Chapter 8

“Tadaima.”

“Okaeri, tumben kau pulang terlambat,” kataku.

“Iya, tadi habis mengunjungi makam, jadi sedikit terlambat pulang. Ah! Hayakawa! Kau mengkhawatirkanku ya~” Aku berdecak, seharusnya aku tidak berkata seperti itu.

“Malam-malam begini? makam siapa?” tanyaku.

“Kau.”

Muka datarku tiba-tiba ingin sekali tertawa. Kebiasaan Kawamura kalau sedang bercanda.

“Lawakanmu tidak lucu,” kataku.

“Lho, beneran,” kata Kawamura sambil menaruh tasnya ke kamarnya. Aku mencegatnya di depan kamar.

“Kawamura, ini bukan saatnya bercanda,” kataku kesal. Dia berdecak dan berjalan masuk ke kamarnya—menembusku. Aku masih tidak percaya dan mencoba memukulnya. Menembus.

“Apa-apaan ini?” tanganku bergetar hebat, antara ketakutan dan tidak percaya.

“Tapi tadi pagi aku masih bekerja, pergi ke tempat Murata-san, bertemu Nanase-san,” kataku. Kawamra menghela napas lagi sambil menganti bajunya.

“Mereka tidak pernah ada, itu hanya khayalanmu saja. Kau tidak pernah bekerja di kedai ramen tonkatsu yang sering kau ceritakan itu,” katanya. Aku menggeleng-geleng.

“Tidak itu tidak benar! Aku mengantarkan makanan dan makanan ke pelanggan! Berbincang-bincang dengan Murata-san dan Nanase-san,” seruku. Aku benar-benar tidak percaya. Aku terduduk saking lemasnya.

“Selamat hari kematianmu yang ke-10, temanku Kenji Hayakawa,” kata Kawamura sambil menyentuhku. Ia menyeringai.

-

-

-

End