Fatimah Rasyida

Arsip Kolaborasi antara pikiran perasaan dan jari jemari Fatimah Rasyida sesuai dengan nama akun ini ps arsip diupload sesuai dengan keinginan

Selengkapnya
Navigasi Web

Stuck in The Middle 2

"Ah, ternyata kau orangnya. Saya dari Movie Tech, bisa bicara sebentar?" tanyanya. Astaga, aku benar-benar membutuhkan keajaibannya sekarang juga!

"Bisa, sir. Kebetulan dia shiftnya sudah selesai hari ini," jawab Aslan. Aku menyikut perutnya.

"Apa yang kau lakukan, sialan," bisikku kepadanya.

"Ini kesempatanmu, Tem. Kesempatan tidak bisa datang dua kali," balas bisiknya.

Akhirnya Kami bertiga duduk di salah satu tempat duduk yang kosong. Dia mengambil sesuatu dari tasnya, menaruhnya diatas meja, dan berdeham sebelum memulai pembicaraan. Di saat itu, semua keringatku berkumpul di tangan.

"Kami sudah melihat karya-karyamu di Comic Cost. Mulai dari Story line-mu, feeling di komikmu, gambarnya, animasi-mu yang luar biasa, semuanya. Kami ingin mengajakmu bergabung di perusahaan kami, sebagai animator. Kalau kau menerimanya kau akan langsung diminta untuk membuat story baru di seri baru The Rock Show tahun depan."

Oke. Let me take a break. Untuk kali ini aku setuju dengan kata Aslan, kesempatan tidak datang dua kali. Siapa yang tidak mengenal The Rock Show? Kartun serial--bukan, drama serial, atau, eh?

Nahkan, saking lamanya mencerna kata-kata orang itu, otakku berhenti bekerja. Saking bagusnya acara itu sampai diperdebatkan apakah itu kartun atau bukan. Dan aku yang akan membuat story barunya di seri barunya? Astaga, aku selalu memimpikan hal itu. Banyak komikku yang terinspirasi dari serial itu dan menjadi ide baru untuk story terbarunya.

Sebentar. Temmy, kau termakan umpannya. Hasutan halus, yang saking halusnya aku tergoda. Aslan sialan, ikan kesayanganmu itu tidak akan kuberi makan nanti.

"Kalau seri terbaru The Rock shownya sukses, kau bisa membuat serial sendiri atau bahkan film sendiri," katanya lagi. Aku melirik Aslan, dia benar-benar sudah terpancing omongan orang itu.

"Ah, hmm, ok. Terima kasih atas tawarannya, aku sangat berterima kasih. Boleh aku berpikir dulu untuk beberapa hari untuk mengambil langkah?" tanyaku sopan. Itu adalah caraku kabur dari mereka yang selalu menghujani email ku dengan undangan kerja, atau semacamnya.

Aku menarik lengan Aslan dan keluar dari cafe dengan buru-buru, meninggalkan orang itu sendirian. Aku masuk mobil. Dan disitulah Aslan baru menyadari.

"Temmy! Apa yang kau lakukan! Itu kesempatan emasmu untuk bisa meraih mimpimu yang masih menunggu untuk di gapai!" kata Aslan.

"Shhhht, iya-iya. Aku tau. Menurutmu kenapa aku memilih untuk berada di depan setir mobil ini?" tanyaku. Aslan melirik setir dan melirikku setelahnya, kemudian tersenyum. Astaga, senyuman itu indah sekali, senyuman yang selalu didambakan semua wanita dari kuliah sampai sekarang.

"Ahaha, itu baru Temmy Natasha yang kukenal," kata Aslan. Aku tersenyum kecil. Sebenarnya aku hanya ingin kabur, tawaran itu tidak benar-benar kupikirkan.

Aku menyalakan lampu apartement kecilku, yang sangat berantakan, tidak seperti kamar wanita pada umumnya. Kertas sketsa dimana-mana, di dinding, atap, dan lantai. Aku melirik mep yang kubawa, dan melemparnya sembarnagan di meja kantorku.

Aku mengambil kopi kaleng di kulkas, dan duduk di kursi. Menatap jadwalku hari ini di dinding. Yaampun, masih banyak panel yang belum kuselesaikan untuk episode komikku besok, dan sketsa yang menunggu untuk di-upgrade. Baiklah, hari ini jangan sampai salah layer!

Sambil aku menggambar, akan kuceritakan tentangku dulu. Aku anak pertama dari lima bersaudara. Dulu orang tuaku sangat berharap banyak denganku kerena aku anak pertama. Kata mereka, anak pertama itu harus mandiri, cekatan, dan cepat. Mereka membuatku membantu tetangga samping rumah menjalankan kedai kecilnya sejak umurku dua belas tahun. Aku selalu menurut apa yang mereka suruh kepadaku. Dulu aku anak yang selalu dibanggakan oleh mereka saat reuni keluarga, dibanding adik-adikku. Dan sekarang menjadi terbalik, adik-adikku yang selalu dibanding-bandingkan denganku, satu-satunya anak yang belum menikah dan belum memiliki pekerjaan yang tetap. Umurku sudah seperti tante-tante, jangan sebut berapa, karena aku juga sudah lupa.

Aku melirik jam, sudah tengah malam. Mataku tidak sengaja melirik ke mep yang tadi aku lempar sembarangan. Aku mengambilnya dan membacanya sampai habis. Napasku menderu setelah membacanya, dan aku mulai ngos-ngosan. Mengambil botol kecil, mengambil isinya dan meminumnya. Aku mengalami serangan panik. Aku harus minum obat penenang karenanya.

Aku menghela napas sambil memegangi kepala. Kepala ini terasa sangat berat untuk dibawa, kali ini harus ditopang dengan tangan agar tidak jatuh. Aku memejamkan mata. Mengingat-ingat masa-masa itu. Dimana namaku dipanggil untuk maju ke panggung megah, diiringi tepukan tangan yang meriah, dan berfoto bersama idola di tempat paling terkenal menurut teman-teman di jurusan seni. Aku memenangkan dua penghargaan sekaligus, The New Popular Artist, dan The Talented Artist. Dua penghargaan yang membuka semua impianku sejak kecil.

Ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Sekali lagi aku mengingatnya kembali. Tanpa disadari air mataku keluar dan tanganku meremas rambut dan memukulnya sedikit. Sebenarnya apa yang aku ingin kan?

Ponselku bergetar, telfon dari Aslan. Aku menghela napas dan mengangkatnya.

"Tem, kau sudah memikirkannya?" tanya Aslan tanpa basa basi. Kali ini aku benar-benar menghela napas dengan keras agar Aslan bisa mendengarnya.

"Tem, kau tidak apa-apa?" tanyanya lagi. Aku terdiam, tidak menjawab selama beberapa menit.

"Lan, menurutmu apa yang aku inginkan selama ini?" tanyaku. Pertanyaan yang seharusnya tidak kuajukan kepadanya.

"Hah? Maksudmu?"

"Cepat jawab saja!" kataku tak sabar.

"Hm, kau juga jarang mengutarakan keinginanmu sih, aku juga pusing!"

"Ah, iya. Dulu kau selalu bilang ingin menjadi artist, dan animator. Kau selalu menulisnya di pohon natal, dan selalu melempar koin dengan harapan itu," jawabnya.

Aku terdiam. Aku mengingatnya. Agak sedikit memalukan untukku yang sekarang, dan berpikir 'kenapa aku melakukan itu waktu itu?'.

"Tapi, kau sudah mendapatkannya kan? Harapan dan impianmu sudah ada di depan mata, Tem."

"Aslan. Kalau aku bilang kalau aku yang sekarang tidak menginginkan harapan atau impian itu terwujud bagaimana?" tanyaku pelan.

"Hah?! Bagaimana? Oi, Tem, maksudmu apa?" suara Aslan terdengar panik. Aku tidak menjawab, hendak mematikan ponsel.

"Oi, Tem! Maksudmu apa?!"

"Natasha.."

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post