SY Hinata

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Rose Parker | eps 1

EPISODE 1

Udara dingin menyelimuti Distrik Orguro. Lampu-lampu masih padam. Orang-orang masih terlelap bersama mimpinya.

Tapi, tidak denganku. Begitu suara kokokan ayam yang pertama, mataku otomatis terbuka. Dan dengan segera beranjak dari dipan. Mengambil pakaian dan handuk, lalu masuk ke dalam kamar mandi.

Hai. Aku Rose Parker. Kalian bisa memanggilku Rose. Usiaku 13 tahun, Level II tahun pertama. Aku tinggal di Asrama Orguro yang otomatis sekolah di Akademi Orguro. Sejak kecil, aku yatim-piatu. Aku masuk kesini karena dia—ah, aku lagi malas berbicara hal ini. Jadi, untuk bagian ini kita skip saja, ya.

Aku memiliki seorang sahabat. Namanya Adele Walton. Dia adalah sahabat terbaaaaaik yang pernah ada—sebenarnya, sih, dia satu-satunya temanku, makanya kusebut sahabat terbaik. Aku sendiri bingung, mengapa orang sekaya dia, secantik dia, sepopuler dia mau berteman denganku. Lah, dia memang populer kok. Mama Papanya itu menteri Pendidikan. Dan sebagai anak menteri, dia sangat dihormati. Tapi, ya, jujur saja, Adele dihormati saat Papa Mama nya datang berkunjung. Karena, jika tak ada orangtua Adele, Adele kadang diperlakukan dengan tidak baik. Entah oleh teman sekelas, kakak kelas, bahkan guru sekalipun.

Tapi, alasan mengapa Adele diperlakukan seperti itu, karena dia mau berteman dan bersahabat denganku. Bersahabat dengan seorang ‘Rose’. Kalian tahu? Disini, nama ‘Rose’ terdengar begitu menjijikkan. Orang-orang dari Planet Zuanda ini menganggap, Mawar (arti dari Rose) itu memberikan kesengsaraan. Memberikan penderitaan bagi siapapun yang merawatnya. Kalian tahu duri mawar, kan? Nah, duri itulah yang dilambangkan membawa penderitaan.

Aku membuka pintu kamar mandi. Melangkah pelan ke satu-satunya cermin besar di kamar ini. Dengan lembut, aku menyisir rambut coklatku.

Kamar di asrama Orguro berisi 4 orang siswa. Aku sekamar dengan Eden, Yihua dan Julia. Sayang sekali aku tidak sekamar dengan Adele. Padahal, JEY (nama geng mereka; Julia Eden Yihua) itu sangat membenciku dan paling sering meledekku. Tapi, yasudahlah. Toh, sampai sekarang sudah hebat aku bisa bertahan dari mereka.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam. Sisa satu jam tiga puluh menit lagi, bel makan berbunyi. Sebuah inisiatif muncul di otakku. Segera, setelah berpenampilan rapi, aku membangunkan ketiga JEY ini.

“Yihua, Yihua,” Aku memanggil nama Yihua. Menggoyang-goyangkan tubuhnya.

Yihua orangnya memang kebo. Dia segera mengganti posisi tidurnya agar tidak diganggu olehku.

“Bangun, Yi. Sudah pagi. Nanti kamu telat,” Aku berusaha membangunkannya lagi. Namun Yihua mengacuhkanku.

Pipiku menggelembung. Aku paling benci ada yang mengacuhkanku. Tapi baiklah, untuk kali ini aku tidak boleh cepat-cepat marah.

“Yihua! Bangun, Yi, cepaaat.”

Untunglah, Yihua mulai menggeliat.

“Nanti sajalah, Ros. Jangan menggangguku,” Yihua berujar.

Aku berdecih saat mendengar kalimat Yihua. Lah nanti pagi-pagi, kalau dia telat masuk kelas, malah aku yang dimarahi sambil bilang, “Kenapa kamu tidak membangunkaku?” Padahal, bukankah aku sudah membangunkannya? Yihua saja yang tidak mau bangun saat aku membangunkannya.

Baiklah, baiklah. Aku beranjak dari dipan Yihua menuju dipan Julia. “Juli... bangun, Li. Sudah pagi, nanti kamu telat.”

Julia menggeliat. Mengerang pelan.

“Tidur bentar. Tadi aku begadang.”

Aku ber-ooh pelan. “Begadang mengerjakan PR?” tanyaku basa-basi.

Julia diam. Tidak mnjawab.

Aku memutar bola mata. Tentu saja ia tidak begadang mengerjakan PR. Julia palingan begadang sambil makan-makan bersama geng nya. Mana ada tercatat dalam sejarah Julia and kawan-kawan berlelah-lelah dalam belajar.

“Nanti kalau telat bagaimana?”

“Bangunkan Eden dulu.” Dingin Julia. Dia menyuruhku membangunkan Eden terlebih dahulu.

Dalam hati aku menggerutu. Duh, membangunkan mereka berdua saja susah minta ampun, apalagi Eden yang ketua geng?

“Iya, bangunkan saja, bodoh.” Yihua ikut berucap dari ranjangnya.

Untuk kesekian kalinya aku berdecih namun tetap menuju ranjang Eden. Wajah Eden yang tertidur pulas, rambut panjangnya yang kusut, dan mata terpejam seolah dilem.

“Bangun,” kataku pendek. Sebenarnya aku sudah tidak ada gairah membangunkan orang. “Edennn, bangun.” Aku mengeraskan suaraku. Sekali lagi menggoyangkan tubuh Eden yang bagai patung tak bergerak sedikitpun.

“Apaan, sih?” Suara khas bangun tidur Eden terdengar. “Kamu mengganggu saja.”

“Ya kan ini sudah pagi, Den. Kamu harus bangunlah,” Kataku cepat. “Nanti kalau telat main salah-salahan. Mana aku lagi yang dimarahi—”

Puk! Eden melempar bantal hingga tepat mengenai wajahku. Membuat kalimatku terputus.

“Bisa diam, gak, sih?” tanyanya ketus.

“Bisalah.” Aku berkata setengah sebal.

“Ya kalau begitu diam. Apa susahnya, coba?”

Aku mengusap wajah. “Iya, memang tidak susah. Tapi masalahnya, Ibu Asrama memberiku amanah untuk membangunkan kalian. Masa aku harus tinggalin amanah Bu Asrama?” aku balas ketus.

“Tinggal tolak saja amanah dari Ibu Asrama. Begitu saja repot.” Eden membalas lebih pedas.

Aku memejamkan mata. Sabar, Rose, sabar...

“Terserahmu saja, deh. Kalau nanti telat, aku tidak tanggung.” Kataku memutuskan.

“Baguslah. Huss huss, pergi jauh-jauh!” Yihua (yang belum tidur padahal katanya mengantuk) menyahut.

Aku memutar bola mata sebal. Beranjak dari dipan Eden lalu mengambil tas selempang kecilku. Berjalan menuju perpustakaan.

Dalam hati, aku mengomel-ngomel sebal. Setiap hari selalu begitu. Kapan mereka mau mendengarkanku? Menurut langsung bangun. Kapan mereka mau baik padaku? Sekali saja, please, jangan membullyku.

Aku menarik napas panjang. Berusaha menahan kesal.

Kakiku berjalan pelan. Aku sedang berada di halaman depan asrama putri. Bunga-bunga terhampar indah. Warna-warni. Tulip, melati, edelweiss, semua terdapat disini. Ya tentu saja tidak ada mawar. Sudah aku jelaskan, bukan, kalau mawar dianggap buruk disini?

Aku mendongak. Menatap langit. Bulan purnama masih tersisa di atas sana. Biarpun sinar matahari sudah mulai menyelinap.

Kakiku sampai di depan pintu perpustakaan. Sebuah pintu kayu besar dengan ornamen indah. Di atas pintu, terdapat plang yang tertulis: Orguro Library. Ini adalah ruangan favoritku sejak kecil. Dulu, Dia selalu mengajakku kesini.

“Permisi,” aku setengah berbisik sambil membuka pintu perpustakaan. Puluhan rak tertata rapi dalam ruangan itu. Ratusan bahkan ribuan buku tersusu di dalamnya.

Aku menyunggingkan senyum lebar saat hidungku mulai mencium bau khas ini. Bau kertas buku. Aku berjalan pelan di antara rak-rak. Tanganku meraba-raba sampul buku. Seperti biasa, aku akan membaca di tempat kesukaanku.

Sial. Aku mengumpat pelan. Tempat dudukku diduduki orang. Siswa laki-laki dengan rambut hitam legam tampak duduk rapi di sana. Ia tampak membolak-balik buku. Matanya fokus pada halaman buku.

Tentu saja aku tahu siapa laki-laki itu. Ryan Adams. Siswa ter ter ter populer satu akademi. Wajah tampan, otak genius, keluarga bangsawan, terkenal, tak ada yang kurang dari anak itu. Ya mungkin hanya sifatnya saja yang kurang. ‘Kurang ceria’.

Jujur saja, biarpun siswi-siswi perempuan disini sangat mengidolakan Ryan, aku tidak mengidolakannya. Iya, dia memang perfect, tapi sifatnya sangat ughhhh...

Easy going, pendiam, tapi kalau sudah sekalinya bicara, kalimatnya sangat menusuk. Itu yang membuatku susah untuk mengidolakannya—selain itu tak ada niat juga menjadikan dia idola.

“Eh, hai,” untuk menjaga sopan santun, aku menyapa Ryan. Berusaha untuk ramah.

Kepala laki-laki itu terangkat. Mata hitamnya menatapku dalam. Membuatku sedikit ngeri. Sejenak, ia langsung melanjutkan membaca.

Mengabaikanku.

Aku menarik napas kesal. Sabar, sabar, Rose. Jangan pedulikan kulkas itu. Aku berusaha untuk sabar.

Malas berlama-lama, aku berjalan mencari rak buku bagian biologi.

“Cari buku apa?” salah satu petugas pustakawan bertanya kepadaku. Menghampiri.

Aku menoleh. “Rak buku AD-06,” Jawabku.

Pustakawan itu segera mencari buku pilihanku. Setelah ketemu, ia memberikan buku setebal 300 halaman itu kepadaku. Sebuah buku kecil namun dengan penjelasan yang lengkap.

“Terimakasih—” baru saja aku mengucapkan kata terima kasih, pustakawan itu langsung pergi.

Aku menghela napas pelan. Berjalan menuju kursi lain—karena kursiku diduduki Ryan.

Mari mulai membaca. Lupakan saja masalah-masalah tadi.

Satu jam berlalu, sudah pukul setengah tujuh.

Aku keluar dari perpustakaan. Di otakku memori tentang biologi sudah tersimpan. Semoga ujian nanti lancar, doaku dalam hati. Ya, pelajaran pertama hari ini adalah Biologi. Dan kata Dalton, guru biologiku, hari ini akan ada ujian. Jadi, aku sejak kemarin-kemarin sudah mulai belajar.

Kakiku tetap melangkah pelan menuju kantin. Sebentar lagi waktu sarapan, jika telat aku bisa dihukum.

“STOP!”

Aku kaget mendengar suara keras itu. Kepalaku yang menunduk otomatis terangkat. Tiga wajah centil sekarang sedang berdiri di hadapanku.

Eden, Yihua dan Julia.

“Ada apa?” walau aku sebenarnya takut, aku mencoba untuk bertanya.

“Tidak ada, sih,” Julia yang menjawab. Seperti biasa, matanya menatap kosong.

Yihua di sebelah Julia menyikutnya. Melotot.

“Kami hanya ingin memberikan pelajaran untuk orang yang tidak membangunkan kami,” kata Yihua memperbaiki kalimat Julia.

“Aku kan sudah membangunkan kalian,” kataku takut, mengingat jika dulu saat aku dimarahi sampai dijambak dan sebagainya. Apalagi disini aku tak punya temeng pelindung yang bisa melindungiku.

“Itu mengganggu, bodoh, bukan membangunkan!”

Aku tidak merespon. Kepalaku menunduk. Dalam hati, apa bedanya mengganggu dengan membangunkan? Saat kita dibangunkan otomatis kita merasa terganggu karena orang yang membangunkan itu memutuskan mimpi kita dalam lelap.

“Diam terus. Jawab kek, lawan kek. Sok suci banget tidak mau memukul.” Eden bersuara. Menampar pipiku lebih dulu.

Aku meringis. Memegang pipiku yang memerah.

“Jangan nangis, lemah. Gitu saja sudah mau nangis. Cengeng!”

Aku menggigit bibir. Menunduk.

“Kamu tahu?” Eden bertanya. Tangannya bergerak menjambak rambut panjangku.

Dengan polosnya, aku menggeleng.

Plak! Nasib, aku ditampar lagi.

“Bisa tidak, jawab dengan benar? Jangan menggeleng polos.”

Aku melirik Yihua yang menamparku. Apa salahnya coba menggeleng? Aku memang tidak tahu kan mengapa Eden membenciku?

“Sudahlah, Yi. Aku mau berbicara dengan dia,” Eden berkata.

Yihua mengangguk. Bersikap hormat pada ketuanya.

“Aku tidak suka melihatmu sok polos seperti itu, Rose! Sudah sok polos, sok pintar, sok suci lagi.” Eden langsung ke inti permasalahan. Bicara ceplas-ceplos tanpa peduli perasaanku sekarang.

Dadaku terasa bergejolak. Sakit sekali dibilang ‘sok’ begitu.

“Kamu tahu kan, kamu hanya anak pungut? Diangkat oleh Miss Iva?” Eden bertanya. Jambakan nya semakin keras.

“Dan karena kamu, beliau mati.” Suara dingin dari Julia terdengar.

“Tepat! Seandainya saja Miss Iva tidak mengangkatmu, kami akan bahagia bersama beliau lagi. Tapi justru, karena kamu beliau mati. Pembawa kesialan!” Eden menyumpahiku.

Aku menutup mata. Air liur Eden mengenai wajahku.

“Buka matamu, bodoh! Jangan setiap saat lari dari masalah.” Kata Eden. Aku membuka mataku. Mataku yang sudah berkaca-kaca menatap wajah Eden yang memerah marah.

“Iya! Cengeng, sedikit-sedikit, minta bantuan Adele. Sedikit-sedikit, menangis. Jangan lemah dong, jadi orang!”

Mataku mulai berair. Aku sudah tidak tahan dikata-katai seperti ini lagi. Salah jika meminta bantuan orang? Lagipula aku bukannya meminta bantuan, hanya saja Adele yang membantuku padahal aku tak pernah meminta.

“Maaf—” suaraku tersendat mengucapkan maaf. “Aku minta maaf jika aku berbuat salah.”

Eden terbahak-bahak tidak jelas. “Jika kamu berbuat salah? Salahmu banyak, kamu tahu?!” Eden menjambak rambutku.

Aku menggigit bibir. Sakit, lirihku. Air mataku mulai keluar.

“Wah, ketua. Sudah, sudah. Lihat, Si Pembawa Sial sudah mulai menangis. Nanti kita bisa kena batu kalau buat dia sampai melapor,” Kata Yihua menyuruh menghentikan yang justru malah mengejek.

“Ahaha, iya, benar juga.” Eden membungkuk. Menatap wajahku yang menunduk. “Wow. Bendungan nya mau rusak, ya, Nona?”

Mereka tertawa.

Air mataku keluar sudah. Aku menangis tertahan.

“Hadeh. Kalian ini—”

“EDEN, YIHUA, JULIA!!” Suara berat menghentikan adegan itu. Semua serempak menoleh ke sumber suara. Aku ikut melirik siapa yang datang.

“Eh, Mrs. Mira,” JEY membungkuk begitu mengetahui siapa yang datang.

“Mrs. Mira,” suaraku patah-patah. Aku dengan keras melepas tangan Eden dari rambutku.

Eden yang berada disampingku menginjak kakiku. Melotot. Tatapannya seakan mengatakan, beraninya kamu tarik tanganku, hah?!

Aku berusaha bersikap bodo amat. Membungkuk pelan-pelan.

“Kalian kenapa berada disini? Harusnya kan di Kantin.” Tegas Mrs. Mira, bertanya.

“Aaahhh, itu... Tidak ada, sih, Mrs. Cuma, ya, sedang itu... sedang bertanya ke Rose. Ya, kan, Yi, Jul?”

Yihua dan Julia mengangguk.

“Tanya apa?”

“Ooohh... Itu, loh, Mrs. Rose mengambil makanan Eden di lemarinya, juga uang Eden. Nah, terus, waktu tadi kita buka lemari Rose, ternyata ada tulisan besar-besar yang bilang kami jelek. Dia ingin balas dendam ke kami,” Yihua mengarang-ngarang cerita.

“Benarkah?” Mata Mrs. Mira membesar.

JEY mengangguk.

Aku disamping mereka meringis. Bukan karena aku tidak bisa memberikan cerita yang asli. Tapi, karena sebenar apapun ceritaku, ceritaku tidak akan pernah dipercaya oleh Mrs. Mira. Derajat seorang anak pungut dan kerabat kepala sekolah sejauh langit dan bumi.

“Tidak tahu terima kasih sekali kamu, Rose,” Mrs. Mira menamparku. “Sudah enak diberi tempat tinggal disini. Sisa tidur, makan, belajar, dan ternyata kamu membicarakan orang dari belakang? Kamu tahu kan derajat kamu seperti apa?!”

Mulutku terbuka. Ingin menyuarakan pendapat. Tapi, kerongkonganku tercekat.

“Sudah begitu mencuri milik orang, lagi?! Bodoh. Bukan berarti karena kamu miskin kamu boleh mencuri sesukanya!”

Aku menunduk. Air mataku keluar lagi.

“Itu perbuatan keji, tahu? Ah, iya. Perbuatan keji pantas disandingkan dengan orang yang keji!” Kata Mrs. Mira kasar.

“Kamu mirip sekali dengan orangtuamu. Sama-sama busuk!”

“Orangtuaku tidak busuk!” aku berteriak parau. Mengelap mataku yang basah. Boleh saja Mrs. Mira bilang yang tidak-tidak tentangku, tapi jangan kedua orangtuaku. Memangnya Mrs. Mira tahu apa yang terjadi dengan orangtuaku?

“Dan aku juga tidak melakukan perbuatan itu. Sekalipun.” Aku menangis. Terduduk.

Aku menutup mataku. Menangis tersedu-sedu.

“Bohong.” Julia berkata.

“Kalian yang bohong! Aku tidak melakukan—”

“Berdiri!” Mrs. Mira menarik tanganku.

“Aku bisa berdiri sendiri!” kataku kasar. Melepas pegangan Mrs. Mira kemudian mengelap air mata.

“Kamu sudah berani berkata kasar di depanku, heh?! Sudah begitu keras lagi. Kamu tahu kan kalau aku kepala sekolah?”

Aku tidak menjawab. Masih menangis.

“Pokoknya setelah pulang nanti, kamu harus bertemu denganku!”

Aku menggeleng kencang. Aku tidak mau melakukan hukuman jika aku tidak melakukan kesalahan.

“WAJIB. Jika tidak, lihat saja apa yang akan terjadi besok.” Tekan Mrs, Mira. “Kalian segera pergi ke Kantin. Cepat!”

JEY menunduk. Kemudian berlari meninggalkanku dan Mrs. Mira. Sekilas, aku bisa melihat Eden menjulurkan lidahnya, mengejek.

“Kamu kenapa diam disana? Cepat ke kantin!”

Aku menunduk. Mengangguk. Berbalik dan berjalan menuju kantin.

“Lelet banget!” di belakang aku bisa mendengar Mrs. Mira mengomel-ngomel tidak jelas.

...

Hi semuaaaaa!!!!

Aaaahhh rindu nulis disini..

orang orng baru disini ada yg kenal aku gk? untuk temen-temen sasisabu lama, udh setahun ya gak saling chatan. dan ternyata aku udh masuk pondok, makanya g prnh aktif lgi (sbnrnya krn faktor malas jg)

nah, mumpung libur semester dan aku balpon, so nulis nulis aja disini drpd menggabut dirumah.

gimana ceritanya? seru ga? itu cerita setahun tertunda lohhh...

oke oke, bye bye smuaaaa...

sunny hinata

(21 - Desember - 2021)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sunny g lanjutin cerita Lily itu? oh ya! btw ceritanya bgs><

22 Dec
Balas

Kereenn... Lanjut dong-!! Ah, ana baru masuk sasisabu bulan Agustus kemarin, tapi udah sempat baca artikel yang lain ^_^ btw salam kenal. Umurnya berapa? Ana 12 ^^

21 Dec
Balas

makasihhh :)... iya aku jg 12thn, thn dpn masuk 13

25 Dec



search

New Post