Fatimah Rasyida

Arsip Kolaborasi antara pikiran perasaan dan jari jemari Fatimah Rasyida sesuai dengan nama akun ini ps arsip diupload sesuai dengan keinginan

Selengkapnya
Navigasi Web

How to Human Being? (4)

1. Chapter 4

Aku mencoba memutar gagang pintu. Tidak terkunci. Aku mengangkat alis sebelahku, dan membuka pintu. Terlihat ruang tamu yang terang benderang.

Tadaimai,” seruku. Aku mencium sesuatu dan melirik dapur.

Okaeri, Hayakawa, seperti biasa kau pulang tepat jam sebelas,” kata orang itu.

“Oh, kau sudah pulang dari perjalanan bisnis, kapan?” tanyaku. Orang itu sedang serius mencicipi makanan untuk makan malam.

“Jam tujuh tadi,” jawabnya sambil menaruh sup miso ke mangkuk dan menaruhnya ke meja makan. Aku menaruh tasku sembarang tempat dan pergi ke kamar untuk mengganti baju.

“Oi! Makan malam sudah siap,” serunya. Aku berjalan ke meja makan dan duduk sambil menghela napas.

“Ada apa?” tanyanya. Aku meliriknya dan menghela napas lagi.

“Kenapa kau kesini lagi, Kawamura? Kau itu sudah memiliki pekerjaan yang cukup untuk menyewa apartement sendiri dan bahkan lebih besar dari ini,” kataku. Dia tersenyum pepsodent, tanpa menjawab. Aku menghela napas lagi.

“Cerialah sedikit karena kau di rumah ini ada aku. Kalau tidak kau akan seperti mayat hidup yang hanya makan sandwich dan minuman jelly itu,” katanya membela dirinya sendiri.

“Masih mending tinggal dengan perempuan daripadamu, sesama lelaki. Sudah seperti aneh-aneh saja pikiran tetangga nanti,” kataku.

“Yah, tinggal bilang saja kalau aku ini temanmu saat kuliah, gampang kan,” katanya. Aku menghela napas lagi dan melahap makananku.

Yang sedang makan bersamaku itu, Kancil—ah tidak, Kawamura. Teman, bukan, orang yang satu kuliah denganku. Ah, oke! Aku mengakuinya! Dia temanku saat kuliah hingga sekarang. Dia yang mengikuti duluan saat hari pertama kuliah hingga memaksaku untuk tinggal denganku karena katanya dia tidak punya uang untuk menyewa apartemen kecil. Sifatnya yang sangat bertolak belakang denganku membuat orang lain heran kenapa kami bisa berteman.

Aku juga heran kenapa Kawamura mau berteman denganku yang aku sendiri juga tidak tau seperti apa aku ini. Sifatnya yang mudah berkawan dan ramah itu membuatnya populer saat kuliah. Sangat berbeda denganku yang bahkan jika orang bertanya tentangku tidak ada yang mengenalku. Aku tidak membenci sifatnya yang seperti itu, tepatnya aku tidak peduli.

Setelah makan kami melakukan kegiatan masing-masing. Kawamura yang sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya dan aku yang menonton tv. Sesekali aku menatapnya yang bolak-balik mengecek kertas yang disampingnya dan yang ada di laptopnya. Aku sesekali menatapnya. Satu hal yang aku benci tentangnya, aku tidak pernah mengerti apa isi otaknya. Aku sangat penasaran dan akhirnya kadang suka menatapnya dengan kesibukannya.

Kawamura melirikku dan mengeluh. “Kalau kau hanya ingin mengerti apa isi otakku, kenapa tidak sekalian membantuku menyelesaikan ini?” katanya. Aku menggeleng dan melanjutkan menonton tv.

“Tolonglah, Hayakawa~ bantu aku menyelesaikannya,” bujuknya.

“Salah sendiri memilih pekerjaan yang ribet dan repot itu,” kataku.

“Bukan masalah pekerjaanya, tapi banyak report yang harus aku cek,” jawabnya. Aku tetap menggeleng. Kawamura menghela napas lagi.

“Kau tau, tugas yang waktu itu kau bantu diberi apresiasi sama bosku, kau itu menyia-nyiakan talentamu, Hayakawa,” katanya. Aku pura-pura tidak mendengarkan.

“Kau itu pintar, Hayakawa, tugas akhirmu sudah dibilang cumlaude meski hanya kurang sedikit lagi,” katanya.

“Tidak ada orang dari kampus kita selain kau yang masuk perusahaan ternama, bahkan nomer 1 nasional.”

“Tapi kau malah keluar saat belum genap satu tahun bekerja disana,” lanjutnya. Aku mematikan tv dan membanting remotenya, untungnya tidak sampai rusak.

“Sudah mengeluhnya? Orang sepertimu lebih baik cari pekerjaan lain daripada mengeluh terus. Hidupku ya hidupku, hidupmu ya hidupmu. Kalau ngeluh tentangku mulu, kenapa tidak jadi Hayakawa? Hidupnya enak, cuman kerja part-time di kedai makanan, dan sisanya bebas sesukanya.”

Aku langsung pergi ke kamarku. Sayup-sayup aku mendengar Kawamura berkata sesuatu saat aku sudah berada di kamar.

Aku menghela napas panjang. Semua orag melihatku seperti itu. Pasti semua orang berbicara tentangku seperti itu. Semua itu tidak benar. Aku tidak sesuai harapan mereka. Apa yang mereka katakan, semua itu tidak benar. Jika hidupku seperti apa yang mereka katakan, mungkin aku sudah bukan aku lagi. Aku menghempaskan tubuhku dan pergi tidur. Semoga besok menjadi hari yang baik untukku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post