Febrina Annisa Dewi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Pesona Ranah Minang

Pesona Ranah Minang

Assalamualaikum teman-teman (^~^).

Apa kabar? Mudah-mudahan kita selalu dalam lindungan Allah ya dan sehat selalu. Aamiin... Hari ini aku mau ceritain cerita yang udah lama tapi baru keingat sekarang.

Jadi gini kan...

Jadi karena waktu itu hari libur aku dan keluarga mau pergi jalan jalan. Sebenarnya bukan tempat wisata sih tapi lebih ke tempat pengobatan. Tapi sekalian refresing lah ya.

Aie angek (Air Panas) yang terletak di kecamatan X koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Nagari terletak di dekat kota BaTusangkar, ibukota dari kabupaten Tanah Datar. Kalau dari tempat aku kota Bukittinggi sih sekitar 1 jam 15 menit perjalanan. Tapi kalau dari Kota Padang ibukota Sumatera barat sekitar 3 jam perjalanan.

Aku dan keluarga berangkat sekitar pukul 8 pagi. Di tengah perjalanan kami mampir dulu kerumah nenek karena kebetulan lewat sana. Setelah mampir kerumah nenek kami langsung melanjutkan perjalanan.

Saat di perjalanan, aku sangat senang. Terpana melihat pemandangan alam yang begitu menakjubkan. Sawah yang luasa dan hijau dan banyak teraseringnya. Juga banyak bunga yang berwarna-warni yang menghiasi tepi-tepi jalan sepanjang perjalanan. Cuaca pun dapat diajak kompromi. Membuat semuanya terasa sempurna.

Bagai melihat surga dunia. Tak ada kata bosan untuk memandanginya. Dengan satu rahasia berjuta makna. Keindahan yang menusuk raga menembus jiwa. Memberi kesan pada setiap perjalananya. Betapa indahnya ciptaan Sang Pencipta.

Saat hampir sampai di tempat tujuan, kami hampir tertesat karena salah jalan. Mama pun bertanya pada masyarakat, dan untungnya mereka memberi tahu kami jalan yang benar. Kami pun melanjutkan perjalanan, dan akhirnya tiba di tempat tujuan.

Disana suhunya tinggi sehingga panas sekali, berbeda dengan daerahku Bukittinggi yang suhunya rendah dan udaranya sejuk. Apalagi aku juga alergi dengan udara panas, itu membuatku gatal-gatal. Makanya aku jadi ngak nyaman.

Kami pun masuk kedalam. Untuk masuk ke kawasan pemandian, kita hanya perlu membeli tiket sejarga Rp. 5.000 per orang. Dan untuk biaya parkir mobil Rp. 3.000 dan motor Rp. 2.000. Terjangkau banget kan?.

Di pemandian ini kita bisa berendam sepuasnya. Tidak ada batasan jam disini. Namun ada beberapa poin penting yang perlu kalian ketahui yaitu jangan berendam sendirian dan mandi dalam kondisi lapar.

Selain penghilang lelah, kolam air panas ini juga dipercaya punya efek penyembuh. Karena itu ramai juga warga sekitar yang sering mandi ke sini.

Setelah berendam, kita bisa mengisi perut dan bersantai di beberapa warung makan yang tersebar di kawasan pemandian. Di sini juga ada fasilitas musala dan penginapan. Setelah puas dan kenyang, apalagi siap minum air kelap muda yang menyegarkan. Kami pun meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanan.

Diperjalanan, azan zhuhur pun berkumandang di langit Batusangkar. Kami berhenti dulu di sebuah masjid di tepi jalan. Masjid Nurul Amin Pagaruyung. Masjidnya bagus sekali dengan cat putih juga luas. Setelah selesai shalat kami makan di taman kota Batusangkar.

Mumpung lagi kota Batusangkar dan masjidnya kebetulan dekat Pagaruyung, Aku meminta Papa untuk mampir dulu ke Pagaruyung. Papa pun menerima permintaanku. Terakhir aku ke Pagaruyung sekitar 6 tahun yang lalu. Udah lama banget kan?.

Kami pun pergi ke Pagaruyung. Kalian tau kan apa dan dimana pagaruyung?.

Pasti tau.

Nih aku jelasin ya...

Pagaruyung adalah nagari yang terletak di dekat Batusangkar, Ibu kota Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Dari sumber tambo, nagari ini dulunya adalah ibu kota dari Kerajaan Pagaruyung.

Pada tahun 1803-1804, sekelompok haji asal Minangkabau pulang ke negerinya. Mereka terkesan oleh penaklukkan Mekkah yang terjadi awal 1803 oleh kalangan Wahhabi, dan ingin mengubah masyarakat Minangkabau lewat kekerasan. Mereka disebut Padri dan mengecam kebiasaan orang Minang seperti judi, sabung ayam, candu, minuman keras, tembakau dan sirih, dan juga adat Minangkabau yang bersifat matrilinear dan matrilokal. Cara kekerasan ini menimbulkan perang saudara dalam masyarakat Minang. Tahun 1815, keluarga kerajaan Pagarruyung dibantai oleh kalangan Padri.

Tahun 1819, Belanda balik ke Padang setelah Inggris meninggalkannya. Kalangan keluarga kerajaan yang masih hidup dan para penghulu (kepala adat) minta bantuan Belanda untuk menghadapi kekerasan Padri. Pada Februari 1821 mereka menandatangani suatu perjanjian di mana mereka menyerahkan kepada Belanda kedaulatan atas tanah Minang. Tidak lama kemudian, Belanda menyerang Padri. Mulailah Perang Padri, yang berlangsung sampai tahun 1838.

Menurut Tomé Pires dalam Suma Oriental,[15] tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman Sumatra tempat di mana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur Arcat (antara Aru dan Rokan) ke Jambi dan kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur (Barus), Tiku dan Pariaman. Dari catatan tersebut juga dinyatakan tanah Indragiri, Siak dan Arcat merupakan bagian dari tanah Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau tersebut. Namun belakangan daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar dan Indragiri kemudian lepas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh.

Kami pun masuk kedalamnya. Aku sangat senang melihat pagaruyung, dengan ukiran khas Minangkabau dan menakjubkan serta ada rangkiang di sebelahnya. Kalian tau ngak apa itu rangkiang?.

Rangkiang adalah lumbung padi yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau untuk menyimpan padi hasil panen.[1] Bangunan ini pada umumnya dapat ditemui di halaman rumah gadang. Bentuknya mengikuti bentuk rumah gadang dengan atap bergonjong dan lantai yang ditinggikan dari atas tanah. Rangkiang melambangkan kesejahteraan ekonomi dan jiwa sosial yang dimiliki oleh orang Minangkabau.

Rangkiang didirikan di halaman rumah gadang, rumah adat tradisional Minangkabau. Seperti rumah gadang, bangunan ini memiliki atap berbentuk gonjong yang terbuat dari ijuk. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu tanpa jendela dan pintu. Pada salah satu dinding singkok atau loteng, terdapat bukaan kecil berbentuk persegi tempat memasukkan padi hasil panen. Untuk menaikinya, digunakan tangga yang terbuat dari bambu. Tangga ini dapat dipindahkan bila tidak digunakan dan disimpan di bawah kolong rangkiang.

Ukuran rangkiang berbeda-beda menurut jenisnya. Rangkiang Si Bayau-bayau merupakan yang terbesar dari semua rangkiang. Rangkiang ini ditopang oleh enam tiang atau lebih, seperti pada rangkiang Istana Pagaruyung yang memiliki dua belas tiang. Rangkiang Si Tangguang Lapa dan Rangkiang Si Tinjau Lauik berbentuk identik dan sama-sama ditopang oleh empat tiang. Adapun Rangkiang Kaciak memiliki ukuran lebih kecil dan rendah.

Fungsi dari beberapa jenis rangkiang yakni:[4]

Rangkiang Si Bayau-bayau: menyimpan padi yang akan digunakan untuk makan sehari-hari. Rangkiang Si Tangguang Lapa: menyimpan padi cadangan yang akan digunakan pada musim paceklik. Rangkiang Si Tinjau Lauik: menyimpan padi yang akan dijual. Hasil penjualan digunakan untuk membeli barang atau keperluan rumah tangga yang tidak dapat dibikin sendiri. Rangkiang Kaciak: menyimpan pada yang akan digunakan untuk benih dan biaya mengerjakan sawah pada musim berikutnya.

Saat akan naik ke lantai dua, terjadi suatu hal yang memalukan. Saat akan sampai di lantai dua, tiba-tiba aku pusing dan aku ketakutan memang aku phobia dengan ketinggian. Padahal aku sudah memberanikan diri dan ku pikir kali ini aku berani. Melihat aku ketakutan dan pucat keluarga ku pun iku khawatir dan kami pun turun.

Karena tidak jadi ke lantai dua kami pergi ke dapurnya saja. Disana kita bisa melihat berbagai macam alat masak tradisional. Setelah itu kami pun keluar. Karena banyak penjual aku pun membeli gelang. Setalah itu kami pun pulang.

Di perjalanan pulang hari hujan deras. Kami mampir dulu ke kedai kawa. Pas banget hari hujan makan gorengan dan minum aia kawa.

Aia kawa (bahasa Minangkabau: air kopi daun) atau kopi daun atau kawa daun adalah minuman dari daun kopi yang diseduh seperti teh yang berasal dari Sumatra Barat. Daun kopi lokal pilihan awalnya dikeringkan dengan cara disangrai selama 12 jam. Saat akan diminum, daun kering ini dicampur dengan air dingin, lalu diseduh dengan air mendidih.

Minuman ini diseruput di saat cuaca dingin di dangau-dangau. Penyajiannya tidak dengan gelas atau mangkuk, melainkan tempurung kelapa yang dibelah dua. Tempurung ini diberi tatakan bambu. Aia kawa bisa dinikmati dengan atau tanpa gula, ditemani berbagai penganan kecil. Setelah minum aia kawa kami pun pulang.

Sekian ya teman-teman cerita dari aku. Mudah-mudahan informasi yang aku berikan bermanfaat ya.

Ooh ya jangan lupa FOLLOW aku ya, nanti FOLLBACK deh..

KOMEN YA

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Gimana bagus nggak

02 Jan
Balas



search

New Post