Qonita Husna Zahida

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Part -33

“Pikirannya sudah diracuni oleh kedengkian yang teramat sangat, membuatnya merasa harus tersenyum dan tertawa terbahak memandang kepergian Aisha. Senyum yang puas, teramat puas. Aku tak tahu apa yang ada di otaknya saat itu. Nuraninya sebagai manusia sekaan hilang begitu saja,”

“Setelahnya, Aisha dikuburkan secara tidak wajar. Ia ditimbun dalam tanah, ditutupi oleh tumpukan kayu yang berserakan. Tak ada yang tahu semua yang telah terjadi. Kecuali kelas kami sendiri.”

“Tentu saja, para guru kaget ketika menemui Aisha udah tak ada lagi di asrama ini. Tak ada satupun yang berani mengakui. Mereka beralasan, Aisha tiba-tiba diculik seseorang, dan tak pernah kembali lagi. Suatu kebohongan yang kemudian tersingkap di kemudian hari. Mereka lupa, akan keberadaan cctv yang selalu mengawasi. Sayangnya, pihak sekolah baru mengetahui sekaligus menyadarinya setahun kemudian, ketika kelasku telah dinyatakan lulus.”

“Aku merasa sangat menyesal saat itu. Mengapa tak memberanikan diri untuk memberi tahu pihak sekolah. Aku sadar, aku pengecut. Yang tak sanggup menerima segala resiko yang akan kualami dikemudian hari jika hal itu terjadi. Pihak sekolah tak dapat berbuat apa-apa lagi, dengan kenyataan bahwa kami sudah lepas dari tanggung jawab mereka. Sebab kami semua telah dinyatakan lulus.”

“Pihak sekolah memutuskan menjadikan kisah Aisha ini sebagai contoh bagi para muridnya. Bullying yang sangat tidak manusiawi. Sejak itu, diterapkan peraturan tertulis, bagi siapa yang berani membully temannya. Maka pihak sekolah tak segan untuk mengeluarkannya segera.”

“Namun, sejak tiga tahun terakhir ini, entah mengapa kejadian itu mulai ditutup-tutupi. Data-data tentangnya pun telah dihapus separuhnya, hanya berisi tentang informasi umumnya saja. Mengingat orang tua Aisha masih tak terima dengan kepergian anaknya yang tiba-tiba. Menganggap sekolah ini tak becus mengajari para muridnya tentang sopan santun, dan sebagainya,”

“Kedengkian itu sangat membutakan hati. Jangan tertipu oleh nafsu yang menggebu. Jadikan kisah ini sebagai pelajaran hidup bagi kalian,” kak Lily mengakhiri kisahnya. Menghapus air mata yang masih saja membanjiri wajahnya.

Hanna dan Dhiva diam tak dapat berkata-kata. Tak menyangka, kehidupan hantu Aisha semenyedihkan itu. Kini mereka paham, apa yang dimasud oleh hantu Aisha beberapa hari yang lalu. Saat Dhiva mengisi data-data pribadinya di hologram sekolah.

“Aku tahu, tak seharusnya menceritakan seluruh kisahnya kepada kalian. Namun, kemarin sebelum kalian datang menemuiku, Aisha telah berpesan padaku untuk memberitahukan seluruh kisahnya pada kalian.”

“Kupikir, kalian orang terpercaya, yang dapat merahasiakan cerita, sekaligus pertemuan kita ini. Jadi aku memutuskan melaksanakan permintaan Aisha dan menceritakannya pada kalian berdua hari ini,”

“Maaf, telah membuat kakak menjadi sedih,” Dhiva menundukkan kepalanya dalam.

“Ah, tak apa. Anggap saja ini sebagai hadiah kecil untuk kalian. Sepertinya, kalian berdua telah berteman baik dengan Aisha bukan?” Kak Lily tersenyum simpul.

Hanna dan Dhiva mengangguk-angguk bersamaan.

Tiba-tiba telepon kak Lily berbunyi nyaring. Ia segera mengangkatnya buru-buru.

“Apaaaa?!” Matanya membulat kaget. Tubuhnya nampak lemas seketika. Ia mulai terisak pelan. Kali ini, dengan alasan yang berbeda. Tangisan yang sama, namun memiliki makna yang jauh berbeda.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post