Pasti Ada Hikmah
Pasti Ada Hikmah
Karya : Nazwa Fairuz Zakiya
Pagi yang cerah di sebuah sekolah bertingkat menengah pertama, yaitu SMP 1 Nasindo. Dengan trend Back To School, semua murid datang ke sekolah dengan riang gembira.
Terlebih, di awal masuk semester 2 ini biasanya ada pengumuman penghargaan, mulai dari juara kelas, juara angkatan, murid terbaik, dan sebagainya.
Fagiraetsha Marjanissa, adalah seorang siswi di sekolah ini.
Sekarang, dia berada di aula sekolah—tepatnya diatas panggung dan kini sedang meraih medali atas pengharaan juara umum yang diraihnya. Ya, dia—panggil saja Etsha, adalah murid yang berprestasi disini. Selain itu, Etsha juga murid yang ramah, baik, sopan, taat aturan, dan yang terpenting, kalem. Dia tidak banyak bicara, tapi seperti diam namun bercahaya.
Begitulah. Dia disenangi banyak orang, guru, teman seangkatan, adik kelas, maupun kakak kelas. Tapi, bukan berarti kehidupannya berjalan mulus seperti itu saja. Sebenarnya, Etsha tahu banyak yang tak menyukainya, namun sampai sekarang, belum ada yang pernah bicara langsung, paling hanya membicarakan dari belakang.
“Etsha, selamat, ya!” ucap salah satu teman Etsha saat Etsha turun dari panggung. Beberapa teman lain langsung menimpali memberikan ucapan selamat kepada Etsha. Etsha hanya tersenyum, lalu menjawab, “Termakasih.”
Selesai acara pemberian penghargaan, Etsha dan murid-murid lainnya kembali ke kelasnya masing-masing. Di perjalanan, banyak yang memberikan ucapan selamat kepada Etsha, termasuk adik kelas yang istilahya... “Nge-fans”.
Setelah berjumpa berbagai macam jenis manusia di lorong sekolah, akhirnya etsha sampai di kelasnya. Setelah duduk dengan tenang di kursi—setidaknya sebelum Liya menghampirinya.
“Etshaaaaa! Selamat ya! Cieee, jadi juara umum lagi, bertahan, nih, dari kelas 7?” ucap Liya—teman dekat Etsha sejak SD, setidaknya teman dekat yang tidak hanya menjilati kepopularitasan Etsha—lalu mengambl posisi duduk depan meja Etsha
“Iya, haha, thank you, ya,” jawab Etsha.
Liya menopang dagu, “Bagaimana, sih, caranya biar inget banget seluruh materi? Kamu hafal semuanya?”
Etsha bergeming, “Hm... Kalau aku, sih, aku lihat dulu materinya, seolah dengan mata ini aku scan seluruh materi yang aku lihat. Habis itu, entah kenapa seluruh materi yang aku scan menempel di otakku.”
“Berarti, kamu mengandalkan penglihatanmu?” tanya Liya.
“Mungkin?” Etsha bertanya balik.
“Oke. Kalau begitu, pulang sekolah, apakah kamu mau jajan?” tanya Liya yang hanya dijawab anggukan oleh Etsha.
Setelah itu, bel jam pertama berbunyi dan jam pertama pun dimulai. Mereka semua mengikuti pelajaran dengan baik. Tak terasa, bel pulang sekolah berbunyi. Setelah guru selesai mengucap salam dan menutup pelajaran, semua murid keluar dari sikap sempurnanya. Ada yang langsung tiduran di kursi, merapikan buku, ataupun keluar dari kelas.
“Etsha! Ayo jajan!” seru Liya bersemangat. Mereka lalu pergi ke kantin. Ekspresi bahagia mereka seketika berubah ketika mendapati kantin yang ternyata sangat mengantre.
“Sha, sini, duitmu. Biar aku aja yang masuk. Mau nitip apa?” tawar Liya pada akhirnya. Setelah memberitahu makanan dan memberikan uangnya pada Liya, Etsha lalu duduk diluar—sendiri—menunggu Liya.
“Sok banget gak, sih, mentang-mentang juara umum 2 tahun berturut-turut.”
“Eh, gak boleh gitu, haha. Kasihan, nih, lagi sendiri, gak ada pawangnya.”
“Halo, juara umum angkatan kita, apa kabar back to schoolnya?”
Etsha hanya diam. Memang, selama ini tidak semua orang menghargai usahanya. Tapi orang yang tidak menyukainya biasanya hanya bisa membicarakan dari belakang. Untuk pertama kalinya, ada orang yang berani “mengutarakan” perasaannya.
“Nyindir tanda tak mampu,” Etsha lalu bangkit dari duduknya, “Ada apa?”
“Wah... Kak Etsha keyeeen... Haha,” ucap salah satu dari mereka lalu tertawa.
Etsha hanya menghela nafas pelan sembari memutar bola matanya.
“Eh... Eh... Masa juara umum kita rolling eyes? Padahal, kan, harus memberikan contoh yang baik, ramah, dan murah senyum,” ujar salah satunya lagi.
“Terserah, deh. Aku sibuk. Nanti pulang sekolah mau ketemu dekel lagi. Banyak fans, nih.” Etsha membalikkan badan, hendak masuk ke dalam untuk meninggalkan mereka. Tapi tiba-tiba, Yura—salah satu dari mereka—menarik tas Etsha hingga dia terjatuh.
“Nah, kan. Sudah kuduga. Dari luar saja kau terlihat baik, ramah, kalem—hal-hal baik lainnya, deh! Padahal aslinya kamu seperti ini, kan? Judes, sok jago, melawan—“
“Berisik, ah!” Etsha memotong pembicaraan Yura. Dia bangkit lalu menghampiri Yura. PLAK... satu tamparan sempurna mendarat di pipi Yura—membuat Yura sedikit terhuyung ke belakang. Tanpa sengaja, Yura tersandung kaki kursi yang ada dibelakangnya, dan terjatuh ke jalan raya.
Semua yang ada di sana panik, karena tak jauh dari sana, terlihat sebuah mobil putih yang sedang melaju kencang, seolah siap menghantam Yura. Entah karena refleks, Etsha langsung menyelamatkan Yura. Dia berhasil. Berhasil menyelamatkan Yura, walau tak berhasil menyelamatkan dirinya sendiri.
BRUKK...
Etsha tidak tahu ... Apakah dia jahat, karena sudah menampar Yura? Atau dia masih dapat disebut baik karena sudah menolong Yura? Apa pun itu...
Gelap. Pandangan Etsha gelap. Semua terlihat gelap. Hingga Etsha menggerakkan tangan pun, semuanya masih gelap. Tidak ada cahaya, tidak ada kehidupan, tidak ada, tidak...
“...Sha? Etsha? Etsha?!” seru seorang wanita yang setelah melihat Etsha sadar, langsung memeluknya. Sepertinya, wanita itu menangis, karena Etsha merasakan bajunya basah sedikit-sedikit, mungkin itu air mata wanita tersebut yang menetes. Sepertinya... Karena Etsha entah kenapa hanya dapat merasakan, tidak dengan melihat.
“...Ma? Mama...?” rintih Etsha pelan.
“Ya, sayang? Mama disini...” Wanita yang memeluk Etsha perlahan mengeluarkan suaranya.
“Gelap, Ma... Etsha takut...”
“Tidak apa-apa, Mama disini, sayang...”
“Ma, Apa Etsha ... Buta? Apa Etsha kehilangan mata Etsha ... ? Apa Etsha ... Kehilangan sesuatu yang sangat berharga bagi Etsha...?!”
“Ssst... Ssst... Tenang, Etsha... Mama selalu disini, di samping Etsha... Jangan takut...”
Tidak. Sebenarnya Etsha tidak takut. Etsha hanya teringat dengan ucapan Liya, bahwa, “Berarti, kamu mengandalkan penglihatanmu, Sha?”
Bagaimana ke depan nya? Bagaimana kalau Etsha kehilangan sesuatu yang diandalkannya? Bagaimana cara dia melakukan metode scanning untuk memahami materi? Bagaimana dengan fungsi otaknya? Bagaimana cara dia menghafal rumus? Materi? Nilainya? Prestasinya? Bagaimana...
Tok... Tok... Pintu ruangan diketuk. Mama Etsha beranjak dari ranjang lalu membukakan pintu ruangan tersebut.
Terlihat di depan pintu terdapat Yura dan beberapa teman Etsha lainnya. Setelah dipersilakan untuk masuk, Yura dengan cepat langsung menghampiri lalu memeluk Etsha—bahkan Liya pun kalah cepat.
“Etsha... Sha, maaf ya... Aku tidak bermaksud...” ucap Yura dengan terisak.
Etsha masih terdiam. Tidak memaafkan, tega. Ingin memaafkan, tidak bisa.
“Ya... Jangan diulangi.” Dengan suara pelan, ujung-ujungnya Etsha hanya dapat mengatakan itu saja.
Selama teman-temannya berkunjung, Etsha juga lebih banyak diam. Tak lama kemudian, teman-temannya pulang. Tapi, Etsha menyadari, ada 1 orang yang belum keluar ruangan, Etsha hanya berpikir bahwa itu adalah Liya. Tapi—
“Etsha, kamu kenal suaraku, kan? Ya, tidak apa-apa, sih, kalau kamu tidak mengenaliku. aku hanya ingin memberikanmu, ini.” –Ternyata itu adalah Yura, dia memberikan sebuah paper bag kepada Etsha.
“Apa isinya ini, Yura?” tanya Etsha.
“Oh? Hm. Begitulah. Okay, aku pergi dulu, cepat sembuh, Etsha.” Yura lalu pergi meninggalkan ruangan.
Kini, di ruangan tersebut hanya tersisa Etsha dan Mamanya. Etsha perlahan membuka isi paper bag tersebut. Sebuah Al-Qur’an Braille, dan secarik surat.
“Ma... Bisa tolong bacakan isi suratnya?” tanya Etsha lalu memberikan Mama surat tersebut.
Dear, Fagiaretsha M.
Sebelumnya, aku minta maaf atas kejadian hari ini. Aku mengakui, aku yang salah. Awalnya, aku hanya iri kepadamu, lalu aku memancing emosimu. Saat kau menamparku, aku tidak menyangka bahwa aku akan terjatuh sampai ke jalan raya dan aku kira kamu tidak akan menyelamatkanku.
Sekarang aku tahu, kamu benar-benar orang baik, bahkan di saat seperti itu kamu masih ada refleks untuk menolong orang lain.
Maaf banget, Sha. Aku tahu, mungkin gak semudah itu memaafkan aku. Tidal apa-apa. Tapi, aku ingin setidaknya kamu bisa merasakan rasanya melihat lagi. Aku tidak tahu buku apa yang dapat membuatmu merasakan rasanya melihat tulisan. Jadi ku berikan kamu Al-Qur’an Braille ini. Kuharap ini dapat kamu gunakan dengan baik. Dan kuharap, ini dapat menjadi cahaya di tengah gelapmu.
Dengan beribu maaf,
Yura.
Etsha lagi-lagi hanya terdiam. Ia meletakkan Qur’an itu di atas laci meja di samping tempat tidurnya. Ya... Kuharap.
Besok harinya, Etsha sudah boleh pulang. Etsha keluar dari rumah sakit dengan kursi rodanya.
Kini, Etsha berjalan menggunakan dua tongkat yang diapit di lengannya. Dengan mobil, mereka menuju ke rumah. Entahlah apa yang akan dikatakan para tetangga nanti, Etsha tak peduli.
“Etsha, kamu mau di rumah dulu sampa kapan? Supaya nanti Mama bisa izin ke wali kelas kamu,” ucap Ibu membuka percakapan di dalam mobil.
“1 minggu,” ujar Etsha, “Etsha ingin belajar mengaji dulu.”
Etsha ingin melihat cahaya itu...
Spontan, Mama langsung menoleh ke arah Etsha—lalu ke arah Al-Qur’an Braille yang sedang dipegang di tangan kanannya.
Mama hanya menghela nafas, lalu mengangguk.
Sesampainya di rumah, Mama membantu membereskan barang-barang milik Etsha. Lalu, keesokan harinya—sesuai yang dikatakan Etsha—dia pergi ke TPQ untuk belajar mengaji. Dia menghampiri ustazah yang dulu—saat kecil—sempat mengajarkannya mengaji. Setelah itu, karena Etsha sudah paham teknik dasarnya, dia berlatih untuk membaca Al-Qur’an Braille tersebut.
Awalnya memang sedikit terbata, tapi lama-kelamaan Etsha terbiasa. Akhirnya, dia bisa merasakannya. Rasanya sedikit-sedikit dapat melihat kembali. Cahaya.
“Etsha, mau coba menghafal?” tanya Ustazah ketika melihat Etsha—dalam waktu 3 hari—sudah fasih membaca Al-Qur’an Braille.
“Apakah bisa ... Tanpa penglihatan?” tanya Etsha. Karena seingatnya, selama ini ia menghafal materi dengan cara di scan oleh mata, baru ia dapat mengingatnya. Tapi saat ini, apakah dengan hanya meraba, dia dapat scan langsung di otak?
“Tidak ada salahnya mencoba, Sha,” jawab Ustazah. Entah kenapa, suara Ustazah selalu dapat menenangkan hati Etsha. Etsha mencoba mengingat apa yang sudah dirabanya.
“Susah, Zah..” keluh Etsha.
“Dalam Qur’an surah Al-Qamar, Allah bilang, wa laqod yassarnal-qur-aana liz-zikri fa hal mim muddakir yang artinya, Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” jelas Ustazah, “
Jadi, Etsha harus yakin, Al-Qur’an ini sudah Allah mudahkan untuk orang-orang yang mau mengambil pelajaran.
Nah, coba sekarang Etsha bayangkan, Etsha dapat melihat semua ayat yang ada di satu halaman in, lalu Etsha scan, seperti metode Etsha saat menghafalkan materi seperti biasanya.”
Etsha kembali mencoba. Lagi, dan lagi. Hingga akhirnya, dia dapat menghafalkan satu ayat. Ayat berikutnya, berikutnya, hingga setengah halaman dapat Etsha hafalkan dalam waktu 30 menit.
Mengaji hari ini selesai. Besok, Etsha akan kembali mengaji. Begitu seterusnya. Bahkan setelah satu minggu—ketika Etsha sudah kembali bersekolah—Etsha masih tetap mengaji pulang sekolah.
Tak terasa, 2 bulan sudah berlalu. Etsha sudah berhasil menghafal 2 juz, dalam waktu dua bulan. Padahal, waktu untuk beradaptasinya menggunakan Al-Qur’an Braille bisa dibilang cukup lama. Tapi, Etsha sungguh-sungguh. Bahkan, walaupun sekarang teman-teman sekolahnya tak sedikit yang menyatakan pernyataan tidak menyukai Etsha, Etsha sudah tidak pedulikan mereka. Walaupun sekarang Etsha tidak menjadi anak kesayangan guru lagi, Etsha tidak peduli. Walaupun sekarang banyak yang bilang Etsha cacat, Etsha juga tidak peduli.
Sekarang, Etsha sudah nyaman bersama Al-Qur’an. Etsha menikmati setiap ayat yang ia baca, setiap ayat yang ia hafalkan.
“Ustazah, ayat yang sedang ana hafalkan kenapa susah sekali, ya? Daritadi ga nempel-nempel di otak. Otak ana kayak ga mau menerima ayat ini masuk ke dalam,” ujar Etsha saat dari 5 menit yang lalu mengulang ayat yang sama lagi dan lagi.
“Coba pikirkan... Etsha lagi ada masalah gak sama orang hari ini? Siapa tahu, ayat nya gak mau masuk gara-gara ada urusan Etsha sama oranglain yang belum selesai,” jelas Ustazah. Etsha menggeleng.
“Memangnya tadi di sekolah gak ada apa-apa?”
“Ya... Palingan, sih, Etsha dikata-katain cacat—gara-gara kecelakaan waktu itu.”
“Etsha ikhlas nggak, dikatain kayak begitu? Atau ... Etsha udah ikhlasin kecelakaan waktu itu?”
“Daripada ikhlas, Etsha lebih ke gak peduli, sih. Kalau masalah kecelakaan waktu itu ... jujur, Etsha belum sepenuhnya mengikhlaskan,”
Ustazah melihat ayat yang sedang dihafalkan Etsha, “Maaa ashooba mim mushiibatin illaa bi-iznillaah, artinya, Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah...”
Deg! Saat Ustazah membacakan arti dari ayat yang sedang dia hafal, seakan suatu tamparan keras masuk ke dalam hati Etsha.
Etsha mengangguk, “Zah, ana sudah paham, syukron.”
Semenjak Etsha menghafal ayat itu, Etsha mulai mengikhlaskan semua yang sudah terjadi. Besoknya, Etsha kembali ke sekolah dengan perasaan yang lebih ringan dari sebelumnya. Sesampainya di sekolah, Etsha menemui Yura. Berterima kasih atas segala hal, termasuk atas Qur’an Braille pemberiannya.
“Kamu menggunakan Al-Qur’an itu? Alhamdulillah. Apakah sekarang kamu benar-benar memaafkanku?” tanya Yura.
Etsha mengangguk yakin, “Ya.”
Sekarang, Etsha menerima semuanya dengan baik. Etsha tetap mengikuti pelajaran dengan baik, ya... walaupun gelar murid berprestasi sekarang bukan lagi miliknya. Tak apa. Etsha lebih fokus menghafal Qur’an. Membulkatkan tekadnya untuk menghafal seluruh isi Al-Qur’an, 30 juz.
Tak terasa, 1 tahun sudah berjalan seperti ini. Berjalan dengan bantuan kursi roda ataupun tongkat, dan melihat dengan bantuan meraba. Etsha sudah biasa seperti ini. Walaupun tak jarang ada yang bilang, “Itu Fagiaretsha yang dulu dapat juara umum 2 tahun berturut-turut gak, sih? Bukannya dulu dia sering ikut lomba-lomba gitu, ya? Atau nilai tertinggi, gitu. Intinya, dulu aku sering lihat nama dia di papan top paling atas.
Sekarang, aku jarang banget lihat nama dia, seolah nama dia sudah hilang dari sejarah prestasi SMP 1 Nasindo.”
Etsha sudah mengikhlaskan, apa pun yang mereka katakan. Ah ya, sebentar lagi sudah kelas 9 semester 2. Akan ada pengumuman penghargaan seperti semester-semester sebelumnya.
Karena ini semester terakhir Etsha mendengar pengumuman penghargaan, apakah Etsha dapat mendengar—setidaknya untuk terakhir kali—nama dia disebutkan, dan dia dapat memperoleh penghargaan di atas panggung lagi? Tapi, semester sebelumnya pun, tidak ada nama Etsha di pengumuman penghargaan.
Etsha tidak boleh terlalu berharap, tapi setidaknya, untuk terakhir kali, Etsha mohon.
“Penghargaan juara umum diraih oleh... Yurania Salshanira! Beri tepuk tangan yang meriah!” ucap MC, yang disusul oleh Yura yang naik ke atas panggung.
Sudahlah. Selesai.
Pengumuman penghargaan juara umum biasanya menjadi pengumuman terakhir. Setelah ini, acara akan ditutup. Tidak ada harapan lagi—
“Tapi, tunggu. Kali ini, pengumuman juara umum bukanlah menjadi pengumuman terakhir. Karena, ada satu penghargaan yang lebih tinggi di atas juara umum. Inilah... Pengumuman penghargaan Murid Teladan yang berhasil menghafalkan 30 juz Al-Qur’an!
Penghargaan Murid Teladan 2023 diberikan kepada... Fagiaretsha Marjanissa! Akhirnya, Sang Legenda telah kembali ke atas panggung! Beri tepuk tangan yang meriah, untuk Sang Legenda kita dari awal yang bertahan sampai akhir, Fagiaretsha Marjanissa!” ucap MC sangat heboh yang membuat aula itu penuh dengan suara tepuk tangan, bahkan ada beberapa orang yang sampai berdiri dari kursinya.
“Ku pikir, nama Etsha akan lengser dari sejarah prestasi SMP 1 Nasindo. Tapi ternyata dia hebat ya, dapat bangkit kembali.
Benar-benar Sang Legenda. Dari awal masuk kelas 7, sampai akhir kelas 9, namanya akan selalu terukir indah disini.”
Etsha memeluk erat Mamanya. Tak percaya. Etsha kira, ia akan lulus dari sini dengan begitu saja.
Ternyata, masih ada kesempatan untuk Etsha naik ke atas panggung, meraih penghargaan terakhir di SMP 1 Nasindo.
“Kepada Fagiaretsha Marjanissa, dipersilakan naik ke atas panggung...”
Etsha naik ke atas panggung. Menerima piagam yang diberikan panitia. Cekrek!
Pasti Ada Hikmah :
------ Selesai-----
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar