Ketika menulis monolog ini, saya tidak menyangka setiap kalimatnya akan terasa sedalam itu saat dibacakan kembali. Awalnya, saya hanya ingin menuangkan perasaan tentang kelelahan, kekecewaan, dan diri sendiri yang terkadang kehilangan arah. Namun ternyata, di balik kata-kata sederhana tersebut, tersimpan potongan perjalanan dan perjuangan yang pernah saya alami.

Monolog ini lahir dari masa ketika segalanya terasa berat. Saya sempat merasa terjebak dan mulai meragukan kemampuan diri sendiri, seolah terus berlari tanpa tahu tujuan. Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa tumbuh tidak selalu berarti harus terus melangkah maju. Terkadang, tumbuh juga berarti berani berhenti sejenak, menarik napas, dan menerima bahwa saya pun manusia yang bisa merasa lelah.

Bagian yang paling berkesan bagi saya adalah saat saya menulis, “Aku cuma mau peluk diriku yang dulu, dan bilang: terima kasih ya… udah bertahan sejauh ini.” Di titik itu, saya menyadari bahwa saya sering terlalu keras terhadap diri sendiri. Padahal, sekecil apa pun langkah yang telah saya ambil, semuanya tetap memiliki makna dan nilai.

Bagi saya, monolog ini bukan sekadar curahan hati, melainkan juga sebuah pengingat. Pengingat bahwa tidak apa-apa untuk berhenti sejenak, tidak apa-apa untuk merasa rapuh, asalkan tidak berhenti percaya bahwa saya masih bisa memulai kembali kapan pun saya siap. Karena pada akhirnya, berhenti bukanlah tanda menyerah, melainkan bagian dari proses untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat.

Jakarta, 20 Oktober 2025

Ini adalah tulisanku yang ke-14.