Sejarah Erasmus huis
"Hubungan budaya antarnegara adalah yang paling penting. Kita perlu memahami budaya satu sama lain", ujar Direktur Jenderal Kebudayaan Haryati Subadio pada pembukaan gedung Erasmus Huis yang baru pada tahun 1981. Sejak dibuka pada tahun 1970, pusat kebudayaan telah menandai e baru penguatan hubungan bilateral antara Indonesia dan Belanda, di mana kolaborasi budaya memainkan peran penting. Peranannya berkembang seiring dengan perubahan politik, pergeseran tren sosial, dan pergerakan penawaran dan permintaan. Sebagai pusat kebudayaan Belanda yang terletak di kota besar Jakarta yang terus berkembang,posisi dan pemrograman dalam kancah budaya lokal telah menjadi semakin unik.Dalam sepuluh tahun, Erasmus Huis di Jalan Menteng Raya 25 meledak dengan pengunjung. Pada tahun 1981, Erasmus Huis memiliki sekitar 3.000 anggota, an % orang Indonesia dan 10% orang Belanda. Dari 90 % ini, separuh terdi dari orang tua yang belajar bahasa Belanda pada masa penjajahan dan separuh lainnya adalah orang muda yang tidak bisa berbahasa Belanda. Semakin lama, semakin sedikit orang Indonesia yang berbicara bahasa Belanda. NRC Handelsblad memperingatkan pada tahun 1973 bahwa "posisi bahasa Belanda terancam: dalam dua puluh tahun lagi, Indonesia hanya akan berbahasa Indonesia". Akibatnya, program Erasmus Huis berubah dari sekadar mempromosikan bahasa Belanda menjadi menginisiasi acara-acara yar tidak lagi berfokus pada kebahasaan seperti musik, tarian, dan seni visual. Oleh karena itu, sebagian besar komunikasi dan sebagian kegiatan Erasmus Huis dilakukan dalam bahasa Indonesia. Misalnya, ada majalah KBRI Belanda, Serba-serbi Negeri Belanda, yang diterbitkan secara berkala pada periode pertengahan 1960-an hingga awal 1990-an. Pada saat yang sama, kursus bahasa Belanda diperluas. Erasmus Huis juga mengambil peran yang lebih rekreatif dan bahkan menyediakan klub catur dan bridge dimalam hari.Indonesia". Akibatnya, program Erasmus Huis berubah dari sekadar mempromosikan bahasa Belanda menjadi menginisiasi acara-acara yar tidak lagi berfokus pada kebahasaan seperti musik, tarian, dan seni visual. Oleh karena itu, sebagian besar komunikasi dan sebagian kegiatan Erasmus Huis dilakukan dalam bahasa Indonesia. Misalnya, ada majalah KBRI Belanda, Serba-serbi Negeri Belanda, yang diterbitkan secara berkala pada periode pertengahan 1960-an hingga awal 1990-an. Pada saat yang sama, kursus bahasa Belanda diperluas. Erasmus Huis juga mengambil 1976, penulis dan jurnalis Indonesia, Sides Sudyarto D.S., menegaskan di Hist Kompas bahwa banyak anak muda mengalami kesulitan dalam menempuh pendidikan karena terbatasnya jumla sekolah dan universitas, tingginya bia kuliah, dan mahalnya buku pelajaran Sudyarto menunjukkan bahwa Erasm Huis-di samping Institut Goethe, Yayasan Idayu (sekarang tidak aktif),Sekolah Prancis untuk Kajian Timur Jauh (EFEO) dan beberapa lembaga lainnya- memberikan akses gratis kepada bacaan dan dengan demikian merupakan alternatif yang baik untuk mengakses sumber pengetahuan secara gratis.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar