Hening Almira

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Jauh di Sana (hari ke-4&5)

Alkisah, di sebuah desa yang dekat dengan pesisir dan terletak jauh dari jangkauan kota, terdapat seorang pemuda yang memiliki mimpi dapat menapakkan kakinya ke tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Pemuda tersebut bernama Alvin Ibnu Bagaskara. Ia berusia 18 tahun. Kedua orangtuanya telah meninggal sejak ia masih berusia 3 tahun. Tak ada yang mengetahui secara pasti penyebab kematian kedua orangtuanya hingga detik ini. Ketika kedua orangtuanya meninggal, ia diasuh oleh pamannya. Ia dididik dengan penuh kekerasan, dan ia dipaksa untuk melakukan banyak hal yang pamannya inginkan. Hal inilah yang membuatnya tumbuh menjadi pemuda yang tangguh. Sedari kecil, Alvin memiliki kesenangan tersendiri ketika ia mengamati lingkungan sekitarnya. Ia sangat menyukai keindahan mentari senja yang tenggelam di batas cakrawala. Hampir setiap sore sebelum ia pulang ke rumah pamannya, ia menyempatkan untuk duduk sebentar di bibir pantai untuk melihat momen kesukaannya.

Sore itu, seperti biasanya, Alvin menyempatkan untuk datang ke bibir pantai dan duduk sebentar di sana. Tetapi kali ini, ia sedikit terkejut karena ada sebuah kapal raksasa dengan panjang kurang lebih 100 meter dan lebar kurang lebih 15 meter dengan ukiran “Falcon’s Company” di pelipis geladak kapal tersebut yang membuatnya terlihat gagah. Kapal raksasa milik bangsawan di tanah seberang ini memiliki tugas untuk menyeberangi samudera luas dan berhenti di berbagai benua untuk mengangkut berbagai bahan sandang maupun bahan pangan yang akan dijual kembali dengan harga yang lebih mahal. Alvin diberitahu oleh dua kelasi kapal raksasa tersebut, bahwa mereka sedang membutuhkan beberapa kelasi tambahan. Alvin tentu tertarik dengan penawaran tersebut, setidaknya, ia bisa melihat tempat-tempat yang indah di luar sana tanpa harus membayar sepeserpun, asalkan ia mengabdi di kapal raksasa tersebut. Alvin bergumam,

“Apakah pamannya akan memberi izin untuk mengabdi di kapal raksasa milik bangsawan itu?”

Membayangkannya saja sudah tidak bisa. Entah hukuman apa yang akan pamannya berikan kepadanya. Dipukul? Dibanting? Itu sudah menjadi hukuman biasa di dalam kehidupan sehari-harinya. Tetapi bodohnya, ia tetap mencoba untuk bertanya pada pamannya saat ia tiba di rumah.

“Salam, saya pulang, Paman! Boleh saya berbicara sebentar?” ujar Alvin.

“Ya, katakan,” jawab pamannya dengan singkat.

Alvin menceritakan kejadian sore tadi dengan detail. Mulai dari kapal raksasa yang dilihatnya, hingga penawaran dari dua kelasi kapal tersebut.

“Lalu? Apa maumu?” pamannya memotong.

“Sa-saya ingin mengabdi kepada kapal raksasa tersebut,” jawab Alvin dengan terbata-bata, berusaha menyusun kalimatnya.

Lengang sejenak.

Tiba-tiba, pamannya berteriak kalap, melempar apapun yang ada di dekatnya.

“DASAR BOCAH TIDAK TAHU DIRI! Aku sudah membesarkanmu selama bertahun-tahun, Bodoh! Biar sini, ku hajar kau sampai mati!”

Dengan gerakan secepat kilat, tangan pamannya segera menyambar lengan Alvin. Menyeretnya masuk ke dalam sebuah gudang yang lama tak terpakai.

“Kau ingin pergi dariku? HAH? Aku tak akan pernah membiarkanmu ikut ke kapal manapun sebelum kau membalas jasa-jasaku! Jangan harap mimpi-mimpi indahmu akan menjadi kenyataan, Alvin Ibnu Bagaskara!”

Alvin dihajar habis-habisan oleh pamannya. Kedua tangannya diikat, salah satu kakinya diberi rantai pemberat. Sungguh, Alvin adalah pemuda yang tangguh. Ia dapat bertahan menghadapi pamannya yang selalu memberikan siksaan kepada fisik dan mentalnya selama bertahun-tahun.

* * *

Pamannya telah pergi dari ruangan usang yang lama tak terpakai ini, kemudian mengunci pintu masuknya. Entah sampai kapan pintu itu akan dibuka. Benar-benar suatu keajaiban apabila ia berhasil lolos dari pamannya.

Alvin merasa kehilangan seluruh impiannya.

“Mengapa semua ini terasa begitu berat, Wahai Tuhan Pencipta Semesta Alam…”

“Wahai Tuhan Pencipta Semesta Alam, kabulkanlah impian-impian indahku di mana aku dapat menapakkan kakiku di tempat nan jauh di sana…”

“Jauh dari penderitaan yang selama ini ku alami…”

“Jauh di sana…”

Tepat tengah malam, Alvin terbangun dari ketidaksadarannya. Ia sungguh terkejut, benar-benar terkejut. Kedua tangannya yang semula diikat, kini telah bebas bergerak. Salah satu kakinya yang semula diberi rantai pemberat, kini rantai tersebut telah terlepas dengan sendirinya. Pintu yang semula dikunci oleh pamannya, sekarang sudah dapat dibuka. Alvin berlari, secepat mungkin ia bisa berlari. Ia tak memerdulikan bercak darah yang masih menempel di wajahnya. Sekarang, yang ia pikirkan hanyalah impiannya.

Saat ia tiba di pintu masuk kapal raksasa tersebut, para kelasi segera menolongnya, membawa tubuhnya yang tak berdaya masuk ke dalam lambung kapal. Alvin berkata lirih kepada dua kelasi yang memberitahu bahwa Falcon’s Company membutuhkan kelasi tambahan,

“Fadli, Arya, rekrutlah aku menjadi rekanmu. Aku sudah tak tahan lagi dengan perlakuan yang diberikan oleh pamanku…”

Fadli dan Arya sepakat, mengangguk-angguk.

Sebelumnya, Alvin telah menceritakan pahitnya kehidupan yang ia jalani selama ini kepada Arya dan Fadli, dua kelasi yang berasal dari tanah seberang yang baru direkrut bulan kemarin. Mereka akrab dengan cepat dan saling mengenal satu sama lain.

Pukul 01:05 dini hari.

Alarm kapal dibunyikan, membuat kelasi yang sedang tidur lelap bergegas bangun dan mendengarkan arahan dari pengeras suara.

“Perhatian untuk seluruh awak kapal Falcon’s Company, kita akan berlayar menuju Rotterland pada pukul 01:30, persiapkan diri kalian masing-masing!”

Seluruh awak kapal bertanya-tanya,

“Mengapa harus pagi-pagi sekali untuk menjauh dari pesisir pasir putih yang indah ini?”

Tetapi, tentu itu kabar yang baik bagi Alvin. Karena ia tak perlu menunggu lebih lama untuk meninggalkan seluruh penderitaannya. Berlayar meninggalkan tempat kelahirannya, ratusan, bahkan ribuan kilometer jauh di depan sana.

“Terima kasih, Wahai Tuhan Pencipta Semesta Alam. Rencana-Mu sungguh indah dan luar biasa…” Alvin berkata lirih sambil tersenyum kecil.

* * *

Berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan sudah, Alvin berlayar meninggalkan pamannya. Ia tak mengetahui apa yang akan dilakukan oleh pamannya apabila ia menyadari bahwa dirinya sudah lolos dari gudang usang bak penjara buatan itu. Bisa saja pamannya mengejarnya hingga ke ujung benua. Tapi, yang benar saja lah!

Kini, Alvin hidup dengan bahagia bersama kedua sahabatnya, Fadli dan Arya. Merekalah yang menemani Alvin untuk mewujudkan impiannya; dapat menapakkan kaki ke tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Alvin memutuskan untuk mengabdi sebagai pelaut sejati hingga akhir hayatnya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bagus, ceritanya. Terinspirasi dari.mana?

06 Jan
Balas

dari imajinasi saya bu.. cerita ini saya kembangkan dari kalimat ingin mewujudkan impian untuk dapat menapakkan kakinya di tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya

06 Jan

dari imajinasi saya bu.. cerita ini saya kembangkan dari kalimat ingin mewujudkan impian untuk dapat menapakkan kakinya di tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya

06 Jan

keren banget ceritanya ditunggu cerita cerita selanjutnya.

05 Jan
Balas

makasih ricky, salam literasi!

05 Jan

Salam literasi

05 Jan
Balas

salam literasii

05 Jan

salam literasii

05 Jan

salam literasii

05 Jan



search

New Post