Aku duduk di depan meja belajarku, pensil warna-warni berserakan. Kertas kosong di hadapanku kini mulai penuh dengan garis melengkung dan kata-kata. Di tengahnya, aku menulis: Taman Bacaan Harapan Anak. Dari situ, cabang-cabang kecil menjulur ke luar seperti alamat, tujuan, syarat, kegiatan, koleksi buku, motto, jam operasional.

Setiap cabang yang kutarik seperti menghubungkan pikiranku dengan sesuatu yang lebih dalam. Aku tidak hanya menulis data, aku seperti sedang menggambar sebuah tempat yang hidup. Dalam benakku, aku melihat anak-anak yang mendengarkan dongeng, remaja yang serius membaca buku, dan suasana hangat yang penuh semangat belajar.

Semakin lama, hatiku terasa hangat juga. Ada rasa bangga karena aku bisa memetakan semua ini, menyatukan informasi yang awalnya acak jadi sesuatu yang jelas. Tapi bukan hanya itu, aku juga merasa tersentuh. Seolah mind map ini bukan sekadar tugas, melainkan jendela kecil untuk melihat bagaimana sebuah tempat sederhana bisa memberi harapan sebesar itu pada banyak orang.

Aku terdiam sebentar. Rasanya seperti aku ikut menjadi bagian dari Taman Bacaan Harapan Anak. Seperti aku ikut menjaga buku-buku di rak, ikut mendongeng untuk anak-anak, ikut tersenyum bersama mereka. Ada getaran kecil di dadaku, semacam semangat baru: aku juga ingin jadi orang yang menyebarkan literasi, bukan cuma pembaca.

Saat kertas mind map itu selesai kubuat, aku menatapnya lama-lama. Cabang-cabangnya rapi, tapi yang kurasakan di dalam lebih ramai: rasa tenang, rasa kagum, rasa ingin terlibat. Ternyata, dari sebuah mind map sederhana, aku bisa menemukan perasaan yang tidak sederhana sama sekali.

Aku tersenyum. Kertas ini mungkin hanya tugas, tapi bagiku, ini adalah pengingat kecil bahwa membaca dan belajar bisa membuka pintu ke dunia dan juga ke hatiku sendiri.