Quina Anindya Dewi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Saat Langit Keluarga Menjadi Mendung

Ketika aku masih kecil, aku tinggal bersama ayah, ibu, dan kakakku. Aku adalah anak terakhir dari dua bersaudara. Ayah sangat menyayangi keluarga kecil kami. Apa pun yang kami minta, pasti akan ia usahakan, seolah keluarganya adalah dunia yang paling berharga baginya. Namun, kebersamaanku dengan ayah hanya berlangsung selama dua tahun. Setelah itu, sosok yang menjadi cahaya bagi keluarga kami itu pergi untuk selamanya. Kami kehilangan ayah, dan kehilangan itu seperti angin dingin yang membekukan hati.

Saat itu, karena aku masih berusia dua tahun, aku tidak memahami apa yang terjadi. Tetapi aku bisa merasakan bahwa rumah kami berubah sunyi dan penuh kesedihan. Ibu dan kakakku sangat terpukul, seolah-olah langit telah runtuh di atas kepala kami. Dua tahun pun berlalu, namun duka masih betah menetap di rumah. Karena itulah, ibu memutuskan untuk pindah rumah. Ia tidak ingin anak-anaknya terus hidup dalam bayang-bayang kehilangan. Maka kami pun pindah dari Bandung menuju Jakarta Selatan, demi mencari awal yang baru.

Perjalanan menuju Jakarta memang cukup jauh, tetapi lebih jauh lagi perjuangan ibu dalam membangun kembali semangat hidup kami. Setelah sampai di sana, ibu langsung mencari pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Ia menjadi sosok yang kuat, seperti akar pohon yang menancap dalam di tanah walaupun diterpa badai. Pada tahun 2014, kakakku menikah. Sejak saat itu, aku pun kadang tinggal bersama ibu, kadang bersama kakakku di Jakarta Timur atau Depok.

Ketika aku mulai masuk TK, aku sering bertanya kepada ibu, “Ayah ke mana, Bu?” Pertanyaan itu seolah menjadi lagu yang selalu kuputar setiap hari. Namun, ibu hanya menjawab pendek, “Ada, Dek,” sambil tersenyum menahan sedih. Begitu juga ketika aku masuk SD, aku tetap menanyakan hal yang sama. Ibu tidak langsung mengatakan kebenarannya, mungkin karena aku masih terlalu kecil untuk memahami apa itu kehilangan.

Barulah ketika aku duduk di kelas 3 SD hingga saat ini, semuanya menjadi lebih jelas. Aku mulai paham bahwa ayah telah meninggal dunia ketika usiaku masih dua tahun. Walaupun kenanganku bersamanya sangat sedikit, aku tahu bahwa cinta ayah tetap hidup dalam setiap cerita ibu dan setiap langkah yang kutempuh. Kini aku percaya, meski raganya telah tiada, kasih sayangnya tetap abadi, seperti pelangi yang muncul setelah hujan panjang.

 Tulisan Ke - 2

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post