Hujan dan Sungai
assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh 🙏🏻 saya Amelia Puspa Pratiwi saya akan bercerita tentang Hujan dan Sungai.
Sepagi ini, burung nektar yang memiliki jam aktif di pagi hari masih sibuk berkicau. hinggap sana, hinggap sini, mendatangi belukar berbunga di belakang gedung sekolah, sarapan sekaligus melakukan penyerbukan. suaranya terdengar gaduh hingga dalam kelas. solarik cahaya matahari menembus kisi-kisi, menyiram papan tulis hitam di depan, menciptakan kontras yang menakjubkan pada gambar presiden dan wakil presiden yang miring, patung burung garuda yang soak, dan pak bin dengan peci hitam, kacamata kusam, duduk takzim di bangku kayu.
"Eli, tolong kumpulkan PR kawan-kawan kau." pak bin menutup buku absensi. dia tidak pernah memanggil kami satu persatu. isi kelas hanya tiga belas. cukup melihat kami sekilas, pak bin segera tahu siapa yang tidak datang.
aku mengangguk, segera berdiri, siga mendatangi meja teman-teman. beberapa lancar menyerahkan bukunya. beberapa pasrah. beberapa sedikit mengeluh. ada juga yang menolak.
"sebentar." marhotap mendengus keberatan.
"kau tidak boleh mengerjakan PR di kelas, hotap." aku balas mendengus, menemukan masalah di meja paling belakang. marhotap, si pemalas yang sering tidak mandi kalau berangkat sekolah, masih sibuk menulis, tidak mau melepaskan buku tulisnya.
"aku tidak mengerjakannya di kelas. aku hanya mau menuliskan nama," marhota bilang begitu sambil terus berusaha menulis. dasar pemalas, berbohong saja tidak becus. di mana-mana letak nama itu di bagian atas bukan di tengah halaman.
"pak!" aku berseru.
pak bin yang sedang menghapus papan tulis menoleh. matanya menyelidiki keributan di meja belakang. "ada apa, Eli?"
"marhotap tidak mau menyerahkan pr-nya," aku mengadu.
wajah marhotap memerah, dia buru-buru melepaskan buku tulis. teman-teman menoleh, segera menahan tawa melihat wajah kusut dan rambut acak-acakan marhotap. aku sekilas melihat pekerjaannya. baru satu-dua kalimat , padahal kami disuruh mengarang panjang, minimal satu halaman. rasakan, pasti dia dihukum strap. aku menyeringai puas.
"terima kasih, Eli." pak Ben menepuk-nepuk telapak tangannya yang terkena kapur tulis, menerima tumpukan buku dariku. "sekarang mari kita lihat pekerjaan rumah kalian."
aku kembali ke kursi, duduk takzim. PR kali ini tidak mudah. PR IPA. pak bin menyuruh kami menjelaskan proses terjadinya hujan. terserah, mau bertanya pada orang tua, tetangga, kenalan, atau teman. mencari jawaban di buku, entah itu buku pelajaran, buku cerita, koran, atau apa saja pun boleh. demikian penjelasan pak bin minggu lalu. "tuliskan jawaban kalian satu halaman penuh, tidak boleh kurang." tidak mudahnya, karena di antara kami berdua belas, tidak ada satupun yang punya buku paket pelajaran IPA kelas 6. Jangan tanya perpustakaan sekolah tidak bakalan ada.
"mari kita baca apa jawaban dari buku yang satu ini." pak bin menarik salah satu buku dari tumpukan, memperbaiki posisi kacamata.
kami menunggu dengan wajah cemas, saling lirik, khawatir itu buku milik kami yang dibacakan. bakalan menanggung malu kalau jawabannya sembarangan.
"bagaimana hujan terjadi?" pak bin mulai membaca.
"hujan turun dari awan-awan. awan hitam, awan besar, awan bergelombang, awan panjang, awan tinggi. ada banyak bentuk awan-awan di langit. ada yang menyerupai kapal besar, disebut awan kapal besar. ada yang menyerupai pesawat terbang, disebut awan pesawat terbang. bahkan, ada yang menyerupai kerbau, jadilah dia disebut awan kerbau..."
kami sekelas segera menahan tawa. 5 menit pak bin menyelesaikan membaca jawaban itu, yang ternyata isinya bukan tentang proses terjadinya hujan, melainkan hanya sibuk berbual tentang awan. pak bin akhirnya menyerah, ikut tertawa. "ini buku milik siapa?"
damdas ragu-ragu menghancurkan tangan. "kau pintar sekali, damdas." pak bin mengelus dahi. "kau habiskan satu halaman dengan membahas awan kerbau segala. nanti kau bahas pula bahwa Guntur terjadi karena kerbaunya mengeluh, petir karena kerbaunya bersin. ada-ada saja."
ruangan kelas dipenuhi tawa. tetapi damdas lolos dari hukuman. meski kacau sekali jawabannya, dia menunaikan tugas. satu halaman penuh, tidak kurang sebaris, apalagi lebih. mengarang satu halaman saja sudah susah payah, bagaimana pula mau melebihkan jawaban.
"baik, kita coba peruntungan berikutnya." pak bin melambaikan tangan, menyuruh kelas diam. kemudian dia menarik salah satu buku. "Hm... ini buku tulis hima, ya?"
Hima mengangguk. wajahnya langsung cemas. "nah, mari kita simak apa jawaban Hima."
Hima, teman satu mejaku, segera meringkuk. aku nyengir meliriknya. jangan-jangan dia juga sama seperti damdas, "mengarang bebas".
"bagaimana hujan terjadi?" pak bin kembali membaca.
"alkisah, pada zaman dahulu kala, ada seorang putri yang dikurung ibu tirinya di penjara gelap. Malang nian masih Putri itu. siang hari dia bekerja keras membersihkan istana, mengepel, memasak, memerah susu, dan mengelap kaca. malam hari dia dimasukkan ke ruangan pengap tertutup, hanya berteman kan gelap dan gelap. dia tersiksa siang malam, diteriaki, dihina, kesedihan memenuhi hati. setiap malam dia digiring masuk penjara. pintu ditutup penjaga, berdebam kencang. sang Putri mulai menangis terisak, terkenang ibunya yang baik hati, teringat ayahnya yang pergi berperang entah kapan pulang, teringat kerajaannya yang dikutuk nenek sihir kering merontang selama bertahun-tahun."
pak bin terdiam sebentar. dia sepertinya hendak menghentikan membaca pekerjaan Hima, yang juga sama kacaunya dengan pekerjaan damdas. tetapi, apa hubungannya proses terjadinya hujan dengan kisah sang putri? pak bin dan seluruh kelas sedikit penasaran. aku menyeringai, mengikut lengan Hima. yang di sikut malah melotot.
"suatu malam, langit ternyata mendengarkan kesedihan sang Putri. langit ikut terharu awan hitam menggumpal di atas kerajaan, ikut menangis bersama sang putri maka sejak hari itu, setiap kali Putri menangis, hujan turun menyiram bumi. air mata putri terbang berubah menjadi air hujan, kutukan si nenek sihir telah musnah...Oi?" pak bin tidak tahan lagi meneruskan, bahkan perlu melepas kacamata.
teman-teman tertawa. damda siang tadi ditertawakan kini tertawa lebih lebar. hanya marhotap yang mengalahkan tawa damdas sambil tak tahan menepuk-nepuk meja.
"kau tidak salah mengerjakan PR, Hima?" Hima nyengir, tidak menjawab.
"ini PR IPA, bukan bahasa Indonesia." Pak bin tertawa sebal. "meski harus bapak akui, lama-lama membaca jawaban kau ini, bapak jadi bisa percaya bahwa hujan sesungguhnya terjadi dari air mata putri."
"kau dapat cerita itu dari mana?" aku berbisik pada Hima
"aku karang-karang saja." Hima mengangkat bahu, wajahnya bersemu merah. "daripada tidak mengumpulkan tugas."
"baiklah." pak bin memasang kacamata kembali, meletakkan buku Hima ditumpukan paling bawah. "kita coba peruntungan yang berikutnya."
"oi, ini buku tulis siapa?" gurat wajah pak bin mendadak berubah.
aku bersorak dalam hati. aku mengenalinya. itu buku marhotap. lihatlah, si empunya buku bergegas menutup mulut, hilang sudah tawanya menertawakan jawaban damdas dan Hima.
"bagaimana hujan turun?" pak bin membaca dengan suara keras. "hujan terjadi karena ada yang kencing di atas langit."
"kami sontak tergelak , tapi pak bin jelas tidak tertawa. "buku ini punya siapa?" pak bin berseru serius.
dan sebelum kemarahan pak bin memuncak marhotap takut-takut beranjak dari kursinya, melangkah ke depan. demi menatap wajah serius pak bin, kami juga terdiam menelan ludah, tidak berani bahkan untuk tersenyum meski lucu sekali mendengar jawaban marhotap.
'berapa kali bapak harus bilang?" pak bin perlahan menghela napas , berusaha mengendalikan diri. "tidak masalah kalian menjawab sembarang, mengarang bebas, kacau macam jawaban Hima atau damdas, tapi kerjakan PR sesuai perintah. satu halaman penuh bukan satu kalimat, Marhotap ."
tentu bukan karena marhotap menjawab asal yang membuat pak bin jengkel. di tengah keterbatasan sekolah, pak bin selalu menekan tentang disiplin, disiplin, dan disiplin. itulah jawaban semua keterbatasan. pak bin berada di garis terdepan pendidikan anak-anak kampung kami. dia bisa siang malam mendatangi rumah kawan kami yang tiba-tiba berhenti sekolah. membujuk kawan kami itu. mengajak bicara orang tuanya. pak Ben percaya pendidikan yang baik akan memberikan masa depan yang lebih baik bagi kami, bukan sekadar menjadi petani miskin tinggal di kampung.
"siapa yang menyuruh kau maju ke depan?" pak bin melotot.
"Eh?" marhotap menggaruk kepala. "bukannya saya disetrap, pak?"
" kali ini tidak." pak bin mendengar. "kembali ke bangku kau! nanti akan bapak berikan tugas yang membuat kau jera. Oi, berapa kali kau mengerjakan PR di kelas? berapa kali kau hanya mengumpulkan PR hanya halaman kosong? alangkah susahnya menyuruh kau belajar."
marhotap tidak menjawab. dia tertunduk, lantas balik kanan, kembali ke bangkunya. aku ber yaaah kecewa. tadinya aku harap marhotap akan berdiri mematung di samping papan tulis sepanjang pelajaran IPA. dengan wajahnya yang kusut, rambut lebat berantakan tidak pernah disentuh sabun, patung marhotap akan jadi hiasan menarik selain patung burung garuda.
"baiklah, sepertinya tidak ada yang tahu jawabannya tentang terjadinya hujan." pak bin memeriksa cepat buku tulis yang tersisa, membaca sekilas, menggeleng, kemudian meletakkan tumpukan buku di atas meja. "perhatikan ke depan, anak-anak. hari ini kita akan membahas salah satu siklus alam yang hebat. siklus yang seringkali kita lupakan. sebaliknya, malah kita rusak. siklus terpenting dalam kelangsungan hidup kita."
pak bin mengetuk papan tulis dengan penggaris panjang "kita akan membahas tentang hujan."
***
burung nektar masih sibuk berkicau di luar. "mari kita mulai penjelasan siklus itu dari sungai." pak bin menatap seisi kelas. kami duduk takzim bersiap mendengarkan " Sungai tidaklah sederhana yang kita lihat pada sungai kampung kita, sungai adalah simbol perjalanan air yang panjang. air datang, mengalir dari pegunungan, melewati lembah-lembah, dataran tinggi, hutan-hutan lebat. ratusan jumlah sungai itu, bagai serabut akar pohon. meliuk melintasi perkampungan dan perkotaan, kemudian bertemu ratusan cabang anak sungai lainnya. membentuk sungai yang lebih besar, lebih besar, dan lebih besar lagi, hingga bermuara di laut lepas, samudra biru, atau danau yang luas.
"apakah Sungai kampung kita sudah panjang? tidak. berapa kilometer sungai terpanjang di dunia? ribuan kilo. Sungai Nil di Mesir misalnya, 6.650 km. Sungai Amazon di Brazil, 6.400 km. sungai Yangtze di Cina, Mississipi di Amerika, dan banyak lagi sungai dengan panjang ribuan km. berapa panjang Pulau kita? hanya 1.650 km, itu berarti Sungai Nil bisa 4 kali meliuk melintasi pulau Sumatera. bolak-balik mengalirkan air tanpa henti. itu sungguh perjalanan air yang luar biasa. belum terhitung anugerah dan kebaikan yang diberikan aliran air di sepanjang sungai itu. lebih mengagumkan lagi. catat baik-baik, 2/3 permukaan bumi adalah air, bukan daratan. 2/3 permukaan bumi adalah lautan, danau, atau sungai." pak bin memperbaiki posisi peci hitamnya.
aku selalu takjub mendengar pak bin mengajar. takjub melihat gerakan tangannya yang menganggap kapur, menulis daftar sungai. tatapan matanya yang selalu antusias. peci kusamnya yang miring. suaranya yang dipenuhi keceriaan. juga kecintaannya mendidik menjadikan pelajaran berlangsung jauh dari membosankan. seluruh kelas tapi menyimak termasuk markota yang pemalas.
"nah, bagaimana terjadinya hujan? trik cahaya matahari membuat air di lautan menguap. juga air di sungai, air di danau,, air tergenang di halaman sekolah, di selokan. semua menguap berubah menjadi awan. coba kalian letakkan segelas air di atap seng. air dalam gelas dengan segera akan berkurang menguap ke langit, berubah menjadi gumpalan awan. awan-awan terus bergerak dan berkumpul. semakin lama semakin berat,pekat, dan gelap. awan inilah yang menampung begitu banyak bibit-bibit hujan"
"perbedaan suhu, tekanan, dan gesekan awan-awan akan menciptakan petir serta Guntur. sedangkan proses kondensasi akan mengubah gumpalan awan pekat menjadi kristal air. kalian pasti pernah melihat embun di ujung rumput bukan? nah, seperti itulah awan-awan mengembun, terkondensasi, membentuk kristal-kristal air. semakin berat, semakin banyak kristal air. saat tidak kuat lagi kristal air itu luruh ke bumi, menjadi miliaran tetes air. saat tidak kuat lagi, kristal air itu luruh ke bumi, menjadi milyaran tetes air. terjadilah hujan"
"hujan turun di hutan-hutan lebat. hujan turun di gunung-gunung tinggi. di ladang kita, di kampung kita. memberi binatang ternak kehidupan. memberi hewan liar kehidupan. juga memberi manusia kehidupan. hujan menyuburkan tanaman, padi, jagung, kelapa, manggis, buah-buahan, dan sayur. hujan sungguh memberikan kehidupan dalam artian yang sebenarnya. kodok berdengking nyaring, rumpun bambu bernyanyi, bahkan burung walet terbang menari menyambut hujan." kedua tangan pak Din meniru gerakan walet terbang demi tertawa.
"sebagian air hujan yang tidak digunakan manusia, hewan, atau tumbuhan akan diserap oleh tanah, sebagian lain kembali berkumpul menjadi sungai. mata air di hutan bergabung membentuk sungai. ratusan jumlahnya terus mengalir menyata dengan selokan, dengan sungai-sungai lain. semakin besar, besar, dan besar, hingga kembali membentuk siklus hebat seperti yang bapak ceritakan sebelumnya. perjalanan air yang panjang, ribuan KM melewati lembah, dataran tinggi, perkotaan, perkampungan, hingga tiba di samudra luas." babi yang terdiam sejenak, tersenyum menatap mejaku . "Nah, sekarang kau tahu bahwa hujan terbentuk bukan karena ada Putri yang menangis, Hima."
sampai sini dulu ya, saya akhiri wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh 🙏🏻
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar