Fatimah Rasyida

Arsip Kolaborasi antara pikiran perasaan dan jari jemari Fatimah Rasyida sesuai dengan nama akun ini ps arsip diupload sesuai dengan keinginan

Selengkapnya
Navigasi Web

Kenangan Selamanya

Dinginnya pagi ini menusuk sampai tulang. Beberapa orang di jalan saling menyapa satu sama lain. Tapi itu bukanlah hal yang penting saat ini. Pagi yang dingin itu makin dingin dengan aku yang secepat mungkin mengendarai motor bebek Bapak. Melewati pematang sawah, sapi-sapi yang digiring masuk ke area sawah untuk menenggala sawah.

Argh, tidak! Lampu merah! Kenapa disaat-saat terakhir selalu ada ujian yang menghujaniku. Sudah empat kali aku melewati lampu merah, dan empat kali pula berhenti. Rasanya ingin ku otak-atik itu mesin lampu merahnya dan kuganti jadi hijau. Secara tidak sengaja aku melihat seseorang yang mengenakan seragam yang sama denganku, membawa dua ikat buku tebal menyebrangi jalan. Bertatih-tatih ia berjalan saking berat benda yang dibawanya.

Lampu hijau mulai menunjukkan citranya, membuat semua pengendara dengan cepat melesat pergi. Aku yang menatap kasihan melihat orang itu langsung mendekat dan berhenti tidak jauh darinya.

“Woi! Butuh bantuan tidak?” seruku padanya. ia tidak menjawab, terus membawa buku-buku itu dan berjalan perlahan.

“Buku-buku itu pasti berat dibawa sendirian,” celetukku. Ia melirik kearahku, wajahnya terlihat lelah dan berkeringat. Mengangguk ragu.

“Tapi bawakan buku-bukunya saja ke sekolah,” katanya. Mengambil buku-buku itu dan menaruhnya di motor. Ia berjalan mendahuluinya, berjalan cepat.

“Hei! Lu juga naik, tanggung dikit lagi, bentar lagi telat. Aduuh! Udah telat ini mah,” seruku dan melirik jam tangan.

“Tidak, terima kasih. Gue jalan saja,” jawabnya.

“Tapi buku-buku ini harus gue taro mana di sekolah nanti?” kataku. Ia terlihat menghela napas dan berbalik, membantuku membawakan buku-buku itu di jok belakang.

Tidak sedetik pun kami berbincang. Sepuluh menit menuju sekolah terasa sangat lama. Gerbang belakang sekolah ditutup, tapi tidak bagiku. Benda itu selalu kukantongi celana, kunci duplikat karatan yang kutemukan di dekat lapangan sekolah, jatuh tergeletak. Perlu perjuangan untuk membuka gerbang dengan kunci itu saking karatannya.

Aku membantunya menaruh buku-buku itu di koridor, “Sampai sini saja.” Dan kemudian ia kabur dengan semua buku-buku itu. Aku hanya menatapnya dari kejauhan.

>>>>>

Nafasku menderu, aku berlari dari gerbang belakang sekolah dan memilih jalan yang lebih jauh untuk terhindar dari ruang guru. Sial sekali masa-masa terakhirku di SMA harus berada di kelas persis di samping ruang guru. Entah berapa kali aku harus masuk ke kelas lewat jendela saking takutnya berpapasan dengan guru. Terengah-engah memasuki kelas, semua orang di kelas menatap ke arahku sekilas kemudian kembali melakukan kegiatan mereka. Semua orang sudah mengetahui tentang aku, dan mungkin sudah menyerah dengan kelakukanku setiap harinya

Rumah paling jauh dibanding teman-temanku yang lain. Bukit-bukit tinggi daerah rumahku yang dari jendela kelas terlihat berwarna biru. Dengan aku berangkat dini hari, tetap saja selalu telat. Tidak tahu harus bagaimana lagi untuk tidak telat berangkat sekolah. Sampai kadang terlintas ide untuk diam-diam menginap di sekolah.

“Rai, tadi ada yang nyariin tuh, cewek lagi,” kata temanku.

Aku mengangkat alis, “Siapa?”

“Itu lho, anak olim ipa. Aduuh, siapa tadi namanya lupa nanya.” Pikiranku hanya tertuju kepada orang yang kubantu bawa buku kemarin.

“Denandra, namanya bro, lu nya aja yang gak kenal,” jawab temanku satunya.

“Ohya, namanya Denandra. Tadi juga nitip kertas ulanganmu. Lu minta anak olim buat ngoreksi ulangan lu apa gimana, Rai?”

Memangnya aku pernah ngasi kertas ulanganku ke padanya?

“Dimana?”

“Di laci meja lu.” Entah dari mana ia bisa mendapatkan kertas ulangan kimia ku yang anjlok ini. Dan memang benar ia koreksi semua jawabanku dengan pulpen merah macam guru. Aku membalik kertasnya. Ada tulisan tangan cantik nan anggun.

‘Terima kasih’

Hanya ada itu. Mengerti maksud dari kertas ulangan yang dicoret-coret dengan jawaban yang benar darinya itu. Dia berterima kasih padaku dari bantuanku dua hari yang lalu itu. Aku menyeringai

>>>>>

“Pagi, De, tumben berangkat siang. Kemarin kayaknya berangkat pagi banget,” celetuk Kayla, menyambut kedatangannya di depan kelas.

“Kemarin ada urusan, jadi berangkat pagi,” jawabnya.

“Urusan apa yang sampe kita gak berangkat bareng.”

“Ya, pokoknya ada lah,” katanya. Ia tidak bisa mengatakannya pada Kayla, sahabatnya dari SD bareng dan rumah saling berdekatan.

“Hmm, apakah itu urusan dengan cowok yang kemarin bantuin elu bawain buku?” goda Kayla. Telinganya terlihat sedikit memerah setelah mendengarnya.

“Apa sih, Ka! Bukan itu,” serunya.

“Halah, jujur aja sama gue, De.” Kayla mengapit lengannya di leher. Ia melirik sesuatu asing di loker sepatunya. Selembar kertas yang dilipat-lipat menjadi makin kecil tersangkut di pintu lokernya. Ia mengambil dan membukanya.

‘Sama-sama’.

“Dena! Itu dari siapa?! Jangan-jangan dari cowok kemarin? Lu ngasih surat ke cowok itu?” seru Kayla dengan deret pertanyaannya. Ia hanya tersenyum kecil, hampir saja tertawa.

“Lu kenapa sih, De? Itu beneran dari cowok itu?” tanya Kayla.

“Gue gak nyangka suratnya bakal dibalas,” jawabnya singkat.

“Emang lu ngasi surat nulisnya apaan?”

“Ada deh~”

>>>>>

Akhir-akhir ini sedang tren saling mengirim surat dari ataupun untuk seseorang, biasanya yang melakukannya adalah antar lawan jenis—cewek dan cowok. Itu termasuk hal yang awam di zaman ini. Mengirim surat kepada seseorang yang disukai ataupun hanya sekedar mengirim surat ke pada siswa yang kelasnya lebih dulu sudah ulangan untuk meminta contekan. Semuanya serba surat-menyurat.

Sudah dua bulan aku dan dia surat menyurat. Kami menyurati apa saja, hingga mengobrol dalam surat dengan topik yang random. Menanyakan kabar masing-masing, gosip guru-guru, bahkan kami saling bertukar rumus pelajaran. Tak jarang kami berdua berpapasan di kantin ataupun di koridor, tapi tidak ada satu pun dari kami yang berani menyapa.

“Rai, itu Dena gak disapa? Lu udah sering surat-suratan juga.”

“Gak, buat apaan,” kataku sambil menyeruput kuah bakso.

“De, ada Rawin tuh, gak disapa? Lu kenapa sih kalo ketemu ama dia diem-dieman?” tanya Kayla.

“Namanya Ra-u-in, Ka, gak pake w,” katanya.

“Yaah terserahlah, namanya ribet bener.”

“Malu.” Ia melirik Rauin yang sedang bercengkrama dengan teman-temannya di meja kantin sambil makan bakso.

>>>>>

Hari-hari tertentu membuatku tak sabar untuk sekolah, menempuh perjalanan panjang itu untuk dapat surat darinya. Senin, Kamis, dan Sabtu. Surat dariku adalah hari sisanya. Surat-surat itu muncul dari kolong mejaku setiap hari-hari tertentu itu. Dan sesekali diberikan oleh temannya, Kayla, dan juga relawan dari teman-temanku yang ingin mendekati Kayla Si primadona sekolah.

“Lu kenapa gak ngincer temennya aja dari pada si Dena itu,” celetuk temanku. Aku menggeleng. Tidak menjawab. Mereka tidak tahu bagaimana sifat Kayla yang sebenarnya.

“Kenapa harus gue yang ngasi ke Dena sih, kenapa gak lu sendiri?” tanya Kayla.

“Tolonglah, kasi suratnya ke Dena,” pintaku.

“Coba ngasi sendiri lah, kenapa harus pakai perantara sih?”

Aku berdecak, “Sudah berapa bulan kalian saling surat menyurat?” tanya Kayla.

“Lima sampai enam bulan mungkin? Ah, sudah selama itu kah,” jawabku. Kayla mendengus kesal, berdecak beberapa kali. Sifatnya benar-benar menyebalkan.

“Kalau begitu kenapa lu tidak mengajaknya bertemu di luar sekolah?”

“Ha? Jangan bercanda, dia lagi sibuk belajar untuk masuk PTN kan? Gimana gue bisa ngajakin dia?” tanyaku.

“Ya, ajak aja, biar Dena nya sendiri semangat belajar,” kata Kayla.

“Gak, nanti ganggu,” kataku.

“Ck, jangan cepet nyerah gitu, kek. Lu suka gak sih sama Dena? Kasihan Dena, nungguin mulu. Cepetan lho, sebelum diembat orang,” celetuk Kayla.

“Udahlah, kasi suratnya aja ke dia. Atau gini deh, gue traktir lu mi ayam kantin,” kataku. Kayla langsung mengambil surat itu dariku.

“Mi ayam dan es teh. Di tunggu besok.”

>>>>>

Hari kelulusan. Semua siswa kelas tiga membuka amplop putih bersamaan. Penantian selama tiga tahun, apakah mereka lulus atau tidak. Ia menutup mata, berdoa hingga berkomat-kamit, membuka perlahan amplop dengan tulisan ‘lulus’ terpampang besar.

Ia menghela nafas, “Ka! Gue lulus!”

“Sama, gue juga!” Mereka berdua saling merangkul dan berpelukkan.

Kami bertatapan di tengah keramaian. Tersenyum satu sama lain sambil mengangkat tinggi-tinggi kertas lulus itu, dan kami tertawa bersama. Sepulang sekolah aku memberanikan diri menunggunya di depan kelas. Teman-temanku mengintip dari balik semak-semak dan pohon, menyemangatiku dan bersiul meledek. Kayla sudah melihatku duluan langsung mengambil inisiatif untuk pulang duluan.

“Ka! Lu kenapa buru-buru sih? Tungguin gue!” serunya. Ia tidak menyadari keberadaanku tepat di belakangnya. Telingaku langsung merah saking kagetnya. Ia berbalik dan salah tingkah. Lucu sekali melihatnya.

“E-eh? Rai. Mau ketemu siapa?” Aku merasa ia menyesal bertanya seperti itu dikemudian hari, pertanyaan itu retorik sekali untuk mengawali sapaan.

“Hah? Hm. Ketemu elu,” jawabku blak-blakan. Ya. Tentu saja ketika aku mengingat kejadian ini lagi, membuatku malu setengah mati.

“Oh, oke. Kenapa?”

“Itu. Apa namanya. Lusa. Lusa nanti ada waktu tidak?” tanyaku.

“Lusa? Gak ada sih, emangnya kenapa?”

Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, canggung sekali suasananya. “Lusa, ada pasar malem di lapangan kecamatan. Mau bareng ke sana?” tanyaku dengan segenap keberanian. Terlihat wajahnya agak merah setelah mendengar ajakan dariku. Tanpa banyak bicara ia mengangguk kecil agak malu-malu.

“Eh? Beneran?”

“Bohong itu dosa, tauk.”

>>>>>

Lusa. Kami bertemu di parkiran kecamatan. Aku agak sedikit telat dari waktu yang kami sepakati karena ada yang harus kulakukan di rumah. Aku ingat sekali, dia menungguku dengan sabar sambil membaca buku. Itu pertama kalinya aku bertemu dengannya selain di sekolah. Kami benar-benar kehabisan kata. Tidak ada yang berani mengungkapkan perasaan terlebih dahulu. Canggung sekali seperti saat aku memboncengnya pertama kali.

“Mau main kora-kora gak?” tanyanya. Aku menatap kora-kora dari dekat, menelan ludah. Aku takut ketinggian dan paling takut dengan permainan hidup dan mati itu. Dan lagi-lagi dia yang mengajakku duluan, harga diriku sebagai laki-laki mau ditaruh mana?

Aku mengangguk kecil. Membeli tiket dan duduk di tempat paling ujung. Aku agak gugup. Tanganku bergetar, entah ia menyadarinya apa tidak. Pintu ditutup. Tidak ada lagi jalan keluar untukku kabur.

Kora-kora mulai bergerak maju-mundur, perlahan tapi pasti, kora-kora mulai bergerak lebih cepat. Aku berpegang dengan tiang pengaman erat-erat. Tanganku berkeringat. Menahan untuk tidak teriak demi harga diri sebagai laki-laki. Ia melirikku yang bertarung dengan ketakutanku sendiri. Pengunjung selain kami tertawa dan berseru-seru asyik. Bagaimana mereka bisa menikmati permainan hidup dan mati ini?

“Kalau mau teriak, teriak aja. Gue juga takut ketinggian,” bisiknya.

“MAMAAAKK~!!” Tanpa pikir panjang aku langsung berteriak sekencang-kencangnya. Teriakan melengking yang tidak ada maco-maconya. Semua pengunjung langsung menatapku dan menahan tawa. Dia pun kaget dengan aku yang benar-benar teriak kencang, tersenyum kecil melihat tingkah lakuku. Aku berteriak entah berapa kali hingga kora-kora mulai bergerak pelan dan berhenti.

“Laki-laki masa gitu doang takut, mana teriaknya paling kenceng lagi.” Abang-abang yang bertugas pun mengejekku. Aku berjongkok. Memikirkan apa yang sudah terjadi di permainan itu. sirnalah sudah kesan keren dari diri ini. Mungkin kesanku darinya adalah laki-laki lemah yang takut ketinggian. Dia tak kuasa menahan senyum yang tampak lesung pipinya.

Waktu sudah mulai mencair. Sesekali aku dan dia mengusulkan untuk bermain permainan yang lain. Melukis, bermain tembak-tembakan, dan menikmati pemandangan dari bianglala. Membeli banyak jajanan yang terlihat enak untuk dimakan berdua.

“Lu tadi pas naik kora-kora teriaknya paling kenceng daripada yang lain,” celetuknya. Aku menghela napas. Lagi-lagi membahas itu.

“Ya, gue tau,” jawabku lemas. Aku hanya bisa tersenyum kecut. Ia tertawa kecil melihat tingkah lakuku. Gagal sudah aku jadi cowok pemberani di depannya.

“Gue kira lu juga mau teriak, makanya teriak duluan,” kataku.

“Ternyata tidak setinggi dan seseram yang gue kira,” jawabnya dengan santai. Aku ternganga. Cewek pemberani macam apa yang bisa sepintar itu di sekolah, selalu jadi perwakilan olimpiade IPA dan juara umum.

“Gak papa, gue suka, kok. Itu bikit gue ketawa. Eh, tapi bukan ngejelekin elu ya,” katanya

“Gue juga suka,” kataku.

“Suka apaan?” tanyanya.

“Elu.” Ya. Aku tau. Entah gerangan apa aku saat itu bisa berkata seperti itu. Membuatku sendiri merinding mendengarnya.

“Sama, gue juga.”

>>>>>

Seminggu kemudian. Aku bersiap untuk pindah ke Ibu kota untuk menempuh kuliah di sana. Keberangkatanku yang juga dadakan, diberi tahu sehari sebelum aku dan Dena pergi ke pasar malam. Membuatku harus mengurus banyak surat dan packing baju. Bapak memaksaku untuk ke Ibu kota meskipun tahu aku diterima di kampus negeri di pusat kota.

Semua temanku ikut mengantar hingga terminal. Perjalanan antar pulau yang hanya bisa ditempuh dengan kapal. Bapak membantu memasukkan koper ke bagasi, aku dan teman-teman mengobrol untuk terakhir kalinya.

“Rai, ada dia tuh,” kata temanku.

“Ha?” Aku melirik ke arahnya. Dia ada di sana, bersama Kayla duduk di bawah pohon. Aku menghampiri mereka berdua.

“Kalian ngapain di sini?” tanyaku.

“Ngapain? Tuh si Dena minta anterin ke terminal, gue kira mau jemput siapa gitu. Eh, ternyata mau ketemu elu,” jawab Kayla.

“De, gue mau beli minum dulu. Ngobrol ama pangeran lu sana,” celetuknya dan berlalu pergi.

“Pangeran?”

“Gausah didengerin omongan Kayla, orangnya emang gitu,” katanya. Aku mengangguk kecil.

“Tau dari mana gue berangkat hari ini?” tanyaku. Ia menunjuk teman-temanku, ketahuanlah mereka sedang mengintip obrolan kami.

“Pak Gadi kemarin ngomel-ngomel karena ada murid di Angkatan kita yang masuk PTN tapi gak diambil, padahal yang masuk PTN dari sekolah cuman ada lima orang,” jawabnya. Pak Gandhi, sebutan kami untuk bapak kepala sekolah. Hidung mancung, perawakan kurus, serta berkacamata, kharismanya langsung terlihat ketika beliau sedang berjalan, mirip dengan Mahatma Gandhi. Karena itu kami semua menyeletuknya dengan Pak Gadi.

“Gak kebayang beliau marahnya kayak gimana,” lanjutnya.

“Maaf.”

Dia menatapku, “Kok malah minta maaf ke gue? Ke pak Gadi, atuh.”

“Ke elu juga. Gue minta maaf karena gak bilang,” kataku. Dia tersenyum. Senyuman yang masih kuingat hingga sekarang, pipinya merona dan lesung pipi nya terlihat.

“Pindah ke Ibu kota bukan elu yang mau kan. Lu udah keren, gak nolak apa yang kata orangtua lu minta. Lu bisa nahan ego sendiri, anak muda jarang ada yang bisa begitu,” katanya.

“Berarti kita gak bisa ketemu lagi dong,” katanya. Aku mengangguk kecil. Di saat yang sama, teman-temanku berteriak memanggilku, bus sudah mau berangkat, dan aku harus bersiap.

“Jangan lupa kirim surat ya, Rai,” katanya.

Aku mengangguk mantap. “Kalau gue ngirim surat, jangan lupa dibaca sama dibalas ya. Gue tunggu balasan suratnya,” kataku.

“Daah, Den. Gue berangkat dulu,” kataku.

“Jangan lupain gue di sini.”

>>>>>

“Pagi, pak Rai!” Mereka menyapaku ketika aku masuk ke ruangan.

“Pagi, guys. Siapa yang belum dateng hari ini?” tanyaku.

“Tinggal Timmy doang yang belum dateng, Pak.” Suara langkah kaki buru-buru memasuki kelas, sedikit membanting pintu. Timmy nampak terengah dan terduduk saking lelahnya.

“Maaf telat, Pak,” katanya.

“Minum dulu, Tim, capek banget keliatannya,” kataku. Ia mengeluarkan botol minum dan tisu wajah. Mengelap keringat di wajahnya, dan minum beberapa teguk air.

“Tadi ban motor bocor, kemasukan paku di jalan. Jadinya ke bengkel dulu, abis itu lari ke sekolah,” katanya.

“Pagi-pagi udah sial aja, Tim,” celetuk temannya.

“Diem lu, capek nih.” Aku tersenyum kecil. Rasanya seperti melihat mesin waktu. Kenangan lama dengan zaman yang berbeda. Baru kusadari masa SMA begitu indah. Terlihat dari tingkah laku murid-muridku.

Oh iya. Belum kuberitahu ya? Sekarang, aku menjadi seorang guru. Iya. Guru. Di salah satu SMA di Ibu kota. Murid-murid yang seharusnya memanggilku dengan Pak Rauin—dengan penyebutan ‘rawin’ terlanjur memanggilku dengan nama sapaan, Pak Rai. Katanya biar terkesan lebih keren.

Entah sudah berapa lama aku tidak bertemu dan mengunjungi kampung halamanku. Mungkin sudah delapan? Sembilan tahun mungkin aku tidak kembali ke tempat kelahiran. Sudah lama tidak saling menghubungi dengan teman-temanku di sana. Masing-masing orang memiliki kesibukannya masing-masing. Seminggu yang lalu, aku baru saja membereskan barang-barang lamaku di rumah kontrakan, menjual-jual barang yang menumpuk dan tidak terpakai. Dan aku menemukan kotak sepatu itu.

Kotak sepatu berbungkus kertas kado dengan coretan spidol ‘Precious Letter’. Iya, iya, aku mengakuinya itu agak alay, tapi mau bagaimana? Itu salah satu kenangan masa mudaku—meskipun aku yang sekarang juga masih muda. Terpampang banyak kertas binder warna-warni dengan tema barbie dan princess yang kuikat dengan karet. Kubaca satu per satu, menahan gelak tawa dan bulu kuduk mulai berdiri. Ada disaat di mana, aku menempelkan salah satu surat darinya di depan meja belajarku, sebagai penyemangatku belajar ketika sedang berjuang keras untuk lulus kuliah.

“Dena, gimana kabarnya ya?” tanyaku. Kami sudah hilang kontak, tapi masih berteman dan mengikuti sosial media masing-masing.

>>>>>

“Pak Rai, cerita-cerita dong tentang masa SMA nya gimana,” seru salah satu muridku setelah jam mengajarku habis.

“Cerita tentang apa?” tanyaku.

“Apa gitu kek.”

“Pak Rai punya kisah cinta-cintaan gitu gak dulu pas SMA?”

“Heh, gini-gini Bapak juga pernah ngalamin masa SMA dulu, pasti adalah,” kataku.

“Coba cerita dong.” Aku teringat kisahku dengannya.

Kami pertama kali bertemu saat pengumuman juara umum tiap kelas. Kelas 11 semester 2, setelah aku mati-matian belajar mengejar ketertinggalanku setelah sedikit menyerah yang tidak memiliki waktu untuk belajar. Dan Dena yang selalu menjadi juara umum setiap tahunnya, sering ikut olimpiade IPA sejak kelas 10.

Namaku terpanggil dan disuruh ke mimbar depan, bersama beberapa ‘anak pintar’ lainnya. Pak Gadi menyebut namaku beberapa kali seolah tidak percaya, begitu pun aku. Berjalan sambil termangu tak percaya. Aku dan dia berdiri bersebalahan.

Masih dalam keadaan mengolah situasi yang sedang terjadi, Dena mengulurkan tangannya kepadaku untuk berjabat tangan.

“Eh?”

“Gak mau jabat tangan?” Buru-buru aku menjabat tangannya balik, dia tersenyum.

“Ekspresi lu sama yang lu lakuin gak selaras, gak percaya ama diri sendiri bisa diri di sini bareng anak-anak ranking 1 lain, percaya diri dikit dong.”

“Selamat ya!” katanya.

“Yahh, pokoknya kita saling surat menyurat gitu, meskipun Bapak di sini, dan Dia di kampung, karena dulu mau ngirim surat nunggunya lama banget, jadinya pas ada tukang pos dateng jadi kayak langsung semangat. Dan lucunya lagi, karena tukang pos yang ke rumah itu orangnya selalu sama, tukang posnya selalu ngejekin Bapak ‘kiw-kiw’ gitu,” kataku mengakhiri cerita.

“Iih lucu banget kisahnya Pak Rai.”

Uwu gitu, gak kuat.”

“Sekarang Pak Rai masih kontakan gak sama dia?”

“Gak, orangnya udah gak di tempat yang sama,” kataku sambil tersenyum kecil. Mereka melihatku seperti berkaca-kaca, karena mereka juga aku sedikit terbawa suasana. Baru kudengar kabarnya seminggu yang lalu. Dari Kayla yang tiba-tiba menemukan kontakku entah dari mana, dan mengabariku tentangnya. Aku tak bisa berbuat apa-apa untuknya, hanya bisa mengingat senyum lesung pipinya dan kenangan manis lainnya.

“Kesimpulan dari ceritanya adalah jangan menyia-nyiakan kesempatan, dan nikmatin masa-masa SMA kalian dengan baik, soalnya cuman bisa ngerasain sekali seumur hidup.”

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post