Jane Cheilya Ranthanee

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

SEPAK TERJANG PENGORBANAN SEORANG IBU

Ismi Auliya. Demikian namaku tertera pada secarik kertas akta kelahiran yang langsung diterbitkan di kantor kecamatan, tepat setelah 9 bulan aku menunggui rahim ibuku. 1 Januari 2008. Persis dimana seluruh dunia menumpah-ruahkan kegembirannya masing-masing demi menyambut Tahun Baru. Orang tuaku juga begitu, ikut memeriahkan tahun baru kali ini dengan lahirnya diriku.

Ayahku meninggal dunia ketika usiaku tepat 2 tahun. Ia sedang menarik becak seperti biasa, menghidupi keluarga ini dari hasil jerih payah keringat panasnya. Pagi ia berangkat, ikut mangkal bersama teman-temannya. Siang ia wajib bermandi peluh, setelah sekian penumpang ia antarkan. Sore ia belum juga pulang, hingga fajar menyingsing pun ia tetap pada keteguhan, bahwa esok akan lebih baik. Bahwa esok akan ada keajaiban, setidaknya untuk kami bertahan 1 minggu kedepan.

Namun Tuhan berkehendak lain. Jam 9 teng, ayahku tak kunjung pulang. Ibuku mulai cemas, terlihat dari dahinya yang terlipat hingga kesana-kemari di depan pintu rumah. Aku tak tahu apa-apa ketika itu, aku tak tahu betapa susahnya ayahku mencari nafkah, betapa bingungnya ibuku memikirkan lauk untuk kami makan. Aku tak lain hanyalah seorang anak kecil berumur 2 tahun yang sedang haus akan kasih sayang dari orang tua.

Tok... Tok...

Ibuku dengan gesit berlari menuju pintu rumah, meski sebenarnya tidak dapat kami sebut pintu karena hanya secarik kain lusuh yang menutupi lubang persegi itu. “Ini benar keluarga Bapak Syaiful?” Tanya dua orang dewasa yang datang kerumah kami. “Iya benar, ada apa gerangan datang kemari?” Balas tanya ibuku yang tak kalah penasaran. Namun seketika.

Prang...

Piring yang ibuku bawa untuk persiapan makan malam ayah jatuh, wajah ibu terlihat begitu kaget, matanya menatap kosong kedepan hingga sedetik kemudian, mata yang kukenal lembut dalam menatap kini mengalir tetes demi tetes air mata. Ibuku kalap langsung membawaku pergi bersama dua orang dewasa tadi. Dan malam itu, resmi ayah dinyatakan meninggal karena tabrak lari.

Sejak saat itu, ibu harus banting tulang menghidupi keluarga, meski hanya terdiri dari aku dan ia seorang. Ibu tak memiliki pekerjaan tetap, ia bekerja serabutan. Kadang membantu tetangga yang butuh pertolongan, kadang menjadi tukang loundry dadakan, kadang juga menjadi asisten rumah tangga, yaa kalimat tadi hanya sebagai penghalus daripada harus mencantumkan “menjadi pembantu”.

Tak terasa sudah 3 tahun aku menemani ibu sepeninggal ayah. Ibu tak pernah patah semangat dalam mendidikku, ia ingin sekali melihatku sukses, menempuh pendidikan yang layak hingga mengenakan toga dihari wisuda nanti. Namun, pagi ini kepalaku pusing berat, tubuhku panas membara. Aku tak mengerti, penyakit apa yang sedang menimpaku.

Ibu bersusah payah memberiku perawatan terbaik menurutnya. Dahiku dikompres olehnya. Ramuan-ramuan mujarab menurut orang terdahulu diminukannya kepadaku. Namun, tetap saja. Turun satu celcius pun tubuhku tidak. Ibuku tambah bingung, tak tau apa yang harus diperbuat. Cuaca diluar sedang hujan lebat disertai badai ringan.

Hingga dihari sekian aku sakit, fisikku memburuk. Tubuhku kejang hebat, aku tak ingat kenangan kala itu, hanya cerita dari ibuku yang teringat. Aku kalap, tak sadarkan diri, orang-orang memvonisku kesurupan. Namun, setidak-masuk akal pun di benak masyarakat jika telah dikonsultasikan kepada dokter, penjelasan ilmiahnya akan bermunculan.

Warga sekitar banyak berdatangan ke rumah. Cuaca juga tak sedang baik, musim penghujan seperti ini kerap terjadi badai. Hari ini pun demikian, hingga salah satu tetangga ingat dengan dokter yang sedang membuka praktek di ujung kecamatan sana. Ibuku tanpa banyak basa-basi langsung berlari. Tak peduli ketika itu hujan lebat disertai badai sedang mengamuk. Jika hal tersebut untuk kesembuhan anaknya, mau meteor jatuh menerjang bumi atau gempa berskala 100 skala Richter mengguncang, ia tak akan urung dalam membulatkan niatnya.

Akhirnya ia berangkat dengan alas dan baju seadanya. Padahal udara sedang menusuk tulang. Ia berlari menuju perumahan dokter praktek itu, berusaha menerjang semak belukar yang lebat hampir mengalahkan hutan belantara di ujung dunia sana. Tetes demi tetes jatuh menyentuh tubuh lemasnya, 5 menit kemudian tubuhnya lengkap sudah terkena guyuran air hujan. Baju yang ia pakai tak cukup untuk menahan dinginnya udara. Tapi, inilah ibuku. Satu-satunya orang yang tak akan patah semangat hanya terkena tampias dingin cuaca malam ini.

Ia terus berlari, berusaha menipu waktu yang kian menipis. Hingga dimenit sekian ia tersandung akar pohon yang timbul, tubuhnya terhuyung jatuh. Tangannya berusaha menahan beban tubuhnya. Namun, lagi-lagi sial. Tangannya menyerempet pecahan gelas yang tertanam ditanah. Dengan segera ia bersihkan luka itu dengan air hujan yang jatuh. Tapi percuma, luka itu dalam. Darah segar kembali mengalir. Namun, lagi-lagi inilah ibuku. Satu-satunya orang yang tak akan patah semangat hanya terkena pecahan kaca. Ia terus berlari hingga sampai tepat diteras dokter praktek itu.

Aku mendengar cerita heroik itu dari gosipan para tetangga. Betapa ibuku bisa menjadi segalanya bagi anaknya. Ia yang bisa menyulap diri menjadi seorang teman, saudara, sahabat bahkan seorang pahlawan.

***

Umurku genap 8 tahun, terlambat 1 tahun untuk masuk SD. Namun tak menjadi penghalang bagiku untuk menuntut ilmu. Aku bersungguh-sungguh ingin menjadi seorang yang sukses hingga ibuku tidak harus bekerja semalam suntuk untuk membiayai sekolahku.

Pernah disuatu ketika, aku naik ke kelas 4. Tahun dimana aku telah mengerti arti dari kehidupan. Tahun dimana aku telah mengerti arti dari perjuangan seorang ibu. Tahun ini juga aku genap 11 tahun. Ibuku secara tiba-tiba datang memanggilku, ingin berbicara katanya.

“Lia, sini nak ibuk pengen bicara.” Suaranya lembut nyaris tak terdengar sembari memupuk kursi kusam kami – mempersilahkan aku untuk duduk. Tak seperti biasa ibu akan memanggilku seperti ini, berbicara empat mata, jika sudah seperti ini akan ada yang dibicarakan secara serius.

“Iya buk, ada apa?” tanyaku penasaran. “Nak, ibuk sudah tidak bisa membiayai SPP sekolahmu untuk tahun depan. Ibuk sudah berusaha sekuat mungkin, tapi penghasilan ibuk hanya cukup untuk makan kita sehari-hari.” Ucap Ibuku sembari menahan tangisnya, hendak terlihat tegar dihadapan anaknya. “Ibuk, Lia ndak pernah maksa ibuk buat bisa sekolah. Lia bisa kok bantu ibuk kerja serabutan.”

“Jangan nak, biar ibuk yang menanggung beban, kamu berhak dapat masa depan yang lebih cerah.” Pecah sudah tangis ibu di ruang tengah rumah kami. Ibu yang selama ini kukenal girang dan bahagia didepanku, kini terlihat lemas, seakan seluruh beban alam semesta bertumpu diatas pundaknya. Ia terbata-bata melanjutkan kalimatnya.

“Ma.. Maafkan ibuk nak, maafkan ibuk yang ndak bisa menjadi segalanya buat kamu. Maafkan ibuk yang ndak bisa biayain sekolah kamu.” Masih dengan kalimat terbata-batanya ia mengalirkan tangis. Tangis yang selama ini tak pernah kulihat semenjak ayah meninggal. Tangis yang tak pernah kulihat meski seburuk apapun keadaan keluarga kami. Ibu yang selama ini kukenal seakan menjadi asing dihadapanku.

***

Aku sedang asyik memperhatikan pelajaran kala itu, umurku menyentuh angka 18 tahun. Aku tengah duduk di bangku 2 SMA. Yaa, aku tidak jadi putus sekolah, siapa lagi jika bukan karena ibuku. Sejak saat itu, ibu menjanjikan pendidikan yang lebih serius dan aku juga tak kalah serius dalam menempuh pendidikan. Janji yang akan kutunaikan hanya satu, memberikan kehidupan yang layak untuk ibuku.

Fisika. Salah satu pelajaran yang aku unggulkan. Ditengah kesibukan guru yang sedang menjelaskan dan murid yang sedang memperhatikan. Satpam sekolah datang merangsek masuk kedalam kelas. “Ada yang bernama Ismi Auliya?” Tanya satpam itu terburu-buru. “I, Iya pak, saya.” Aku menjawab sambil berdiri. “Cepat ikut saya.” Tegas satpam itu menyuruh.

“Ibu kamu..” Satpam itu ber huh-hah pelan, dadanya kembang kempis sebab berlari. “Ibu, kamu kritis, sekarang sedang dirumah sakit.” Sontak aku terkejut bukan main. Cepat aku kembali kedalam kelas, membereskan buku dan alat tulis. Tergopoh-gopoh aku menaiki sepeda motor satpam itu, berbocengan denganya.

Tepat ketika sampai di pelantaran rumah sakit, aku berlari. Tak peduli orang sekitar akan melihatku seperti apa. Toh, selama ini ibuku tak peduli juga gunjingan tetangga, asal aku hidup dengan damai. Satu-dua orang sempat tertabrak. Berkali-kali aku mengucapkan kalimat maaf.

Setibanya di pintu ruangan tempat dimana ibuku dirawat. Aku merangsek masuk. Tak peduli juga ocehan suster dan dokter disana. Aku lebih mengkhawatirkan kondisi ibu. Namun, kali ini aku yang sial. Salah satu dokter membawa kain putih polos kehadapan ibuku, sembari menutup mayat ibuku yang terbujur kaku.

Aku tak kuasa melihatnya. Tubuhku lemas seketika, jatuh tepat dimana aku terdiam seribu bahasa. Aku menangis sekuat tenaga, melampiaskan seluruh kesedihanku saat itu. Salah satu dokter datang kehadapanku, berusaha menguatkan diriku. Namun, hari itu adalah hari tersial yang pernah aku lalui. Bagaimana tidak? Ketika orang yang rela kehujanan, rela menerobos badai dan rela terluka karena pecahan kaca hanya untuk melihat anak semata wayangnya tumbuh sehat kini terbujur kaku diatas ranjang rumah sakit. Tak ada rias wajah gembira maupun senang disana. Hanya menyisakan senyuman tipis perpisahan untuk selamanya.

***

Hari ini, aku lulus sarjana dengan gelar cumlaude. Impian ibuku akhirnya tercapai. Aku melangkah gagah kedepan, dipakaikannya toga itu kepadaku, diberikannya ijazah kelulusan itu kepadaku. Aku sukses menjemput mimpi yang sejak dulu kubangun bersama rintihan doa ibu. “Ibuk, hari ini aku menunaikan impianmu. Terima kasih telah mendidikku dengan caramu yang begitu hebat. Terima kasih telah datang di hidupku, tak hanya sebagai ibu maupun ayah, tapi sebagai sahabat juga pahlawan. Terima kasih telah mencoba untuk tak patah semangat hingga akhir hayatmu. Terima kasih untuk semuanya Ibuk, Lia sayang sama Ibuk juga ayah.” Sembari mengelap nisan bertuliskan AMELIA LADYANA dan SYAIFULLAH.

Jane Cheilya Ranthanee. Kerap disapa dengan panggilan Clea. Lahir tepat pada hari Sabtu, 01 Maret 2008. Saat ini ia berdomisili di Pamekasan, sedang menempuh pendidikan di jenjang SMPN 5 PAMEKASAN. Membaca dan menulis merupakan hobi yang ia iringi beserta bernyanyi dan mendengarkan musik. Ia bisa dihubungi lebih lanjut melalui via email: **(censored)** dan nomor Whatsapp: **(censored)**

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post