“Hari Kartini dan Kepalaku yang Berdenyut”

Hari ini adalah Hari Kartini. Walaupun aku laki-laki, aku tetap semangat ikut upacara di sekolah. Semua siswa diwajibkan memakai pakaian adat. Aku sendiri memakai baju muslim. Teman-teman perempuanku mengenakan kebaya dan kain batik yang warna-warni. Mereka terlihat keren dan anggun.

Upacara dimulai sekitar pukul tujuh pagi. Kami berbaris rapi di lapangan. Awalnya aku merasa baik-baik saja. Tapi lama-lama matahari terasa sangat terik, dan kepalaku mulai terasa berat. Udara panas, dan aku belum sempat sarapan karena buru-buru berangkat tadi.

Saat pembina upacara mulai berbicara tentang perjuangan Ibu Kartini, aku mencoba mendengarkan, tapi pandanganku mulai buram. Kakiku pegal dan tubuhku lemas. Aku sudah mencoba bertahan, tapi akhirnya aku angkat tangan dan meminta izin untuk duduk di pinggir lapangan.

Seorang guru melihatku pucat dan langsung membawaku ke UKS. Di sana aku rebahan dan diberi air putih. Kata Bu Guru, mungkin aku kurang istirahat atau kepanasan.

Padahal setelah upacara, akan ada fashion show pakaian adat yang ditunggu-tunggu. Teman-temanku akan tampil, dan aku ingin menonton. Tapi akhirnya aku hanya bisa melihat dari jendela UKS sambil memegang kompres di kepala.

Walaupun tidak bisa ikut menyaksikan acara sampai akhir, aku tetap senang bisa ikut memperingati Hari Kartini. Mungkin aku tidak tampil atau jadi petugas, tapi aku belajar bahwa perjuangan itu kadang datang dalam bentuk sederhana: seperti berdiri tegak di bawah matahari demi menghargai jasa pahlawan.

—