Kimi no Tameni
Semua orang di sekitar memalingkan wajah mereka ke arah sebaliknya setelah mendengarnya. Melindungi diri dari suara-suara itu. Kemudian menyadari ada yang aneh. Mereka ambruk. Salah satunya menngeluarkan cat merah berbau besi di sekujur tubuh.
“Ini dia rekan baru kita yang baru saja datang jauh-jauh dari negaranya, tepuk tangan dong!” seluruh ruangan memberi ucapat selamat datang dan tepuk tangan yang meriah. Ia membalasnya dengan senyuman ramah.
“Karena aku baru saja tiba, jadi tolong bantu aku sedikit nyaman dan bimbing aku untuk kedepannya, aku akan berusaha sebisa mungkin. Jadi, mohon bantuannya. katanya begitu lantang dan semangat. Ketua pimpinan menepuk-nepuk pundaknya, senang dengan perilaku pertamanya saat masuk kerja.
“Semoga kau betah,” kata Ketua pimpinan. Dia mengiyakan dan duduk di tempatnya, langsung bekerja dengan giat.
Sudah seminggu ia bekerja di Indonesia. Berada jauh dari keluarganya di seberang lautan. Keluarganya sangat khawatir padanya yang tiba-tiba dipindah tugaskan ke Indonesia. Dan juga main hari ia tinggal di Negara asing itu, semakin ada sesuatu yang salah dengan negara tersebut
“Murung lagi? Akhir-akhir ini kenapa kau sering melamun sih? Ada masalah?” tanya Teman barunya di Indonesia.
“Boleh aku bertanya? Ketut kan juga orang Indonesia. Sebenarnya apa yang terjadi sih? Kok jadi beda, gak kayak dulu,” tanyanya.
“Beda? Dalam bentuk apa?” tanya Ketut.
“Semuanya. Terakhir aku kemari tidak seperti ini.”
“Terakhir kau kemari itu tuh kapan? Sepuluh tahun yang lalu? Saat masih bisa berkumpul bebas?” tanya Ketut. Ia mengangguk ragu.
“Yaah, banyak hal yang terjadi setelah itu. Mungkin dulu kalau ada demo paling di pancoran atau gak di monas, sekarang di mana-mana. Depan rumah pun bisa. Yaah begitulah keadaan Indonesia sekarang.” Dia masih berpikir tentang apa yang Ketut katakan sebelumnya, ia masih belum terlalu mengerti.
“Kalau masih gak ngerti, kenapa tidak ikut aku aja setelah bekerja? Ke tempat nongki kita, nanti disana aku jelaskan padamu. Kau mau tidak?” ajak Ketut.
“Ketut.. kau ikut organisasi? Kalau ketahuan pimpinan bagaimana? Kau bisa dipecat.”
“Makanya aku cuman bilang ke kau doang, gak ke rekan-rekan yang lain,” bisik Ketut. dia terdiam sebentar dan mengangguk setuju, meskipun ia sedikit ragu untuk pergi ke tempat yang seperti itu di saat yang seperti ini.
Setelah selesai bekerja, Ketut mengajaknya ke café biasa di pinggir jalan. Seperti halnya markas organisasi pada saat itu, Ketut menyampaikan kata sandi kepada bartender yang dikemas dengan obrolan ringat yang mengarahkan mereka ke ruangan belakang.
Teman-teman Ketut yang berada di ‘tempat nongki’ aa sepuluh orang di ruangan itu, mereka sedang merencanakan sesuatu dan tiba-tiba dikejutkan oleh Ketut dan orang asing datang.
“Tenang, ini orang yang kubilang waktu itu,” kata Ketut menurunkan pistol yang diarahkan kepadanya.
Ketut menjelaskan apa maksud kedatangan orang asing itu kepada teman-teman, mereka mengangguk mengerti. Mereka menjadi ramah dan sangat bersedia untuk menjeaskan semuanya. Dia mengerti sekarang, apa yang salah dengan negeri ini.
“Indonesia sudah tidak seperti sebuah negara,” katanya.
“Uuwah, bisa juga kau berkata seperti itu,” celetuk Ketut. dan di hari itu juga, dia langsung bergabung dengan organisasi tersebut.
Sekarang ia menyeruakan aspirasi-aspirasi, meskipun ia tidak menjadi bagian saat demo berlangsung, tapi dia aktif di baliknya. Membuat tulisan-tuisan dalam bentuk bahasa internasional pada saat itu, sebelumnya Ketut bilang kalau semua rang yang mengerti bahasa asing sudah di telan bumi—istilah mereka.
Pekerjaannya menjadi sedikit terbengkalai karena terlalu fokus dengan organisasi. Makin lama ia tersadar, banyak orang Indonsia yang tidak sadar dengan negaranya sendiri, bahaya apa yang sedang menimpa mereka dan akhirnya dia dan kawan-kawan menjadi buronan yang sudah pasti akan masuk jeruji besi. Tapi mereka tidak peduli.
“Sial! Jadi banyak isu-isu tidak penting yang viral, video-video kita jadi tidak dipedulikan.”
“Pengalihan isu, kenapa bisa viral coba?”
“Mereka tentunya ingin warganya masih dalam genggamannya. Ah itu tentu saja,” katanya. Ketut membuka pintu ruangan dengan kasar sambil terengah.
“Oi! Kau dalam bahaya! Pimpinan mulai sadar tentangmu, rumormu yang masuk organisasi! Kau jadi buronan!” serunya.
“Aku kan hanya menyampaikan aspirasi, membantu kalian. Memangnya tidak ada perlindungan untuk aktivis seperti kita?”
“Negerimu dan negeri kami beda! Tidak ada yang namanya perlindungan yang seperti itu! Perundang-undangan sudah diacak-acak, gak mungkin mereka memasukan hal yang seperti itu,” kata Ketut panik.
“Ketut tau darimana?” tanyanya.
“Aku mendengarnya sendiri dari kantor, kau juga jadi sering bolos kerja, makanya Pak bos curiga denganmu,” jawab Ketut.
“Skenario paling buruk, kau akan dikirim kembali ke negerimu. Dipecat! Kau tau yang namanya dipecat? Get fired!” seru Ketut.
“Kalau aku kembali, aku masih bisa membantu kalian dengan demo disana, gampang kan?” katanya menyepelekan.
“Bukan seperti itu yang kami inginkan, buddy. Kau sudah sangat membantu kami, setidaknya kau memikirkan sedikit tentang dirimu sendiri. Kalau kau membantu kami terus bisa-bisa kau juga kena imbasnya, dibunuh misalnya,” kata Ketua organisasi.
“Tangkap mah tangkap aja. Bunuh tinggal bunuh. Setidaknya Indonesia kembali baik seperti dulu. Itu yang aku inginkan. Keadaan negeriku baik-baik saja, keluargaku baik-baik saja, dan aku baik-baik saja. Setidaknya aku ingin membantu walau sekedar nulis dalam bahasa Inggris,” katanya.
“Setidaknya pikirin tentang dirimu sendiri dulu, kami bisa melakukannya sendiri. Kau sudah banyak membantu kami belajar bahasa Inggris dan men-translate-nya ke bahasa Indonesia. Itu sudah lebih dari cukup dari yang kami bayangkan,” kata Ketua organisasi.
“Iya.. Heyy pikirkan tentangmu dulu, apa yang sebenarnya ingin kau lakukan. Pekerjaanmu juga berantaka. Urusan negara kami biar kami yang urus untuk saat ini,” kata Ketut.
“Lalu aku harus apa?! Aku hanya ingin membantu kalian. Tujuaku juga sama seperti kalian, membuat Indonesia seperti semula dan bahkan lebih baik lagi. Maksud kalian apa memikirkan diri sendiri itu? Aku sudah sering mendengarnya, dan ini juga keinginanku sendiri untuk membantu kalian!” serunya. Ia terpancing emosi.
Dia mengacak-acak rambutnya, “aku akan pergi menemui pimpinan, bilang kalau aku ingin keluar,” katanya dan pergi dengan cepat. Ketut mengusap wajahnya, Ketut khawatir dengan temannya itu, ia takut akan terjadi apa-apa dengannya, karena mendengar pihak berwajib akan ke kantor untuk berkeliling mengecek semuanya. Ia juga tidak tahu harus menyusul temannya ke kantor atau bersembunyi dari pihak berwajib.
Dia sampai ke kantor, dan langsung menuju ruangan pimpinan. Para rekan kerja yang sudah mengetahuinya langsung menahannya, mencoba melindunginya dan berbisik untuk pulang saja dan bersembunyi.
Mengetuk pintu. Pimpinan menyuruhnya masuk, “aku sudah menunggumu sejak tadi. Apa yang kau inginkan?” tanya Ketua pimpinan
“Mohon maaf sebelumnya Ketua pimpinan, tapi saya ingin mengajukkan surat pengunduran diri,” katanya.
“Hm? Kenapa? Kau sudah tidak betah bekerja di negara asing? Kau baru enam bulan tinggal di Indonesia, ada apa?”
“Tidak. Hanya saja dengan situasi yang seperti ini di Indonesia saya lebih baik untuk lebih banyak membantu,” jawabnya.
“Membantu? Dalam bentuk apa? Kau dipekerjakan di sini sudah sangat membantu negara, lho. Aku dengar kau ikut organisasi yang tidak jelas ya?”
“Organisasi yang saya ikuti bukannya tidak jelas..”
“Hati-hati lho, kau bisa mempermalukan negaramu di negara orang,” kata Ketua pimpinan.
“Maaf sebelumnya, tapi saya yakin saya sedang tidak mempermalukan Negara saya sendiri,” katanya. Dia menaruh surat pengunduran diri di meja, dan pamit keluar.
Di depan pintu tiba-tiba datang pihak berwajib yang masuk, mereka kelihatan tidak ramah. Dan hampir semua pekerja melarikan diri keluar kantor karena tidak ingin terkena masalah dengan mereka. Karena perawakannya yang beda dengan orang Indonesia, dia langsung ditemukan dan diserbu.
“Kami mendapat laporan tentang orang asing yang ingin meneror negeri kami,” kata salah satunya yang seperti pemimpin dalam kelompok itu.
“Meneror? Maaf Pak, sepertinya kalian salah orang. Aku tidak ada waktu untuk menyusun rencana untuk membuat keributan.” Dia menolak untuk ditangkap dan melawan saat tangannya diborgol hingga meninju salah satu aparat. Sang ketua aparat langsung menahannya dan berbisik.
“Kau ditangkap karena melawan pihak berwajib. Sayang sekali muka pucat.”
“Aku tidak pucat! Wajahku memang seperti ini!” serunya. Dia didorong secara paksa keluar dari kantor, banyak orang yang melihat kejadian itu.
“Aku hanya ingin membantu kalian! Apa kalian tidak tahu Indonesia, negeri kalian sendiri sedang kritis?! Apa kalian tidak menyadari apa yang sedang terjadi di negara kalian sendiri? Aku ini ingin membantu kalian! It’s all for you. Your country. I’m here for you! Helping You!” serunya ke orang-orang.
“It’s all for you! It’s all about you!”
Kemudian terdengar suara tembakan entah darimana, dia menutup mata karena yang terpikirkan saat itu mungkin memang sudah waktunya. Dan setelah itu orang-orang berteriak, dia membuka matanya. Bukan dia yang ditembak, tapi wajahnya seperti ada sesuatu yang lengket dan bau. Seseorang menyalakan pengeras suara.
“Sayangnya kami dilarang menembak warga negara asing, beruntunglah kau, buddy!”
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar