Kembali untuk Mengerti
Judul : Kembali Untuk Mengerti
Penulis : Adelia Rahma Pertiwi
Sekolah : SMA Al Muslim XI IPS 2
BRAAAAK
“Lo kenapa sih, Le? Dari tadi marah-marah aja idup lo bikin gue pusing aja”
Yang diajak bicara masih bersungut dengan sebelah kakinya dihentakan ke tanah. Raut wajahnya seasam cuka pempek mamang kantin sekolah mereka. Helaan napas berat terus keluar dari mulutnya membuat orang yang di sebelahnya kesal akhirnya menjambak rambut ikal coklatnya yang menjuntai.
“HEH GILA LO JAMBAK RAMBUT INDAH GUE!”
“Le, kecilin suara lo ya ampun. Kalah dah sound hajatan. Lagian, lo ngapain sih dari tadi marah-marah? Cape tau ga sih gue liatnya” keluh Tela, sahabatnya.
Akhirnya Gale menceritakan alasannya. Ia tidak sengaja tertidur di kelas matematika membuatnya diberi hukuman membersihkan seluruh toilet lantai 3 yang terkenal atas kejorokannya.
“Lo tau ga sih, La. Selama gue bersihin tuh toilet, kebanyakan huek hueknya saking kotornya. Sampe akhirnya gue nyerah dan bayar bang Mamat buat lanjut bersihin toiletnya,” nada suaranya sangat menggebu-gebu dengan sorot mata marah.
“Pokoknya gue benci banget sama yang namanya guru. Benciii banget,” Lanjutnya.
Tela hanya mencibir sambil menatap hpnya, mencari refrensi café yang menurutnya enak menjadi tempat nongkrong mereka hari ini.
“OH MY GOD, Le! Lo harus tau, hari ini di seberang sekolah agak jauh dikit ada opening café baru. Tempatnya instagramable gitu. Kita harus kesana!”
Gale yang pada dasarnya tipe yang sekut aja, langsung meng-iyakan kemauan Tela. Mereka segera keluar dari area sekolah. Saat mereka mencoba menyeberangi jalan, dari arah berlawanan, sebuah motor melesat cepat kearah Gale, dan
BRAAAAAKKK
Darah mengucur deras dari kepala Gale. Tela yang melihatnya sangat shock dan berteriak meminta pertolongan. Orang-orang disekitar segera berkerumun, beberapa mencoba menolong dengan cara menelpon ambulan. Tubuh Gale yang bersimbah luka dan darah dipeluk oleh Tela yang masih menangis memanggil-manggil namanya, menyuruhnya untuk bertahan.
Beberapa saat kemudian ambulan datang dan tubuh Gale segera diangkat untuk menuju rumah sakit.
。˚⸙͎۪۫⋆ ༄
Gale’s Point of View
Gelap. Rasanya seolah-olah aku ditarik menuju ke dunia lain. Apa aku sudah mati? Astaga, aku bahkan belum sempat bertaubat. Bagaimana bila aku masuk neraka dan disiksa? Ah, tidak-tidak. Membayangkannya saja sudah membuatku gemetar ketakutan.
Tapi, aku tidak merasakan apa-apa. Apakah ini mimpi?
Aku mencoba memjamkan mataku, lalu kembali membukanya. Namun semuanya berubah. Saat ini aku berada di sebuah ruangan kesehatan. Tapi entah mengapa, aku merasa ruangan kesehatan ini berbeda dari ruangan kesehatan yang biasa aku lihat. Dari bentuknya, ruangan ini memiliki gaya masa kolonial Belanda yang kental. Di sebuah bangku di depanku, seorang gadis berkebaya putih beserta kain jariknya, tidak lupa dengan rambutnya yang dicepol rapi, tertidur.
Aku mencoba turun dari kasur namu badanku tidak bisa dikompromi. Rasanya sakit semua membuatku mengerang.
Mungkin eranganku membuat gadis tadi terbangun dari tidurnya. Ia buru-buru menghampiriku.
“Ale, sudah bangun, kah?” tanyanya dengan logat Jawanya yang kental.
“Ini dimana? Dan kamu siapa?”
Matanya memincing, menunjukkan kecurigaan. Ia mengulurkan punggung tangannya ke dahiku.
“ Di sekolah toh. Aku Lastri temen deketmu. Mosok iyo sih, karena terkena bola arek-arek londo, kamu jadi hilang ingatan?”
Aku masih sangat tidak mengerti situasi ini. Mata ku edarkan ke sekeliling. Sekolah ini benar-benar seperti bangunan Belanda asli. Banyak anak-anak bule berkeliaran dengan arogan di hadapan anak-anak pribumi di sepanjang koridor ini.
Tiba-tiba aku teringat, TAHUN! Aku memalingkan wajahku pada Lastri.
“Lastri!” panggilku yang dibalasnya hanya dengan gumaman.
“Tahun berapa ini?” lanjutku. Ia menatapku lalu menjawab, “!879, kenapa?”
Ah, aku rasa aku benar-benar sudah mati. Atau sudah bereinkarnasi? Entahlah. Aku merasa gila.
Tiba-tiba Lastri menarik tanganku dan mempercepat jalannya. Katanya pelajaran mevrouw Lauritz sudah dimulai beberapa menit yang lalu. Lagi-lagi pelajaran matematika. Sepertinya aku dihantui matematika. Tapi, aku juga tidak menyukai semua matapelajaran. Meskipun sebenarnya aku masih tergolong rata-rata dalam segi otak.
“Ale? ben je terug?” wajahnya terlihat cemas. “Gaat het wel goed? Is er iemand ziek?” Lanjutnya.
Trans : (Ale? Kamu sudah kembali?) (Kamu baik-baik saja? Ada yang sakit?)
“Met mij gaat het goed, mevrouw,” wow, ibu akan bangga bila mengetahui anaknya yang pemalas ini diam-diam menguasai beberapa Bahasa.
Trans : (Saya baik-baik saja, nyonya)
Beliau menyuruhku kembali ke tempat dudukku yang berada tepat di sebelah Laras. Bisa dilihat,sebagian anak laki-laki memandangku dengan kagum, dan sebaliknya, para gadis menatapku tidak suka.
Biasanya orang-orang kulit putih memandang remeh terhadap pribumi, tapi kenapa mereka bisa menatapku dengan pandangan mengagumi seperti itu. Padahal aku juga merupakan bagian dari pribumi. Apakah aku berasal dari keluarga yang berpengaruh? Atau karena aku pintar dan cantik?
Aku mulai mendengarkan penjelasan mevrouw Lauritz. Ia menjelaskan dengan cepat namun detail. Disatu kesempatan juga ia bertanya apakah para murid mengerti dengan penjelasannya, dan jika ada murid yang tidak mengerti, pelan-pelan ia bantu untuk mengerti.
Cara mengajarnya jauh lebih baik daripada guru-guru di sekolahku yang memiliki prinsip ‘yang penting ngajar terus dapet gaji’.
“Ale, begrijp je mijn uitleg?” tanyanya padaku yang ku balas anggukan.
(Ale, kamu mengerti dengan penjelasanku?)
“Kunt u mij helpen met dit probleem?” tanyanya lagi.
(Bisa bantu aku mengerjakan soal ini?)
Dengan segera aku bangkit dan mengambil kapur tulis ditangannya kemudian mengerjakan soal yang ia berikan dengan lancer. W-wow, siapa sebenarnya gadis ini? Sepertinya darah cerdasnya benar-benar mengalir kepadaku hingga membuatku terkesiap.
Mevrouw Lauritz mencoba mengoreksi lalu tersenyum mengetahui jawabanku benar semua. Ia mengelus rambutku yang dicepol.
Tiba-tiba,
DORRR DORRRR
Suara senapan berulang kali terdengar dari arah lapangan. Teriakan panik para murid menggema di penjuru sekolah. Derapan langkah berat menghampiri tiap kelas yang ada.
Ku lihat seorang anak pribumi diseret dengan kasarnya ke depan koridor kelas. Laki-laki tegap yang menyeretnya mengucapkan sederet kata kasar dalam Bahasa Belanda yang ditunjukkan kepada anak itu. Kakinya menendang badan sang anak hingga babak belur. Tiba-tiba ia mendongkan senapannya, dan,
DORRRR
Aku tak sanggup melihatnya. Mevrouw Lauritz mencoba mengkondisikan para murid agar tidak panic. Namun percuma sudah, para murid menjerit histeris karena ketakutan. Aku menatap Laras yang badannya gemetar, namun aku bertanya mereka ini siapa.
Ternyata mereka adalah para tentara yang tidak pernah setuju anak-anak pribumi bersekolah sehingga mereka sering melakukan hal semacam ini untuk memberantas para pribumi yang memaksakan kehendak untuk bersekolah.
Aku turut ketakutan. Seorang tentara menatapku dan dengan cepat berjalan kearahku. Air mata turun dengan derasnya tidak dapat tertampung. Ia mensejajarkan senapannya ke dadaku. Badanku kaku. Kakiku mati rasa.
Tiba saatnya ia menarik pelatuknya, mevrouw Lauritz melindungiku hingga akhirnya peluru yang seharusnya mengenaiku, menembusnya. Tubuhnya limbung. Darah mengucur terus-terusan membuatku semakin histeris. Ku tangkup tubuhnya yang lemas terkulai. Iris birunya menatapku dengan sayu lalu berkata,
“Bangunlah. Jadikan hal ini sebagai pelajaran. Jangan pernah benci gurumu. Guru selalu ingin yang terbaik untuk murid-muridnya. Karena muridnya adalah segala baginya.”
Setelah itu, semuanya gelap.
。˚⸙͎۪۫⋆ ༄
Gale terbangun dari komanya dengan mata basah penuh dengan air mata. Semua mimpinya terasa nyata. Ia masih terus menangis hingga sesenggukan.
Tela yang baru saja masuk ruangan inap terkejut da dengan segera memencet tombol yang berada di samping ranjang untuk memanggil dokter.
“Le? Gale? Lo gakpapa? Ada yang sakit?” pertanyaan bertubi-tibi dating dari mulut Tela. Raut wajahnya khawatir atas keadaan sahabatnya itu.
Gale hanya menggeleng gelengkan kepalanya.
“Tel, kalo gue udah boleh sekolah, temenin gue minta maaf ke semua guru yang pernah gue jahatin, ya?”
Tela mengernyit bingung lalu menanyakan alasannya. Akhirnya Gale menceritakan keseluruhan mimpi yang ia alami membuat tela mengangguk-angguk dan mengiyakan kemauan Gale.
。˚⸙͎۪۫⋆ ༄
Jangan pernah membenci guru karena ia merupakan sumber ilmu bagi muridnya dan juga selalu menginginkan segala yang terbaik untuk para muridnya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar