Alanis Salsa Dewi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Senyuman di Langit Mandaraka

Senyuman di Langit Mandaraka

Awan mendung menggelayut langit Mandaraka. Angin dingin berhembus menerkam kebahagian. Semua berganti muram. Mandaraka telah lelah dipermainkan oleh alam. Dan saat ini negara itu telah jatuh dalam kemurungan. Kesedihan melanda seluruh istana.

Tangisan lirih menggema dari sudut ruangan besar di keputren. Sebuah ranjang tergeletak dengan sesosok tubuh diatasnya. Terdengar suara isak tangis tertahan. Hari ini apa yang telah dikuatirkan oleh Dewi Setyawati benar-benar terjadi.

Sejak semalaman kegelisahan dan kebimbangan hatinya terus hinggap, meskipun kata-kata penenang terucap dari Prabu Salya. Semalam adalah malam tersingkat dalam hidupnya. Ia merasa tidak ada lagi yang mampu menopang hidupnya kali ini. Semua telah pergi.

Orang yang dicintainya telah tiada untuk selamanya. Masih terngiang jelas di benaknya. Sentuhan lembut suami tercinta. Masih terasa di tangannya genggaman cinta yang diberikan oleh Prabu Salya. Masih terdengar suara menenangkan suaminya, ketika meminta izin untuk pamit pergi keesokan hari. Masih tergambar roman muka penuh cinta yang ditampakkan oleh Prabu Salya kepadanya. Bahkan Dewi Setyawati masih terbayang kecupan lembut di pipinya sebagai penghantar tidur pembuka pintu mimpi semalam.

Namun dari kesemuanya itu, tatapan terakhir Prabu Salya lah yang kuat menusuk hatinya. Tatapan terakhir di pagi buta sebelum meninggalkan istana Mandaraka. Terpancar di matanya rasa kasih yang selama ini telah menyiram hati Dewi Setyawati hingga cinta itu takkan pernah terganti oleh siapapun.

Hatinya masih menjerit. Berita yang dibawa oleh pengawal kerajaan beberapa jam yang lalu masih tergeletak di meja. Dia tidak perlu membaca seluruhnya karena satu kalimat akhir telah membuktikan kegelisahannya. Ia tak sadarkan diri ketika mengetahui firasatnya benar-benar terbukti.

Gumpalan awan mendung yang selama ini jarang terlihat di Mandaraka membuktikan semuanya. Sang surya ikut bersedih karena ditinggal manusia tercintanya. Tidak ada lagi kehangatan sinar yang selalu menjadi kesenangan Dewi Setyawati ketika sedang bercengkerama dengan suaminya. Semua pudar terganti suasana dingin.

Dewi Setyawati bangkit dari pembaringan. Matanya merah. Entah sudah berapa banyak air mata yang dikeluarkan hari ini. ia menangis sampai matanya terasa kering karena tak ada lagi tetes air mata yang jatuh. Semua telah tercurahkan. Ia mengedipkan mata. Mencoba menghalau pikiran kalut yang terus hinggap.

Dewi Setyawati meraih kertas yang ada di atas meja. Dibacanya kembali, kata demi kata. Agar ia yakin kembali. Ia menghela nafas panjang. Mencoba menenangkan diri tapi jiwanya tertahan. Sebuah dinding beku telah mendinginkan hatinya. Kesedihan telah menggerogoti jiwanya.

ia berusaha bangkit berdiri. Dengan sempoyongan, ia berjalan menuju pintu kamar. Ia ingin keluar dari keputren untuk menuju istana. Ia ingin segera menjemput jasad suami tercinta. Hal terakhir yang ia inginkan adalah melihat suaminya terbaring tenang dalam menghadapi kehidupan di sisi lain dunia ini.

***

“Kanda, aku ingin menceritakan suatu hal”, kata-kata lembut keluar dari mulut Dewi Setyawati. Ia sedang melihat suaminya duduk di tepi ranjang. Prabu Salya segera menoleh.

“Apa yang dinda ingin sampaikan?” tanya Prabu Salya dengan sedikit penasaran.

“Tadi malam dinda, bermimpi aneh dan menakutkan, Kanda, dinda bermimpi seekor ular menggigit kaki dinda, dinda panik dan sangat takut sekali. Dan akhirnya dinda terbangun. Saat dinda menoleh, kanda tak ada di samping dinda. Dimanakah kanda tadi malam? Aku takut sekali.” Dewi Setyawati menceritakan perihal mimpinya. Tersirat nada gelisah di dalamnya.

“Sebuah firasat buruk mungkin saja akan terjadi sesuatu pada diri kanda atau negara Mandaraka.” ia meneruskan ceritanya.

Dengan lembut, Prabu Salya meraih tangan Dewi Setyawati.

“Tenangkan dirimu dinda, tidak akan terjadi apapun pada dirimu, aku berjanji akan terus disisimu.” ucapnya mesra.

“Tapi kanda. Aku takut sekali, mimpi itu benar-benar nyata, aku sepertinya masih merasakan sakitnya gigitan ular itu.” ujar Dewi Setyawati sambil meraba pergelangan kakinya. Ia merasa kalau tadi malam itu bukan mimpi. Tapi entahlah antara sadar atau tidak, ketakutan masih membayangkannya.

“Dinda, aku mohon pamit kalau besok akan berangkat pagi-pagi buta, Prabu Duryudana memintaku bergabung dalam perang melawan Pandawa.” ucap Prabu Salya tiba-tiba. Kata-kata itu menghenyakkan seketika kesadaran Dewi Setyawati.

“Apa, kanda akan pergi, bukankah kemarin Romo Bisma udah turun tangan langsung, kanda sendiri yang berkata kalau tak ada satupun panglima Pandawa yang mampu mengalahkannya, terus mengapa tiba-tiba kanda harus terjun langsung.” ceceran kata-kata Dewi Setyawati berujung pada bertambah rasa takutnya yang semakin meningkat.

“Dinda, dengarkan kanda, ini adalah tugas negara. Kewajiban yang harus dipenuhi seorang abdi negara kepada negaranya. Astina sedang mengalami perang besar dan kanda sebagai bagian dari abdi astina harus bersedia berkorban jika diperlukan.” kata-kata Prabu Salya terhenti sejenak. Diraihnya segelas air yang terletak di meja. Diteguknya perlahan.

Prabu Salya menghela nafas panjang. Ia berusaha melanjutkan kembali perkataannya kepada sang istri tercinta. “Dinda harus mengerti kalau kanda adalah ksatria yang bertanggung jawab dan berpendirian teguh.” perkataan Prabu Salya terhenti ketika Dewi Setyawati bangkit dan duduk didekatnya.

“Aku merasakan firasat buruk esok hari, kanda”. Dewi Setyawati berbicara lirih. Prabu Salya menangkap apa yang sedang dirasakan istrinya. Sebagai laki-laki sejatinya, sudah menjadi tanggung jawabnya lah untuk memberikan ketentraman belahan jiwanya. Dengan penuh sayang di tatap mata indah sang istri.

“Kanda sangat mencintai dinda, bagi kanda firasat yang kamu rasakan sebagai wujud cinta. Aku beruntung memilikimu. Kamu sempurna dimataku. Bagi kanda, tiada orang yang dapat menggantikanmu di hatiku.” terucap kata-kata manis dan lembut dari bibir Prabu Salya. Dengan mesra didekapnya bahu Dewi Setyawati. Ia berbisik di telinganya.

“Anugerah sang surya telah memberiku jalan terang dalam kehidupan. Aku ingin kamu tetap tegar meskipun cobaan berat menimpamu. Mungkin dinda takut takkan bertemu kanda lagi untuk selamanya. Tapi kanda meyakinkan dinda kalau akan aku berikan senyuman indah ketika kita bertemu lagi esok.”

Malam semakin pekat. Suara jangkrik mulai menghilang. Sang bulan tersembunyi malu dibalik rindangnya awan. Entah siapa yang dilihat oleh bulan, tapi sebuah cahaya putih berkelebat menuju puncak menara Mandaraka. Semua tampak damai, semua terlihat tentram. Namun sebuah misteri terbungkus tabir siap terbuka dan mengejutkan banyak pihak. Alam telah belajar dari pengalamannya tentang kehidupan. Ketika yang tersurat terlaksana dan tersirat telah bermakna.

***

Tak ada teriakan kesakitan dari wajahnya. Hanya seutas senyum kecil tersungging kaku. Apakah yang tersirat di senyuman itu. Sebuah teka-teki beribu makna. Senyum kesenangan atau ejekan. Tidak ada yang tahu kecuali pemilik senyuman itu sendiri.

Suasana tiba-tiba hening. Matahari bersinar sangat terik. Seolah menunjukkan bahwa siapa pemilik kekuatan kehidupan sesungguhnya. Semua itu tak berlangsung lama. Keheningan telah berganti dengan cepat. Riuh rendah, orang-orang bersorak. Mereka meneriakkan suara kemenangan. Suara kemenangan menenggelamkan kegelisahan hati seseorang yang telah menghantarkan sebuah kehidupan ke sisi lain dunia ini.

Teringat apa yang terjadi ketika dirinya berjibaku menunjukkan siapa yang terpandai dalam olah kanuragan dan ketangkasan memanah. Dan juga peristiwa ketika bertarung memperebutkan sebuah senjata sakti ciptaan dewa. Bahkan ketika membela seorang puteri yang berujung pada kesalahpahaman hingga akhirnya ia sadar kalau orang yang selama ini menjadi musuh adalah menantunya sendiri.

Ia masih menatap sosok tubuh yang tergeletak di depannya. Darah mengalir dari dadanya. Sebuah tombak tertancap di sana. Namun wajah dengan senyuman aneh tertuju pada Yudhistira.

“Mengapa kau tersenyum di saat ajal menjemputmu?” tanya Yudhistira pada jasad tak bernyawa di depannya.

Salya telah gugur di medan perang. Ia terbunuh oleh Yudhistira. Apa yang selama ini ia takutkan terjadi. Kematian telah ditakdirkan sendiri jauh sebelum perang dimulai. Salya masih ingat hari sebelumnya, dirinya dibentak kasar oleh Romo Bisma karena dianggap berkhianat dan ingin menjadi panglima pasukan Astina. Tidak ada prasangka buruk sebelumnya. Ia seperti domba dikepung kawanan serigala. Hingga akhirnya sebuah tombak melesat dan menancap di dadanya. Menghilangkan dengan seketika jiwa kehidupannya.

***

Dewi Setyawati memeluk jasad suaminya yang tersenyum. Ia masih tak percaya kalau sang suami benar-benar telah pergi. Tapi dalam kepergiannya, Prabu Salya ingat akan janjinya. Ia berjanji memberikan senyuman kepadanya ketika bertemu kembali. Dan janji itu benar-benar terlaksana.

Tangisnya tertahan. Ia masih belum bisa melepaskan pelukannya. Di balai besar istana Mandaraka, suasana berkabung menyelimuti seluruh penghuni istana. Mereka berkabung untuk junjungan yang menjadi panutannya. Prabu Salya tidak hanya adil dan tegas dalam memerintah tetapi juga murah hati dan dermawan. Tak peduli pejabat ataupun rakyat jelata, kalau ia menjumpai orang yang kesulitan selalu dibantunya.

Ketegasannya telah berujung pada ketentraman hidup para rakyat Mandaraka. Prabu Salya tidak pilih kasih dalam menegakkan hukum. Semua sama di matanya, jika bersalah harus dihukum. Tidak ada yang kebal karena kekuasaan.

Semuanya telah pergi. Perang besar telah merenggut nyawa sang ksatria agung. Ia gugur membela negara. Prabu Salya tahu kalau apa yang ia ikuti salah, dan rela namanya tertulis dalam sejarah sebagai penentang kebajikan. Untuk menegakkan kebaikan, dibutuhkan pengorbanan kebaikan itu sendiri. Dirinya telah memutuskan kalau Kurawa yang ia bela hanya dapat dihentikan dengan menunjukkan pengorbanan kebaikan.

Seseorang berjalan menghampiri Dewi Setyawati. Ia mendekat lalu duduk bersimpuh.

“Terimalah pemberian dari Dewi Madri, ibu Nakula dan Sadewa kepada Dewi Setyawati sebagai ungkapan duka cita yang mendalam. Sebuah peti kayu diletakkan disamping Dewi Setyawati. Perhatiannya teralihkan sejenak. Ia menatap kotak itu lalu membukanya. Matanya menyipit menghindari sinar putih yang datang dari dalam kotak. Namun itu hanya sementara. Ketika diraihnya secarik kertas yang digulung rapi. Perlahan gulungan itu dibuka dan ia membaca tulisan yang tertera di sana.

Biarkan restu dan anugerah yang lahir bersama titisan surya tetap mengalir dalam kehidupan yang diciptakannya. Dia berhak diagungkan oleh pemberi cahaya hidup yang telah menggantikan anugerah surya yang hilang sementara. Dan sebuah cahaya akan terus menimbulkan pijar dalam kegelapan tanpa mengeluh terusik oleh kegelisahan’.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post