How to Human Being? (7)
1. Chapter 7
Melirik satu persatu pelanggan yang datang. Terlihat ada yang mengeluh saat memasuki kedai, mungkin di kantornya ia mendapat masalah dan membuatnya mengeluh. Beberapa menit kemudian seorang pelanggan menatap ponselnya masuk dan duduk di tempat yang kosong tanpa memesan apa-apa, orang itu terlihat sibuk mengetik sesuatu lalu menelpon bersamaan saat ia memesan makanan. Mungkin pelanggan itu adalah seorang bos atau orang yang serba sibuk dengan pekerjaannya. Pelanggan itu mengingatkanku dengan Kawamura.
Aku melirik jam dinding kemudian menatap bos. Berharap bos membalas menatapku dan mengangguk kecil, kemudian aku berjalan ke belakang, mengambil tas ku lalu pulang ke rumah. Tapi bos tak kunjung menatapku dan sibuk memasak ramen dan katsudon. Aku menghela napas.
Disaat yang bersamaan rekanku datang. Dia datang dengan lesu dan wajah yang terlihat antara sedih dan kecewa.
“Kenapa kau? Habis dicampakkan dengan pacarmu yang sekarang?” ejekku. Dia menatapku dan berdecak kesal.
“Kalau liat orang begini harusnya disemangati atau di kasihani gitu, kau malah mengejek.”
“Untuk apa aku harus mengasihimu? Tindakan yang tidak berguna,” kataku bersamaan dengan mengantarkan pesanan pelanggan. Bos menatapku. Astaga kenapa telat sekali meresponku. Aku mengangguk dan berjalan ke belakang.
Rekanku masih memasang celemeknya, sesekali ia menghela napas dan berdecak kecil karena kesulitan mengikat tali celemeknya. Ia melirikku yang baru saja datang. Aku berdecak dan membantunya mengikatnya.
“Arigatou. Tumben sekali kau,” katanya. Aku berdecak.
“Aku kan juga manusia,” jawabku.
“Nee, kau mau jadi pacarku?” tanyanya. Aku berpura-pura tidak mendengarkan dan mengejek dalam hati. Seharusnya aku tidak membantunya.
“Nee, Hayakawa. Wajahmu itu seharunya diatas rata-rata wajah pacar-pacarku yang sebelumnya,” katanya.
“Terima kasih atas pujiannya, tapi tidak terima kasih,” kataku berlalu.
Aku meraih kunci yang ada di sela-sela ventilasi, lalu membuka pintu. Lampu ruang tengah ditinggal menyala. Aku berdecak kecil, Kawamura sialan. Aku memakinya di dalam hati.
Aku melirik jam. Tumben dia terlambat pulang. Biasanya kalau dia terlambat pulang dia akan memberitahuku sebelumnya. Ah, kenapa aku memikirkannya? Tumben sekali wahai diriku. Tapi ini sudah lewat tengah malam, apa Kawamura baik-baik saja? Aku meraih ponselku dan hendak menelponnya.
Saat hendak menelponnya, pintu terbuka. Astaga, kenapa banyak kebetulan di hari kerja seperti ini.
“Tadaima.”
“Okaeri, tumben kau pulang terlambat,” kataku.
“Iya, tadi habis mengunjungi makam, jadi sedikit terlambat pulang. Ah! Hayakawa! Kau mengkhawatirkanku ya~” Aku berdecak, seharusnya aku tidak berkata seperti itu.
“Malam-malam begini? makam siapa?” tanyaku.
“Kau.”
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar