Youth Intel Patrol (Bab 2)
Pukul 14.00, Markas YIP Pusat.
Fidel menghela napas sambil meregangkan kedua lengannya. Akhirnya tugas-tugasnya selesai. Dia sudah mengumpulkan file data ke email Kepala Divisi. Fidel menoleh ke arah May, melihat gadis cool itu sedang mengutak-atik komputer di hadapannya. Fidel mengalihkan pandangan ke Aquila, dia masih sibuk belajar. Fidel memutuskan untuk bangkit dari kursinya.
“May, Aquila, aku ke toilet dulu, ya.” Ucap Fidel.
“Oke,” jawab Aquila. May hanya mengangguk.
Fidel segera melangkah ke luar ruang divisi. Tiba di koridor, dia berbelok ke arah toilet berada.
Keluar dari toilet, dia memutuskan ke kantin untuk membeli camilan. Jam pulang masih lama, dia sudah kelaparan.
Fidel mengantri di stan yang menjual takoyaki. Orang di hadapannya terasa familiar baginya, dan setelah memperhatikan selama 5 detik, dia menyadari siapa orang yang mengantri di depannya.
“Hai, Fian,” sapa Fidel sambil memiringkan badan ke arah samping orang itu dan tersenyum tipis. Yang disapa membalas dengan tatapan datar.
“Hai.”
“Tumben kamu ke kantin. Bukannya kamu jarang nyemil?” tanya Fidel, kembali ke posisi asalnya. Fian sedikit menyerongkan badannya ke belakang untuk mengobrol dengan Fidel.
“Tadi siang aku belum makan, bekalku ketinggalan di rumah. Dan sekarang, aku lapar.” Jawabnya singkat.
“Oh, begitu.” Fidel mengangguk-angguk. “Sudah lama, ya, sejak misi kita bersama-sama, berempat.”
“Tidak juga. Itu baru sebulan yang lalu.”
“Bukankah itu termasuk lama?”
Fian menggeleng. “Sebulan itu waktu yang singkat. 3 bulan baru lama.”
“Tergantung konteksnya juga, sih.” Fidel terkekeh. “Saat itu, kita berempat menjalankan misi di pegunungan bersalju, di pinggiran Resource Region, bukan? Aku ingat sekali, Alan waktu itu hampir hipotermia. Untung saja ada penghuni asli yang menemukan kita, lalu mengajak kita ke rumahnya. Diingat-ingat, itu pengalaman yang seru, namun menegangkan.”
Fian mengangguk. “Kau benar. Suasana saat itu sangat tegang saat kita mengintai sekelompok penyusup yang berusaha mencuri sumber daya di wilayah itu.”
Setelahnya, Fian mendapat giliran memesan. Setelah menerima apa yang dia pesan, Fian berpamitan.
“Aku duluan, Fidel.”
Fidel tersenyum dan mengangguk. Dia lalu segera maju dan menyebutkan pesanannya, lalu menyerahkan uang. Setelah menunggu 3 menit, takoyaki-nya sudah siap. Fidel mengucapkan terimakasih, lalu bergegas kembali ke ruangan.
“Hei, Fidel, kamu lama sekali di toilet.” Ucap Aquila ketika Fidel baru saja mendudukkan tubuhnya di kursi.
“Tadi aku mampir ke kantin, lapar.” Ucap Fidel sambil menunjukkan takoyaki yang baru saja dia beli.
“Ooh.”
Hening. Fidel mulai menyantap takoyaki-nya. Baru sampai gigitan pertama, dia meringis.
“Aduh, Fidel, itu kan masih panas. Lihat saja, masih ada uapnya tuh, ngebul. Bisa-bisanya langsung di-hap,” ucap Aquila.
“Hehehe, maaf, laper banget nih,” Fidel nyengir. Dia lalu memutuskan untuk membuka tabletnya sambil menunggu takoyaki-nya dingin.
Fidel membuka peramban, dan melihat di halaman utama ada sebuah berita yang menarik perhatiannya. Kasus bom tadi pagi. Fidel terkejut, lalu menyikut May di sebelahnya.
“Eh, tadi pagi ada kasus pengeboman lagi?” tanya Fidel dengan wajah tidak percaya.
“Iya, kenapa memangnya? Aku sedang mengerjakan tugas dari Ketua Divisi untuk menganalisis laporannya.” Jawab May.
Fidel masih memasang muka terkejut. “Sungguh? Astaga, jadi benar tebakanku.”
May mendelik. “Tebakan apa?”
Fidel menghela nafas. “Tadi, ketika aku mendata kasus-kasus, aku menemukan satu pola aneh dari awal bulan Mei hingga akhir Juni. Pada tanggal 9 bulan Mei, terjadi kasus pengeboman di Resource Region, tepatnya di sebelah timur laut pusat pulau, Peternakan Kambing. Lalu setelahnya, pada tanggal 27, pada bulan yang sama, terjadi pengeboman lagi. Kali ini di perbatasan Government Region dan Security Region. Di arah barat daya pusat pulau, Pos 2 Perbatasan. Terakhir, pada tanggal 14 Juni, terjadi pengeboman lagi di region kita, tepatnya di arah tenggara pusat pulau, tempat wisata fiksi ilmiah. Tiga-tiganya tidak mengakibatkan korban tewas, hanya saja terdapat sejumlah korban luka parah dan luka ringan. Oh, pengecualian untuk tanggal 9 Mei, ada 10 kambing mati.”
May mendengarkan dengan baik. Ketika Fidel menjeda penjelasannya sejenak untuk memakan satu buah takoyaki, May bertanya penasaran. “Lalu, apa pola yang kamu temukan?”
“Sebhenthar,” ucap Fidel sambil mengunyah takoyaki-nya. “Glek. Nah, jadi begini—“
“Eh, kalian membahas apa?” potong Aquila tiba-tiba. Wajahnya menunjukkan ekspresi penasaran.
May menjelaskan dengan cepat. Aquila mengangguk-angguk, lalu mempersilahkan Fidel untuk menjelaskan temuannya.
“Nah, aku menemukan suatu pola yang unik. Selisih hari antara masing-masing pengeboman itu sama, yakni 18 hari. Itu jarak yang bisa dibilang sangat dekat. Pada bulan-bulan sebelumnya, kasus pengeboman terjadi paling tidak satu bulan sekali. Bahkan ada bulan yang tidak memiliki kasus pengeboman.”
Aquila mengangguk-angguk. “Lalu, apakah 18 hari kemudian, sejak tanggal 14 Juni, terjadi pengeboman lagi, seperti pola?” tanyanya.
Fidel menggeleng. “Tidak. Hingga 18 hari berikutnya, dan seterusnya. Aku sempat bingung. Ketika aku mengecek database kantor kita, tidak ada catatan pengeboman pada bulan Juli. Namun, aku memperkirakan untuk jarak-jarak 18 hari itu. Berdasarkan pola, pengeboman setelah tanggal 14 Juni, terjadi pada tanggal 2 Juli, 20 Juli, 7 Agustus, dan seterusnya. Kalian ingat, tanggal berapa sekarang?”
“7 Agustus.” May menjawab.
“Yap. Sesuai pola, bukan?”
“Berarti, kemungkinan, kasus-kasus pengeboman itu dilakukan oleh orang yang sama?” simpul Aquila.
“Tepat!” Fidel memetik jari.
“Tapi, kenapa harus ada jeda selama 54 hari?” tanya May.
Fidel mengangkat bahu. “Bagian itu, aku tidak paham. Namun, tebakanku, mungkin mereka mendapat suatu masalah, misal, bom-nya tidak siap, atau apalah.”
May dan Aquila sama-sama mengangguk-angguk. Meja di sekitar mereka ramai menggosip, jadi tidak ada yang mendengar pembicaraan ini. Toh, Fidel memang tidak berniat menyampaikan ini ke seluruh anggota divisi, karena dia merasa belum cukup bukti.
“Kira-kira, siapa ya, pelakunya?” celetuk Aquila.
Fidel mengangkat bahu sekali lagi. “Aku tidak bisa menebaknya. Ada banyak sekali kemungkinan. Tapi, aku akan mencoba membaca sekali lagi laporan-laporan tiga kasus itu, barangkali menemukan titik cerah untuk memperkecil jumlah kemungkinan.”
May mengangguk. “Wah, itu temuan yang sangat keren, Fidel. Kamu sangat sesuai untuk pekerjaan seperti ini. Sementara aku, hanya pintar bela diri dan membongkar bom biasa. Aku bahkan tidak bisa menjinakkan bom waktu di bawah 5 menit. Tapi kamu bahkan menyelesaikannya dalam waktu 2 menit saja.”
Fidel tersenyum tipis. “Aku jarang mendengar kamu bicara panjang, May. Ada masalah?”
May mendelik ke arah Fidel. “Astaga, kamu mengerikan, Fidel. Pembaca pikiran orang lain.”
Fidel dan Aquila tertawa kecil. May itu cewek dingin dan pendiam. Jarang sekali dia bicara panjang lebar seperti tadi, kecuali dia sedang overthinking, lelah, dan sebagainya.
“Ayolah, cerita saja, May. Apa yang kamu pikirkan?” bujuk Aquila.
May menghela nafas. “Haah, aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Kepala Divisi. Jelas-jelas aku buruk dalam menulis paragraf, penjelasan, dan apalah itu, tapi dia tadi malah memberiku tugas menganalisis laporan kasus tadi pagi. Entah kenapa orang itu malah memberikan tugas yang jelas-jelas bukan keahlianku. Aku takut sekali nanti jika hasil kerjaku tidak memuaskan, aku akan—“
“Dimarahi?” potong Aquila.
May menggeleng. “Aku tidak takut dimarahi. Hanya saja, kalau sampai Kepala Divisi menyampaikannya ke bundaku, yang merupakan teman dekatnya sejak kuliah, pasti aku akan habis di rumah.”
Fidel dan Aquila terdiam. Mereka segera paham keadaan.
Fidel menggenggam tangan May. “May, setiap orang pasti dilahirkan dengan kelebihan dan kekurangan. Tidak ada yang tidak punya kekurangan. Kesempurnaan hanya milik Tuhan. Kepala Divisi memberimu tugas itu karena ingin menguji perkembanganmu selama satu tahun ini. Selain itu, agen-agen Divisi 3 yang ahli menganalisis sedang menjalankan misi dan tugas lain yang sama beratnya. Kepala Divisi tahu kamu adalah agen yang bisa dipercaya setelah agen-agen analisa, maka dia memberikan tugas ini untukmu. Yang perlu kamu lakukan ialah mengerjakan tugas ini semaksimal mungkin, sebisamu, semampumu.”
Aquila mengangguk. Dia merangkul pundak May. “Benar kata Fidel. Kamu adalah seniorku yang sangat keren. Aku bahkan sampai sekarang masih berkutat dengan modul-modul itu. Namun, kamu dan Fidel berhasil menyelesaikan seluruh pelajaran hanya dalam waktu 3 bulan. Itu mengagumkan.”
May menunduk. Separuh kekhawatirannya sudah gugur, tapi tetap saja, ada yang mengganjal.
* * * * *
Pukul 16.30, jam pulang. Fidel, May, dan Aquila segera membereskan barang-barang mereka, lalu segera pulang.
Tiba di parkiran, Fidel berkata pada May.
“May, aku naik bus kota saja. Rumah kita, kan, tidak searah. Aku tidak enak kalau kamu harus mengantarku dulu.” Ucap Fidel. “Aquila, kamu naik bus kota juga, kan?”
Aquila mengangguk. “Iya, kalau tidak salah, kita menaiki satu jurusan yang sama.”
Fidel tersenyum. May mengangguk. Setelahnya, May berpamitan dan mengayuh sepedanya.
Fidel dan Aquila berjalan ke luar halaman markas. Halte bus terletak di seberang jalan. Mereka menunggu jalanan sepi, lalu cepat-cepat menyeberang.
Tiba di halte, Fidel memperhatikan jadwal bus. Bus jurusan mereka akan tiba pukul 16.45. Sekarang pukul 16.37. 8 menit lagi busnya akan sampai.
Hening. Beberapa orang mulai berdatangan ke halte, sebagian besar adalah orang dewasa yang bekerja di sekitar situ. Sebagian lainnya adalah remaja seumuran Fidel, sesama agen YIP.
Netra Fidel menangkap seseorang yang tengah menyeberang. Itu Fian.
“Hai, Fian,” Fidel melambaikan tangan.
Fian menyapa balik. “Hai, Fidel. Hai juga, Aquila.”
Aquila tersenyum riang.
“Tumben kamu naik bus kota, Fidel?” tanya Fian, mengambil posisi berdiri di sebelah Fidel.
“Ban sepedaku bocor. Seharian ini diperbaiki di bengkel.”
Fian mengangguk-angguk.
Diam-diam, Fidel melirik laki-laki dingin itu. Asal kalian tahu, dia sudah dari dulu menyukai Fian, sejak SD. Mereka selalu satu sekolah, juga satu kelas, hingga sekarang mereka sudah kelas 9 SMP. Fidel sebenarnya menghindari menaiki bus kota karena ia menghindari kontak berlebihan dengan Fian. Fian tiap harinya menaiki bus kota. Fidel berniat menjaga batasan, apalagi dia seorang muslimah.
Aquila yang melihat arah mata Fidel melirik tersenyum kecil. Dia jelas tahu kalau Fidel menyukai Fian, walaupun Fidel tidak pernah cerita ke siapapun itu. Aquila memiliki kemampuan yang sama dengan Fidel, ingatan fotografis. Dia selalu jeli dalam berbagai hal. Hanya saja, kemampuannya harus terhambat karena sesuatu.
Fian, yang merasa diperhatikan, balas melirik Fidel. Saat itulah, tatapan mereka bertemu. Fidel terkejut, lalu segera mengalihkan pandangannya. Dia bisa merasakan wajahnya menghangat.
Aquila yang melihat itu berusaha menahan tawa. Semua ini sudah menjadi kisah klasik bagi anak-anak seumuran mereka. Jangan pedulikan dia agen atau tidak, karena sejatinya manusia pasti dianugerahi rasa ‘suka’.
Fian yang melihat tingkah Fidel yang aneh pun melemparkan pandangannya ke jalanan. Namun, diam-diam, bibirnya mengukir senyuman yang amat tipis. Nyaris tidak bisa didefinisikan sebagai senyuman. Namun, jika Fidel yang melihat itu, dia jelas tahu bahwa itu adalah senyuman.
Tak lama kemudian, bus jurusan Fidel dan Aquila tiba. Fian juga naik. Rumah mereka bertiga searah. Fidel duduk bersama Aquila, sementara Fian berdiri sambil berpegangan pada handgrip yang bergelantungan.
Tepat setelah semua penumpang menaiki bus, sopir segera menancap gas.
Di dalam bus itu, hati Fidel terus berdebar-debar.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar