Mereka bertiga berdiam diri sejenak. Sibuk dengan berbagai macam pikiran yang berkecamuk di kepala masing-masing.

“Hm, Ka itu maksudnya apa sih? Kayanya dia belum tuntas nulisnya deh,” Qilla bersuara memecah keheningan.

“Tadi kan, Hanna keburu nyamperin hantunya, ngga mungkin dia nulis di depan Hanna,” Chika mengingatkan.

“Ngga salah sih. Kalo Ka itu, macem-macem Qil, bisa kamar, kantin, kandang, kayu,” Hanna menyebut berbagai kemungkinan.

“Kayu? Maksudmu?” Alisnya sedikit terangkat keheranan.

“Yeah, mungkin aja tumpukan kayu diujung lapangan itu kan?” Jelas Hanna.

Qilla manggut-manggut paham. Tapi, ia masih merasa bingung, untuk apa hantu itu mengajaknya berteman? Bahkan sekarang ia pun masih bimbang akan menemuinya nanti malam atau tidak.

…

Malamnya, Qilla benar-benar lupa dengan ajakan hantu misterius itu. Kelelahan. konsentrasi belajarnya malam ini, cukup menguras tenaga dan pikiran.

“Qil, bangun dong anterin aku ke kamar mandi,” Hanna menggoyangkan tubuh Qilla perlahan.

Dalam keadaan masih mengantuk, Qilla bangkit dari tidurnya.

Mereka berdua berjalan dalam diam. Sama-sama berusaha menahan kantuk yang menyergap. Entah sudah pukul berapa. Yang jelas, kini asrama tampak sepi. Cahayanya remang-remang.

Mereka berdua berpapasan dengan seorang perempuan cantik. Saling melempar senyum. Wajahnya asing. Mungkin murid baru, begitu pikir mereka selintas.

Hanna menengok ke belakang. Ia merasakan aura tak enak disekitarnya. Perempuan itu sudah tidak ada. Cepat sekali menghilangnya. Padahal, baru semenit lalu mereka berpapasan, melempar senyuman.

“Loh? Cepet banget udah ngga ada,” Hanna menoleh pada Qilla.

“Apanya yang ngga ada?” Qilla bertanya bingung. Ia sudah seratus persen sadar sekarang.

“Itu, cewek yang barusan papasan sama kita,” sahut Hanna.

“Hah? Papasan sama siapa? Jangan nakut-nakutin ah,” Qilla mencengkeram lengan Hanna tiba-tiba.