“Tentunya, tanpa seseorang atau siapapun dapat mendengar atau bahkan merekam pembicaraan kita,” kak Lily melanjutkan.

“Apakah itu berlaku pada hantu?” Dhiva bertanya perlahan. Mengingat bahwa hantu bukan lagi disebut sebagai ‘seseorang’.

“Yeah, tepat sekali.” Jawaban kak Lily membuat Dhiva menghela napas lega.

“Aku curiga, hantu yang telah memata-matai kitalah yang sengaja menekan tombol alarm kebakaran tadi. Aku yakin, itu palsu,” kata kak Lily sambil menatap layar monitor di seberang.

“Kok bisa tahu kak?” Dhiva bertanya. Untuk kesekian kalinya harus merasaa keheranan dengan sikap serta tebakan kak Lily yang selalu akurat.

“Lihat!” tangan kak Lily menunjuk layar sebuah monitor. Layar itu tak menunjukkan tanda-tanda kebakaran sama sekali. Normal seperti sebelum mereka meninggalkannya beberapa saat lalu.

Oh, tadi mereka sama sekali tak menyadari kehadiran monitor itu di seberang meja bundar yang berada di hadapannya sekarang. Monitor itu berada di atas meja kayu yang tampak semakin tua, namun tetap terjaga keindahan ukirannya.

“Itu monitor pemantau cctv, persis seperti monitor yang ada di depan. Tepatnya, di seberang meja kerjaku,” kak Lily berbaik hati menjalaskan.

Hanna tersadar, ternyata banyak sekali rahasia sekolah berasrama senandung malam ini yang tak diketahui sembarang orang. Kalau saja tak ada hantu yang usil menyalakan alarm kebakaran tadi, ia takkan tahu bahwa ada sebuah ruangan rahasia yang berada di balik cermin di perpustakaan ini. Atau mungkin, seluruh ruangan sekolah berasrama ini memiliki sebuah ruangan rahasia dibaliknya? Tak mengherankan jika ia akan menemui salah satunya sekali lagi.