.”

Jie mengangguk kecil dengan tawa kecilnya. Benar yang dikatakan Rara. “Dengerin gue dulu, Ra..,” ucap Jie yang mulai merasa kesal dengan Rara yang memotong di setiap kalimatnya.

Gadis itu semakin melebarkan senyumnya. “Iya,” responnya.

Thanks buat waktu yang diberikan Tuhan ke gue selama dua tahun ini. Gue kenal lo, gue berteman dengan lo, dan berakhir gue yang punya perasaan ke lo. Semuanya Tuhan berikan ke gue. Hanya satu yang Tuhan nggak berikan ke gue. Perasaan lo ke gue. Yeah, I know. Nggak semua yang kita harapkan akan Tuhan berikan. Ada kalanya, gue harus lebih banyak bersyukur dan mengkihlaskan hal sesuatu itu, mungkin Tuhan menyiapkan hal yang lebih baik ke gue. Makanya, gue nggak ngedapetin satu hal itu.”

Gadis itu menatap sosok yang di depannya itu. Jantungnya berdegup kencang ketika mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan sosok itu.

“Ji-”

“Gue bersyukur mengenal lo. Gue belajar banyak dari lo. Termasuk, apa yang gue harapkan tidak semua akan terwujudkan.”

“Ji-”

“Skenario Tuhan emang the best, ‘ya!”

“Ji-”

“Kalaupun gue emang diberikan hal itu, sepertinya akan ada banyak hal yang membuat gue sama lo nggak bisa nyatu.”

“Jie!”

Pemilik manik berwarna hitam itu terdiam. Menatap balik sosok yang menggertak di sampingnya.

Gadis itu menghirup napas pelan dan menghembuskannya. “Seandainya gue nggak kenal lo, gue nggak bakal nyakitin lo kayak gin-”

No! Gue udah bilang, gue bersyukur banget udah kenal lo. Ini hadiah paling baik yang Tuhan kasih ke gue. Nggak ada yang perlu disesali dengan pertemanan kita. Kecuali, kalo lo emang menyesali kenal dengan gue.”

“Jie..,” panggil Rara lirih dengan suara seraknya.

“Iya?”

“Gue..,” ucap Rara menggantung. Suaranya begitu berat untuk ia keluarkan.

Gue sayang sama lo, Jie. Batin Rara. Namun, begitu berat ketika ia ingin mengucapkan kalimat itu.

“Ambil napas, hembuskan, dan berpikirlah yang positif, Ra,” ucap Alvan sembari melepaskan pelukannya.

Gimana gue bisa mikir positif kalo lo baru aja meluk gue, Al! Batin Rara dengan perasaan senangnya.

Gadis itu mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Membuat Alvan ikut mengangguk dan menggenggam tangan gadis itu.

Dingin! Batin Alvan.

Kemudian, mereka segera memasuki gedung itu. Menuju resepsionis untuk menanyakan ruang dengan pasien bernama Jie Gabriel.

“Kamar 30, Kak,” ucap resepsionis itu.

Rara mengangguk antusias. Lantas, segera menarik Alvan untuk mencari kamar itu.

“Ra.” Alvan berkata dengan menahan tarikan gadis itu yang begitu bersemangat-namun masih menampakkan kekhawatiran-untuk mencari kamar nomor 30.

“Apa?” tanya Rara.

Alvan melepaskan genggamannya, menunjuk ruangan di sampingnya. Menunjukkan nomor 30.

“Jie!” pekik Rara dan langsung memasuki ruangan itu.

Sosok yang berada di ruangan itu menatap Rara. Senyumnya mengembang ketika mengetahui gadis itu berada di dekatnya. Kemudian, menurunkan senyumnya. Mengingat, gadis itu pasti mengkhawatirkan sesuatu.

“Ra?” panggil Jie.

Gadis itu mengerutkan keningnya. Berjalan mendekati sosok yang terbaring di kasur Rumah Sakit itu. “Kenapa?” tanya Rara dengan suara seraknya, menandakan bahwa ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat itu juga.

I’m sorry,” ucap Jie tanpa menurunkan senyumnya.

No, gue yang minta maaf, Jie,” ucap Rara.

Jie menggeleng kecil. Kemudian, tertawa kecil. “Nggak ada sejarah mengatakan, bahwa cewek yang salah. Kebanyakan, yang salah itu cowok. Gue ngakuin itu,” jawab Jie.

“Bego!” umpat Rara lirih, “bukan waktunya ngomong aneh-aneh!” respon Rara.

Jie tertawa kecil. Gadis di depannya itu masih sama. Masih sama dengan yang ditemuinya dua tahun yang lalu. “Ra,” ucap Jie.

Gadis itu menatap manik berwarna hitam pekat itu. Pikirannya belum mengerti. Beberapa jam yang lalu, ia masih melihat sosok itu terlihat baik-baik saja. Namun kini, ia melihat sosok itu terbaring di ranjang Rumah Sakit.

“Bisa temenin gue buat ke belakang Rumah Sakit? Gue mau ngelihat senja sebelum gue berjuang di medan operasi,” pinta Jie.

Yes, I can,” jawab Rara, membuat sosok yang meminta hal itu tersenyum.

Kemudian, Jie mencoba mengangkat tubuhnya. Melepas dari lembutnya kasur di ranjang itu. Tidak lupa, tangan gadis itu merangkul pundaknya. Membantunya berjalan menuju halaman belakang Rumah Sakit itu.

“Di sini?” tanya Rara ketika Jie berhenti pada kursi di halaman belakang Rumah Sakit. Menghadap cahaya senja sore kali itu.

“Setidaknya, kita masih bisa melihat senja kali ini, bukan?” tanya Jie balik.

Rara mengangguk mengiyakan. Lantas, duduk di samping Jie yang sudah siap menunggu matahari terbenam.

“Jie, are you okey?” tanya Mrs. Igrie ketika mendapati sosok Jie dan gadis’nya berada di kursi halaman belakang Rumah Sakit.

Jie tersenyum. “Yes, Mom. I’m fine, nggak ada yang perlu dikhawatirin,” jawab Jie.

Helaan napas Mrs. Igrie terdengar. Sepertinya, ia merasa bimbang dengan keadaan anak semata wayangnya sekarang ini. “Ada yang perlu Mommy ambilkan untukmu, My Love?” tawar Mrs. Igrie.

No, Mom.. di sini udah ada Rara. Jie ingin dengan Rara.”

Okey,” respon Mrs. Igrie, lantas berjalan meninggalkan dua manusia itu.

Beberapa detik kemudian, mereka diam. Tidak ada yang membuka suara untuk mengawali pembicaraan mereka.

“Ra,” panggil Jie.

Gadis itu tidak membuka suaranya. Ia hanya menoleh, menatap sosok yang memanggilnya.

“Nggak usah tegang-tegang gitu, woy! Gue nggak mati secepat ini, Ra!” lanjut Jie dengan tawa kecilnya. Mendapati gadis di sampingnya sedikit mengerutkan keningnya ketika ia memanggilnya.

“Serius, Jie!” respon Rara.

“Apa?”

“Lo mau di operasi, tapi tingkah lo nggak nunjukin kalo lo takut dengan hal itu!”

Why? Nyawa ada di tangan Tuhan,” jawab Jie, “bukan di akhir hasil operasi,” lanjutnya.

“Iya gue tahu! Tapi juga nggak gitu-”

“Udah,” potong Jie sembari menggenggam tangan gadis itu, “gue bakal baik-baik aja. Kalo gue mati, lo harus datang ke pemakaman gue. Enaknya, dimakamkan di Inggris atau Indonesia? Kalo di Inggris, lo jadinya harus repot-repot datang ke sana. Ya udah, gue dimakamkan di Indonesia aja. Lo bisa tiap hari ngunjungi gu-”

Stop!” potong Rara sedikit memberontak.

Sosok itu terdiam. Menatap gadis itu yang pertama kali berteriak dengan rasa khawatir di depannya. Kemudian, ia tersenyum menatap gadis itu.

“Jangan lagi ngomong kayak gitu di depan gue! Gue nggak mau kehilangan lo! Jangan seolah-olah lo nggak ada harapan buat berhasil dalam operasi!” lanjut Rara.

Jie tidak menurunkan senyumnya. Lantas, mengelus puncak kepala gadis itu. Merapikan beberapa rambut yang tidak beraturan pada gadis itu.

Pasti teracak-acak ketika lo perjalanan ke sini, Ra. Batin Jie.

“Ra, thanks buat semua yang lo berikan ke gue selama dua tahun ini-”

“Gue nggak pernah ngasih apa-apa.”

No. Lo ngasih semua yang gue butuhin saat gue berada di Indonesia.”

“Nggak, Jie.”

“Iya, Ra..”

“Nggak. Yang ngasih apa-apa ke lo selama ini, pastinya orang tua lo.”

Jie mengangguk kecil dengan tawa kecilnya. Benar yang dikatakan Rara. “Dengerin gue dulu, Ra..,” ucap Jie yang mulai merasa kesal dengan Rara yang memotong di setiap kalimatnya.

Gadis itu semakin melebarkan senyumnya. “Iya,” responnya.

Thanks buat waktu yang diberikan Tuhan ke gue selama dua tahun ini. Gue kenal lo, gue berteman dengan lo, dan berakhir gue yang punya perasaan ke lo. Semuanya Tuhan berikan ke gue. Hanya satu yang Tuhan nggak berikan ke gue. Perasaan lo ke gue. Yeah, I know. Nggak semua yang kita harapkan akan Tuhan berikan. Ada kalanya, gue harus lebih banyak bersyukur dan mengkihlaskan hal sesuatu itu, mungkin Tuhan menyiapkan hal yang lebih baik ke gue. Makanya, gue nggak ngedapetin satu hal itu.”

Gadis itu menatap sosok yang di depannya itu. Jantungnya berdegup kencang ketika mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan sosok itu.

“Ji-”

“Gue bersyukur mengenal lo. Gue belajar banyak dari lo. Termasuk, apa yang gue harapkan tidak semua akan terwujudkan.”

“Ji-”

“Skenario Tuhan emang the best, ‘ya!”

“Ji-”

“Kalaupun gue emang diberikan hal itu, sepertinya akan ada banyak hal yang membuat gue sama lo nggak bisa nyatu.”

“Jie!”

Pemilik manik berwarna hitam itu terdiam. Menatap balik sosok yang menggertak di sampingnya.

Gadis itu menghirup napas pelan dan menghembuskannya. “Seandainya gue nggak kenal lo, gue nggak bakal nyakitin lo kayak gin-”

No! Gue udah bilang, gue bersyukur banget udah kenal lo. Ini hadiah paling baik yang Tuhan kasih ke gue. Nggak ada yang perlu disesali dengan pertemanan kita. Kecuali, kalo lo emang menyesali kenal dengan gue.”

“Jie..,” panggil Rara lirih dengan suara seraknya.

“Iya?”

“Gue..,” ucap Rara menggantung. Suaranya begitu berat untuk ia keluarkan.

Gue sayang sama lo, Jie. Batin Rara. Namun, begitu berat ketika ia ingin mengucapkan kalimat itu.

BERSAMBUNG.

Hai, Guys.. bertemu lagi nih sama cerbung Jasmin!

"Al. Jujur aja, gue emang benci sama lo. But, kalo gue mati. Gue titip Rara, 'ya."-Jie.

"Ngomong apa sih, Jie!"-Rara.

"Hm."-Alvan.

"Alvan juga! Ngapain nge-hm-in ucapan Jie?!"-Rara.

"Dia titip, gue jaga. Itu konsepnya."-Alvan.

"Alvan bener."-Jie.

"APANYA YANG BENER!"-Rara.

"Konsepnya, Ra...."-Jie.

"Gue udah bilang! Jangan seolah-olah lo nggak ada harapan buat hidup!"-Rara.

"Gue cuman bilang 'kalo'. Setelah itu, urusan Tuhan mau ngambil gue atau tidak."-Jie.

"Ya Tuhan!!! Author! Cegah karakter Jie mati di chapter selanjutnya! Gue nggak rela!"-Rara.

"..."-Author.

"Author jangan diem aja! Rara beneran!"-Rara.

"Author nggak tahu, Ra. Para readers, gimana?"-Author.

"Rara yakin! Para pembaca pasti juga nggak mau Jie mati! Please, Thor.."-Rara.

"Udahlah, Ra."-Jie.

"Gue masih nggak mau kalo itu bener-bener terjadi!"-Rara.

-Terima kasih atas dukungan kalian :)

Saran dan kritik, dipersilahkan ^_^

Do'akan kedepannya semakin baik ya cerbungnya, semoga menghibur cerbung kali ini! ^_^

Oh ya, mau tahu Authornya? Bisa kunjungi akun instagramnya kok! @minemine_19 atau @its.mineeee_19Kalian bisa berkomunikasi dengannya di sana! Dia menunggu direct kalian loh! ^_^

Atau, kirim pesan lewat emailnya:[email protected]

Salam Penulis,

Jasmine Sonia Failasufa

Muach :3

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Di otak ku Jie tu kek jerome kurnia dunk! Wkwkwkwk

25 Apr
Balas

Ahahahaha. Otak selalu memunculkan bayangan yang unik, 'ya! Kalau aku malah mikirnya, Jie itu kayak Frederik Kiran Soekarno. Wkwkwkwkwkw, halunya lancar ya, Bund (padahal ngga mungkin banget kalo si Frederik :v) >~< trims ya buat suportnya! ♡

25 Apr

Lanjut

26 Apr
Balas

Iya, trims ya buat suportnya! ♡

26 Apr

Jangan mati dong jie! Rara kan masih sayang kamu

25 Apr
Balas

Authornya juga bimbang nih @_@ trims ya buat suportnya! ♡

25 Apr

Bentar dhe authoorr itu pas rara bawa jie ke belakang rumah sakit alvan nya ga nyegah atau gimana gitu?? Mungkin ga dicerutain kali yah hehe oh ya kak itu cerita nya diulang dua kali ya kak?

25 Apr
Balas

Bagian Alvan akan diceritakan di chapter selanjutnya. Entah chapter 26 atau 27, belum pasti. Terima kasih udah bertanya ^_^ oiya, Author lupa untuk tidak me-review chapter 25. Terima kasih banyak sudah diingatkan ♡

25 Apr

ohh begitu cepat lanjutt yah author! jaga kesehatan! semangat terus!

25 Apr

Iya, trims ya buat suportnya! ♡

25 Apr

sediiiihhh,, lanjut kak,, [aku makin penasaran mukanya mereka neh>-< hiarukan]

26 Apr
Balas

Iya, trims ya buat suportnya! ♡ kalau gambaran wajahnya sih, silahkan kamu bayangkan sendiri aja ya.. >~<

26 Apr



search

New Post