Dengki Itu Membutakan (5)
Percuma saja mengajaknya mengobrol di tengah keasyikannya menyanyikan sinden yang terdengar cukup mengerikan di telingaku. Sejenak, kamarnya memberikan aura angker yang seketika menegakkan bulu romaku. Kalau saja aku tak bersama Fio disini, tentu saja aku sudah kabur sebelum sempat masuk kamarnya. Huft, kuberanikan diri untuk kembali mengajaknya mengobrol. Semoga saja, lama-kelamaan usahaku sedikit menarik perhatiannya.
Sepuluh menit aku bicara tanpa henti, diselingi celetukan Fio yang antusias menyimak ceritaku. Meski tentu saja, ia sadar saat ini aku tak berbicara dengannya.
“Kamu siapa?” Tanyanya datar tanpa ekspresi. Pertanyaan pertamanya setelah sekian lama tak mengacuhkan kehadiran kami berdua.
Aku tercenung sejenak. Raut wajahnya terang-terangan menunjukkan ekspresi terganggu dengan kehadiranku.
“Aku Zidya.” Kujawab pertanyaanya gugup.
“Ngapain disini?” Aku tersentak kaget. Jadi, dia sudah benar-benar melupakanku? Setetes air mata jatuh tanpa dapat kucegah lagi. Cepat-cepat aku mengubah wajahku senormal mungkin. Jhissa masih menatapku tajam.
“Eh, mau ngasihin ini buat kamu,” kataku seraya menyodorkan MP3 Al-Qur’an ke tangannya.
Sejenak, ia memandang sangsi MP3 yang kusodorkan padanya. Setelah kemudian, memutuskan mengambilnya dan segera menyalakannya. Segera saja, suara syekh Misyari Rasyid terdengar merdu melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an memecah kesunyian.
Namun, apa yang terjadi kemudian, benar-benar membuat kami kaget. Tangan Jhissa bergetar seolah disengat listrik dengan tekanan yang tinggi. Tubuhnya mengejang. Matanya melotot marah. Wajahnya merah padam.
Sontak, Fio berlari meninggalkanku sendiri. Ia berteriak memanggil ayah bundanya histeris. Aku masih terdiam memikirkan berbagai macam kemungkinan yang akan terjadi. Ah jangan! Semoga serangan itu tak menghampiri Jhissa kembali. Tak lama, ayah, bunda, serta Fio tergopoh-gopoh datang menghampiri. Menyelamatkanku dari situasi mencekam sebab tak kuat lagi sendiri menahan rasa takut yang luar biasa.
“Ssssttttt,” Lidahnya terjulur panjang. Berwarna biru pucat.
“Haaahh?” Bunda Jhissa menutup mulut tak percaya. Tubuhnya lemas tak berdaya.
Tubuh Jhissa bergerak turun dari kasurnya, dengan gerakan melata persis seperti ular. Lidahnya terjulur panjang mendesis kencang. Sebelum kami semua menyadari, moncongnya tengah bersiap menggigit kaki bunda yang berada paling dekat dengan posisinya.
“Aaaaa!” Fio berteriak kencang. Bunda menatap pasrah tak dapat menghindar lagi. Aku menutup kedua mataku dengan telapak tangan. Sedangkan ayah, tampak menghela napasnya tertahan.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Lanjut kak
shipp, besok the end insyaallah
ini yang kamu bilang di dm. beneran sseremm!
hihi, suer takut sendiri pas nulis;)
mwuehehe.. entar didatengin. wkwkwk
ihh, jangann