Case Closed! (Bab 7)
“Yah, sudah pada dateng ternyata.”
Sekolah mulai dikerumuni murid-murid yang baru datang. Tidak ramai sih, tapi yang jelas aku tidak akan bisa bertemu dengan Pak Tua di cermin kelas pagi ini. Aku berjalan dengan gontai menuju kelas, pasti sudah ada beberapa teman kelas yang datang.
Eh, omong-omong, memangnya tadi aku bersepeda dengan lambat, ya? Apa karena aku mengobrol dengan Aquila? Biasanya aku berangkat pukul 6, belum ada yang datang di sekolah. Ya sudahlah, nanti aku bisa ke kamar mandi dan berbicara dengan Pak Tua menggunakan cermin lipat yang selalu kubawa.
“Hm? Kenapa pintunya ditutup? Biasanya teman-teman membukanya...”
Aku membuka pintu kelas dengan perlahan.
DOOOOORRRR!!!!
“HAPPY BIRTHDAY FIDEELL!!!”
“Eh?” aku mematung di depan pintu kelas. “Hah?”
Kenapa semua orang memakai topi kerucut? Juga, Elly membawa sebuah kue cokelat berukuran sedang.
Elly menatapku bingung. Dia meletakkan kue cokelat yang dipegangnya ke atas meja. “Kamu lupa, Fidel? Hari ini, kan, ulang tahunmu!”
“Ulang... tahun?” selama beberapa detik, aku berusaha mencerna apa yang terjadi. “Sebentar, sekarang tanggal berapa, sih, memangnya?”
“8 Februari.”
“Ah, iya! Hari ini memang ulang tahunku, bagaimana bisa aku lupa? Hahaha!” aku menepuk jidat.
“Wah, kayaknya Fidel terlalu sibuk sama tugas detektifnya, ya, sampai lupa ulang tahunnya sendiri.” Albert menyeringai.
Teman-teman sekelas tertawa.
“Ya sudah, ayo, potong kuenya!”
Pagi itu sangat indah. Lagu ulang tahun dinyanyikan, kue dipotong, hadiah bertumpukan, dan tak lupa foto bersama. Banyak sekali tas-tas hadiah. Fian dan Elly bahkan memberikan hadiah yang lumayan berat. Aku tidak tahu bagaimana caraku membawa semua barang ini ke rumah dengan sepeda.
Setelahnya, kami menjalani sekolah seperti biasanya. Mengerjakan tugas, tertidur karena pelajaran yang membosankan, yah, kehidupan sekolah biasa. Beberapa guru mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Bagaimana beliau-beliau ini bisa tahu tanggal ulang tahunku ya? Ah, mungkin diberi tahu teman-teman lain.
Sepulang sekolah, aku izin telat pergi ke kantor kepolisian. Bagaimana tidak, barang-barang yang kubawa cukup banyak. Syukurlah Elly dan teman sekelasku mau membantu mengantarkan ke rumah. Yah, mereka berdua memang melalui jalur yang sama denganku, sih.
“Assalamu’alaikum, Mama, aku pulang.”
“Wa’alaikumussalam, loh, tidak ke kantor polisi?” tanya Mama heran. Sepertinya ia baru selesai mencuci baju. Ujung lengannya sedikit basah, mungkin terkena deterjen.
“Tidak, aku membawa barang-barang ini, dibantu temanku.” Ucapku sambil meletakkan barang-barang. “Ayo, kalian berdua, masuklah.”
Mama geleng-geleng kepala melihat kami bertiga yang menenteng banyak tas berisi hadiah. “Memangnya ada apa, sih, sampai diberi hadiah begini?”
Aku menatap Mama heran. Jangan-jangan, malah Mama lupa dengan ulang tahunku? Dan tadi pagi itu hanya karena ia sedang mood memasak makanan berat?
“Uuh, iya, tadi saaat Fidel datang ke kelas, teman-teman langsung memberi hadiah.” Ucapku sambil tersenyum tipis. “Ya sudah, Fidel berangkat ke kantor polisi dulu.”
“Iya, hati-hati!”
Kami bertiga menaiki sepeda. Masih di jalur yang sama, dan setelah ini, aku harus mengambil jalur lain.
“Terimakasih lho, sudah mau membantuku. Aku sangat terbantu.”
“Yoi, no problem. “ ucap temanku.
“Eh, kenapa kamu tidak bilang kalau itu hadiah ulang tahun, Fidel?” tanya Elly heran.
Aku tersenyum. “Mama sibuk dengan pekerjaan rumah tangga. Mungkin ia memang lupa. Kalau aku langsung bilang kalau itu adalah hadiah ulang tahun, ia pasti merasa sangat bersalah. Jadi, aku memutuskan mengingatkannya nanti saja, ketika makan malam. Setidaknya, suasananya lebih hangat.”
Dua temanku itu terdiam. Entah apa yang ada di pikiran mereka.
Mungkin kalian merasa aku terlalu memikirkan perasaan Mama. Tapi, memang begitulah kenyataannya. Ia sudah sibuk dengan pekerjaan rumah, lalu mengurusi Papa yang seringkali marah-marah tanpa alasan yang jelas, dan sebagainya. Ia pasti sangat lelah, dan ya, akhirnya lupa dengan hari ini. Aku saja lupa kalau hari ini adalah ulang tahunku, jadi itu adalah hal yang menurutku lumayan wajar.
“Baiklah, aku akan belok ke jalur itu. Sampai jumpa esok!” aku melambaikan tangan.
“Ya, sampai jumpa!”
Kerudungku terkibas oleh angin kota yang bersih. Aku bersyukur Pak Lionel mewajibkan gaya hidup ramah lingkungan. Tidak ada asap pabrik dan kendaraan, suara bising kendaraan, dan polusi lainnya. Sangat damai.
Ya, minus-nya sih, kadang ada penyerang yang tahu-tahu meneror warga. Itu sangat mengganggu. Entah kenapa mereka datang dan menyerang Teren.
Secepat mungkin aku berusaha untuk segera sampai di kantor polisi. Sudah telat berapa menit ini. Walau sudah meminta izin, tetap tidak enak rasanya. Kukayuh pedal cepat-cepat. Tasku beberapa kali hendak jatuh, tapi aku dengan cepat memperbaiki posisinya.
Setelah bersusah payah mengayuh pedal dan mendahului pesepeda lainnya, akhirnya aku sampai di percabangan yang akan berujung di jalan biasa menuju kantor polisi.
“Halo, Fidel. Cepatlah masuk, semuanya sedang menunggumu.” Peugas satpam menyapaku yang sedang melakukan pemindaian iris.
“Sungguh? Aduh, baiklah, terimakasih!”
Aku memarkirkan sepeda ke tempat favoritku, di bawah pohon mangga. Di sini, dudukan sepedaku tidak akan panas walau kutinggal lama.
“Permisi...”
Beberapa petugas polisi menoleh ke arahku, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Langsung saja, aku pergi ke lantai 2 tempat kami para detektif cilik berkumpul.
Aku membuka pintu ruangan. Di sana, sudah ada Inspektur Belle, Inspektur Thomas, Alan, Fian, dan May. Tampaknya mereka sedang berdiskusi. Mungkin tentang kasus penembak jitu?
“Nah, akhirnya kamu sampai juga.” Ucap Inspektur Belle. Rambut panjangnya hari ini dikuncir kuda.
“Maaf, semuanya,” balasku sambil menarik kursi meja bundar dan duduk di atasnya.
“Baiklah, kita teruskan saja. Omong-omong, Fidel, bagaimana dengan buku milik Kakak May? Apa sudah kau selesaikan?” tanya Inspektur Thomas. Tampaknya tiga temanku sudah menceritakan perkembangan kasus selama akhir pekan kemarin. Kalau begitu, aku tidak perlu menanyakannya lagi, karena itu hanya akan membuang waktu.
“Oh, sudah kuselesaikan satu buku. Nanti malam akan kulanjutkan lagi.”
“Bagus. Kalau begitu, kirimkan dulu file buku pertama ke group chat kita. Biar kita cermati sama-sama isi dari buku itu.”
Aku mengangguk. Tanganku bergerak mengambil tablet dari tas, lalu mengirimkan file buku pertama ke group chat kami. Butuh waktu agak lama, karena memang file-nya lumayan berat.
Setelah satu menit proses pengiriman file, kami menelaah bersama-sama buku pertama. Sepertinya buku yang pertama berisi tentang sejarah kediaman keluarga Ruger. Ada beberapa hal yang menarik dalam buku itu.
Pertama, kediaman itu sudah ada sejak awal Teren diakui dunia. Hanya saja, saat itu, wilayahnya masih kecil. Namun, bertahun-tahun kemudian, anggota keluarga Ruger lain mulai ditemukan dan mereka memutuskan tinggal di satu wilayah yang sama.
Kedua, tiap tahun baru, mereka akan mengadakan pesta yang cukup meriah. Pertunjukan seni, festival kuliner, dan kembang api. Benar-benar meriah. Aku jadi teringat cerita Pak Tua saat itu.
Ketiga, kediaman keluarga Ruger terletak di pinggiran kota Teren. Tak banyak yang tahu tentang keberadaan mereka. Namun, dikatakan bahwa dulunya anggota keluarga Ruger ikut turun tangan dalam memperjuangkan Teren supaya dapat diakui dunia. Mereka yang berjasa itu tidak pernah dipandang lagi, karena ‘popularitas’ keluarga pejuang lain yang mendominasi. Bahkan tidak dicatat sebagai pahlawan Teren.
Untuk sekarang, tiga hal itu yang menarik perhatianku. Aku tidak tahu apakah suatu saat nanti, ada satu detail kecil yang terlewatkan.
Setelah berbagai diskusi terkait tiga poin penting tersebut, Inspektur Belle menutup kegiatan dan mempersilahkan kami pulang.
“Hoaam.”
“Huh? Seorang Fidel menguap? Astaga, ini harus diviralkan,” Alan tertawa.
“Haah, entahlah, hari ini terasa melelahkan.” Aku menjawab lesu.
Kami sampai di parkiran sepeda.
Aku melihat sebuah ransel dan paper bag berukuran sedang di keranjang sepeda May. Ransel adalah hal yang wajar dibawa olehnya, tapi paper bag? Tumben.
Saat aku hendak menaiki sepeda, tiba-tiba May mencegatku.
“Hei, selamat ulang tahun. Ini hadiah dariku dan Alan,” dia menyodorkan paper bag yang kumaksud tadi.
“Eh, aduh, terimakasih banyak.” Aku menerima paper bag itu malu-malu. “Kalian saja ingat ulang tahunku. Bagaimana bisa aku yang lupa?”
May tersenyum.
Setelahnya, kami menuju jalur ke rumah masing-masing. Ini masih jam dua siang. Namun, aku mempercepat laju sepeda agar segera sampai di rumah.
* * * *
“Syukurlah, Papa belum pulang.” Gumamku ketika sampai di rumah. Mobilnya tidak ada.
Yah, biasanya aku memang pulang jam dua kurang seperempat. Dan kau tahu, Papa itu sangat sensitif terhadap waktu. Telat pulang 5 menit saja, harus dibayar dengan 30 menit ceramah. Apalagi ceramahnya menggunakan kata dan nada yang ‘sangat lembut’. Kalau memang ada alasan pentingnya, aku harus susah payah menjelaskan kronologi, mulai dari latar belakang kenapa aku telat pulang, lalu kejadian rincinya, rumusan masalah—eh, kenapa malah jadi skripsi.
Aku segera masuk ke rumah, dan mendapati Mama sedang menonton acara memasak di televisi.
“Assalamu’alaikum, aku pulang...”
“Wa’alaikumussalam, selamat datang. Kamu lapar, Fidel? Ada kwetiau di dapur,” Mama menoleh.
Pas sekali. Perutku kosong. “Boleh, Ma. Mama bikin sendiri?”
“Enggak, tadi ada tetangga kita yang memberi.” Mata Mama kembali menatap layar televisi.
“Ooh.”
Aku meletakkan barang-barangku di kamar terlebih dahulu. Sepertinya Mama tidak melihat kalau aku membawa sebuah paper bag. Setelah meletakkan barang sekaligus melepas jilbab dan kaos kaki, aku turun ke dapur dan membuka bungkusan berisi kwetiau goreng. Masih hangat. Aku segera mengambil alat makan dan menyantapnya.
Setelah makan, aku memutuskan untuk sholat, lalu tidur sebentar.
“Ma, nanti tolong bangunkan jam setengah 4, ya,” ucapku sambil melangkah menaiki tangga.
“Siap.”
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar